6

26 6 0
                                    

Ayung POV

"Osin." Saya memanggil Sinar sambil mendudukan diri saya di hadapannya. Tadi begitu presensi gadis itu terlihat, kaki saya langsung otomatis mendekat padanya.

"Saya ikut duduk ya." Tanpa menunggu jawabannya, bokong saya sudah menempel dengan kursi yang ada disana.

"Eh, hai Kang. Sokk duduk, duduk."

"Lagi naskahan?" Saya melirik laptop yang ada di sebelahnya.

"Iya, sekalian pembukuan tadi. Akhir bulan kan."

Saya terdiam. Benar juga, sekarang sudah akhir bulan, yang berarti beberapa hari lagi Harsa berulang tahun. Astaga, bagaimana saya bisa melupakan hal itu?

"Kang? Kenapa? Ko langsung diem gitu?" Pertanyaan Sinar barusan berhasil menarik kembali kesadaran saya yang sempat hilang.

"Karena kamu bahas akhir bulan, saya jadi inget sebentar lagi Harsa ulang tahun." Ada ringisan kecil di sela saya berucap. Sungguh, jadwal saya belakangan cukup padat sampai saya melupakan bahwa kini bulan sudah akan berganti.

"Woahh, kapan tuh?" Nada antusias itu tertangkap rungu saya, membuat sudut bibir ini jadi tertarik ke atas.

"5 hari lagi. Pantes aja dari kemarin dia kode mainan gitu."

"Hahahaha, namanya juga anak kecil. Pas ultah ya jadi ajang minta kado sama potong kue ga sih?"

"Bener. Tapi saya bingung, beliin apa buat dia." Saya menjawab setelah menyeruput kopi yang saya pesan tadi.

"Harsa lagi seneng apa? Coba beliin mainan yang berbau apa yang dia suka, atau misalnya dia lagi seneng corat coret, beliin aja peralatan mewarnai. Bisa beli online juga."

Saran Sinar itu membuat saya terdiam sekali lagi, apakah gadis itu cenayang? Bagaimana ia bisa tau Harsa sedang gemar menggambar? "Kok tau dia lagi seneng gambar-gambar sih?"

"Terakhir ketemu, pas kita ngobrol anaknya gambar-gambar kecil gitu di belakang buku yang dia bawa. Ga sengaja kenotice, hehe."

"Hal sekecil itu aja, keperhatiin sama kamu."

"Sebenernya asal nebak doang sih, bocil segede Harsa pasti lagi ga mau diem. Ade gue dulu juga gitu pas segede Harsa, cuma memang ga ada yang tau kedepannya dia bakal masih suka atau engga. Adek gue yang pertama, dulu dia ga bertahan lama tuh gambar-gambarnya. Beda sama yang terakhir, sampe gue masukin les biar makin jago hehehe. "

"Kamu tau tempat yang bagus buat beli kado itu ga? Atau toko mainan anak?"

"Banyak ga sih? Alat gambar, beli di toko buku juga ada, terus kalau mau mainan juga kan banyak tokonya. Gue ga punya rekomendasi soalnya udh lama banget ga beli mainan."

Saya mengulum senyum, ternyata untuk urusan seperti ini Sinar kurang peka. Tak sadarkah ia saya bertanya seperti itu hanya untuk mencari topik dan sebagai alasan untuk bisa pergi dengannya.

"Kalau kamu kosong, boleh anter saya ga cari kado? Sama kalau kamu setuju, saya pengen nanti pas hari H nya, kamu dateng ke rumah buat bikin kue sama Harsa, dia pasti seneng."

"Buset." Jawaban lirih Sinar itu terdengar jelas.

"Haha, sorry. Tapi saya udah bilang, saya pengen mengenal kamu lebih jauh. Dan saya sadar, kamu harus langsung di ajak karena kurang peka. Maaf, kaget ya?"

Sinar memalingkan wajahnya sambil berdecih kecil. "Semua aja bilang ga peka, ih."

"Hahaha, Osin Osin. Kalau bukan saya aja, berarti bener itu."

"Emang mau kemana?"

"Ke daerah sini dulu aja, kalau ga nemu nanti kita cari ke tempat lain."

"Mau hari ini? Atau ntaran?"

Saya meneguk sisa kopi di gelas saya hingga tandas, lalu melirik Sinar yang juga sudah selesai memakan makanannya. "Sekarang, bisa ga?"

Beruntungnya, Sinar mengangguk setuju. Ia membereskan barangnya lalu melangkah mengekori saya. Lucu sekali.

Pilihan saya jatuh pada toko-toko di pinggir jalan. Beberapa kali kami hanya masuk lalu keluar dengan tangan kosong, bukan apa-apa tapi memang kami belum menemukan kado yang sekiranya akan Harsa sukai.

"Kang, bentar deh. Harsa lagi seneng apa? Ini kita belum nemu yang pas juga."

"Dia seneng dino, tapi msinan dinonya udah banyak."

Saya melirik Sinar yang kini terlihat seperti sedang berpikir. Alisnya menukik lucu dengan bibir yang otomatis mengerucut. "Lego aja, gimana? Nanti lo bantu rakit, seneng ga ya kira-kira anaknya?"

Belum sempat saya menjawab, Sinar sudah lebih dulu membuka kembalj mulutnya. "Eh, jangan deng. Lego gue aja yang kasih, Akang mikir sendiri aja."

Tuhan, kenapa gadis ini nampak seperti bocah 10 tahun? Wajah dan mata beningnya seperti memiliki magnet untuk selalu saya tatap.

"Bantuin, dong."

"Alat gambar gimana? Sama beli kanvas, nanti lo buat yang telapak tangan itu sama dia. Lucu ga sih?"

"Yang 1 set gitu ya? Sama robot aja berarti."

Setelah berdiskusi, kami berakhir di sebuah toko untuk membeli kado yang akan Sinar berikan pada Harsa.

"Ini, jadi nanti kamu beneran dateng ya ke rumah saya pas Harsa ulang tahun?"

Gadis yang tengah memilih itu melirik sekilas pada saya. "Iya, nanti dateng."

Begitu selesai menjawab pertanyaan saya, Sinar kembali pada kegiatan awalnya memilih lego. Saya memilih maju untuk membantunya mengambil lego yang tak berhasil diraih oleh tubuh mungilnya. Posisi saya yang tepat berada di belakangnya membuat saya sadar, gadis ini cukup jauh dari tinggi bada saya.

"Kalau susah itu, minta tolong."

"Hehee, makasih Kang." Cengiran itu muncul, disusul dengan Sinar yang mengangkat lego di tangan dan kirinya.

"Bagus mana? Sama-sama bagus, apa beli aja dua-duanya ya?"

"Ini kenapa jadi kamu yang exited?" Saya berkomentar sembari menahan tawa.

"Yaa, ya biarin. Harsa kan kenal juga sama gue Kang, kalian sering ke toko."

"Makasih ya, Osin." Saya berucap sambil menatapnya, Sinar balas menatap saya dengan tatapan bertanya.

"Hah? Buat apa?"

"Buat baik sama Harsa. Dia seneng banget waktu terakhir dibolehin manggil kamu bubu. Maaf ya kalau kami lancang."

"Eh engga kooo, udah biasa juga gue di panggil bubu. Tapi kalau Harsa seneng, alhamdulillah." Kali ini netranya menatap saya dengan tatapan teduh. "Udah, gue mau bayar dulu. Akang tunggu di luar, boleh."

Saya menurut, melangkah ke luar, menunggu Sinar untuk membayar.

🐝🐝🐝

Ntar aku update lagi💃💃💜💜💜

Yukk ksh feedback xixixi

BUNGSULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang