"Izinkan kami memperbaiki segalanya, Elang."
.
.
.Tepukan halus menyadarkan Dame dari kantuknya, ia menoleh kanan bersamaan dengan Pak Rudi yang memanggilnya beberapa kali. Oh rupanya mobil yang mereka tumpangi telah sampai tujuan..
"Sudah sampai Mas Dame." Ujar Pak Rudi begitu sampai depan lobby mall.
Dame menguap lebar, lalu mengangguk. Begitu Dame memutar tubuh ke belakang, pemuda itu tak kuasa menahan tawa. Melihat dua bocah kematian yang anteng tertidur saling menyandarkan kepala. Pantas saja sunyi, si pembuat onar tepar.
Disela menatap keduanya, Dame merenggangkan leher yang terasa sedikit kaku karena posisi tidurnya menunduk. Tidak disangka perjalanan dua puluh menit bisa membuatnya nyenyak tidur di mobil, padahal biasanya tidak. Mungkin sedikit lelah karena kemarin malam sift malam menemani Welang.
Dame pikir, ia tidak boleh terlalu nyenyak karena takut terjadi sesuatu pada Welang disela lelapnya. Beruntung sampai paginya, anak itu baik-baik saja. Dan saking baiknya anak itu bahkan sudah bisa merengek ingin makan sup kepiting salju yang disediakan segar dari restoran.
"Yang katanya lapar, tapi ketiduran juga, Mas." Sahut Pak Rudi yang ikut gemas melihat kedua sepupuan itu tertidur.
"Kasian dibangunin, Pak. Nyenyak gitu. Apa nggak jadi aja, ya?" Goda Dame.
"Saya nggak mau bantuin Mas Dame kalau mereka ngambek."
Dame tertawa seraya melepas seatbelt. Kepalanya bahkan sudah terbayang dengan wajah merajuk Welang yang lucu. Jika batal pasti akan jadi masalah besar. Dame juga tidak mau membuat Welang kecewa. Permintaannya tidak bisa dibantah, katanya harus hari ini,
'Pokoknya makan itu sekarang, Dame.' Ucapan bahkan bisa Dame tiru dan sama sekali tidak hilang di kepala.
Dame sama sekali tidak bisa menolak, ia terlalu luluh, Apalagi ditambah hadirnya 'Si kompor hidup' –Mario yang selalu berhasil memanipulasi Welang untuk pergi hari ini.
"Lang, bangun. Rio, bangun, udah sampe." Ucap Dame seraya mengusap bergantian paha dua pemuda itu.
Pak Rudi lebih dahulu keluar lantas bergegas membuka bagasi, mengeluarkan dua kursi roda didalam sana, kemudian bergerak ke pintu samping dekat Mario. Sampai pintu itu dibuka, keduanya masih belum bangun. Barulah saat Pak Rudi mengusap bahu Mario, anak itu mulai terusik. Saat tubuhnya disandarkan, matanya terbuka linglung.
"Euungg, sampe?" Kata Mario, suaranya serak.
"Udah, daritadi dibangunin juga, nggak bangun-bangun." Bukan Pak Rudi yang menyahut, tapi Dame. Tak lama terdengar suara lenguhan serupa, berasal dari Welang yang mulai terusik.
"Lang, ayo turun, katanya mau makan kepiting, udah sampe ini."
Welang berkedip-kedip, tingkahnya sama seperti si sepupu, menatap linglung sekelilingnya—nyawanya belum terkumpul.
Hingga saat pintu mobil terbuka, Welang menyipitkan mata, seolah memberi tatapan yang bingung luar biasa. Dame yang mengerti langsung menanggapi santai. "Ini Dame, ingat?"
"Dame?"
"Iya, ayo, duduk sini. Kamu belum boleh jalan sediri, kakinya kaku masih kaku, kan?"
Welang melirik bawah, menatap kakinya sendiri lalu digerak-gerakkan. Terasa pegal memang. "Tapi Elang mau jalan sendiri aja."
Dari pada membuang waktu, Dame lebih baik tidak menanggapi. Pemuda itu lebih memilih menggulung tangan diantara ketiak sang adik agar mudah menggeser tubuh kurus itu hati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoar Hometown
Fanfiction{Brothership, Familly, Slice Of Life, Sicklit, Angst} Semuanya terasa sangat membingungkan bagi Welang. Dalam ingatannya rumah adalah tempat yang paling nyaman dan menyimpan banyak sekali kenangan yang sulit dilupakan. Namun saat ini, rumah dan selu...