Fase Habis Masa atau Isi Daya?

757 95 75
                                    


"Jika ini adalah kesempatan, maka ini adalah yang terakhir."
.
.
.

"Dame."

"Iya?" Dame menghentikan kegiatan menulisnya, lalu memicingkan mata saat Welang terlihat serius menatapnya. "Kenapa?"

Beberapa saat, Welang bertahan dengan tatapan itu, menatap Dame namun dengan banyak benak yang meluap-luap. Tangan yang menyangga kepala, mengetuk pelan seolah tengah menimang apakah waktu ini, adalah waktu yang tepat dalam mengungkapkan hatinya?

"Kenapa? Udah mikirin besok mau berangkat sekolah atau enggak?" Tanya Dame.

"Kalau gue mati, terus dikasih kesempatan Reinkarnasi sama Tuhan, Gue pengen lahir jadi sodara kandung lo. Lo keberatan, nggak sama pilihan gue?"

Bukan hanya sangat tiba-tiba, tapi pertanyaan Welang benar-benar bagaikan badai hebat tanpa adanya prediksi dari BMKG. Kenapa disaat fokus mengerjakan soal latihan, pikiran Welang serandom ini?

Apakah karena terlalu lama berpisah dengan Celine membuat pikiran serta perasaaanya menjadi sangat kacau? Bukankah seharusnya dia sangat senang?

"Kenapa harus tunggu kamu mati dulu biar jadi saudaraku?"

"Jangan menyangkal, Kita bukan saudara kandung. Jawab aja, lo keberatan apa enggak? Kalau keberatan, gua bisa hapus nanti, dan ganti dengan keinginan yang lain."

Dame mendengus bingung. "Hapus apa?"

"Ck! Udahlah jawab aja."

Dame berdecak seraya meletakkan pensil cukup kasar. Lantas Ia menumpukan dagu diatas buku pelajaran seraya menghadap samping ke arah Welang.

"Gini. Aku nggak peduli, mau kandung atau bukan. Kita punya darah yang sama, Lang. Nggak ada bedanya." Dame meralat ucapan Welang. "Kenapa tiba-tiba ngomong gini, kamu? Bolos sekolah dua minggu lebih bikin gila, ya?"

Welang menggelengkan kepala dengan ekspresi aneh. Setelahnya pemuda itu kembali menunduk—menatap soal kimia yang tertunda dikerjakan perkara keresahannya.

"Dame, gue dulu benci banget sama lo, pengen banget liat lo mati. Dan gue rasa, kalau denger lo mati adalah suatu kebahagiaan buat gue. Gue selalu nunggu-nunggu momen itu terjadi. Tapi sekarang, setelah gue pikir-pikir lagi, gue salah besar. Kalau pun gue bakalan mati, lo akan jadi satu-satunya alasan gue untuk terus bertahan," Welang mengehmbuskan napas kasar. "Disini.."

Hati Dame terhenyak seketika, "Kenapa gitu?"

"Lo itu cengeng, diapain dikit nangis. Gue tahu, walaupun lo nggak pernah nunjukkin itu dengan gelagat lo sok sabar dan sok kuat itu, gue sebenernya tau kalo lo gampang nangis. Dan Sekarang gue benci banget bikin lo nangis kayak cewek PMS!"

"Sok tau, kamu." Dame membela diri. Namun mendengar ucapan terakhir Welang terbesit hati Dame ingin tertawa. Apa katanya? Cengeng seperti perempuan PMS? Yang benar saja!

"Gue tahu! Maka dari itu, Gue nggak mau bikin air mata lo keluar sia-sia cuma buat gue lagi. Udah cukup gue jahatin lo. Hampir bikin lo mati terbakar." Welang membuang muka, berusaha menyembunyikan mata yang berkaca-kaca.

"Dengan cara apa emangnya kamu seyakin itu nggak bakalan bikin aku nangis kaya Cewek PMS?" Dame menarik kursi belajarnya—agar dengan mudah mengintip Welang yang tidak mau menatap matanya.

Welang menepis tangan Dame dari bahunya. Bertahan dengan posisi membelakangi, Welang lantas bersuara teramat pelan, "Batal mati besok malam."

Tangan Dame yang berusaha mendekap bahu Welang, mendadak melemas. Jatuh terlukai ke pahanya sendiri. Dame meneguk ludah kasar, "Lang.. maksud kamu..."

Memoar HometownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang