🔉🔉kata lebah kecil, kakak-kakak yang baca jangan lupa klik bintang di pojok kiri ya,komen juga biar teh almi semangat nulisnya hihi😋😋
Happy reading all,hope you enjoy 😘😘
🐝🐝🐝
Kaki Sinar terpaku tepat di depan rumahnya bersamaan dengan senyumnya yang perlahan luntur. Langkahnya seketika menjadi berat tatkala rungunya mendengar suara ribut dari dalam sana. Ia menunduk sejenak, sebelum akhirnya memantapkan langkahnya untuk masuk ke rumah orang tuanya.
Ia menutup pintu sepelan mungkin, dan bersandar di sana sambil melipat tangannya beberapa saat. Ia membiarkan kedua orang tuanya beradu argumen dengan nada yang tinggi. Teriakan keduanya sudah cukup sering Sinar dengar sejak kecil, namun ntah kenapa rungunya tak pernah mampu terbiasa dan bersahabat dengan itu semua. Apalagi, hampir 8 tahun berlalu, kedua orang tuanya malah sudah jarang bertegur sapa. Mereka 1 atap tapi tidak berbincang jika tidak membutuhkan satu sama lain. Mereka melakukan pekerjaan mereka masing-masing. Lebih tepatnya, Ibu Sinar yang sudah diambang muak kini sudah berubah jadi wanita sedingin es untuk sang ayah.
Yang Sinar tahu, ayahnya adalah lelaki paling bajingan yang pernah ia temui. Dan yang ia tahu adalah, sang Ibu yang sudah kepalang lelah dengan sang ayah hingga ia terlihat seperti istri durhaka. Tak akan ada yang menyangka keluarganya seperti itu, hampir semua orang tahu bahwa keluarga mereka baik-baik saja. Tanpa sadar, bahwa ia dan kedua adiknya sudah terbiasa dengan kondisi perang dingin seperti itu selama bertahun-tahun. Orang-orang hanya mengetahui Sinar memiliki Ibu yang mampu jadi pendengar yang baik, dan ayah yang mampu diajak bercanda dengan santai. Tidak seperti orang tua temannya yang terkesan serius.
Tidak usah tanya seberapa banyak beban yang harus dipikul Sinar sebagai anak sulung di keluarga ini. Tidak usah tanyakan sebanyak apa kebohongan yang ia ceritakan dan tunjukan demi menutupi keluarga yang nyatanya sudah tidak utuh. Broken inside, membuatnya harus pura-pura tersenyum dan sulit untuk bercerita tentang kesulitan yang ia dapatkan dari keluarganya. Broken inside, membuat Sinar merasa harus tetap bersyukur karena orang tuanya tidak berpisah.
Ia mengotak-atik benda pipih ditangannya, sebelum berkata. "Udah aku transfer. Jangan pada berantem lagi, malu sama tetangga."
Ia mendekati kedua orang tuanya, ia tetap mencium tangan mereka. "Kalau kurang bilang aja."
"Gak usah Teh, bulanan dari kamu juga kemarim udah lebih. Ibu juga udah minta tambahan buat sekolah adek kamu."
"Nanti Bapak ganti, pake dulu aja itulah. Gitu doang ribut. Ibu kamu, selalu ngeributin hal sepele, Teh."
Ucapan yang bertolak belakang itu memaksa Sinar menarik kurva dengan paksa.
"Liat. Liat kan, bapak kamu selalu nyepelein ke segala hal. Ini padahal Ibu minta buat biaya kuliah adek kamu, bukan buat Ibu sendiri."
"Matak dibere budak bageur oge, keur ngabantuan kolot. Tong sok rudet matakan ari nanaon teh."
Saat Ibu hendak mengeluarkan suara lagi, Sinar merangkulnya dengan lembut. Ia mengusap pelan lengan sang Ibu, berharap itu akan menenangkannya.
"Iya, alhamdulillah Sinar anak baik jadi bisa bantu Ibu sama Bapa. Jadi..." Sinar menghela nafas sebentar, mengatur emosi yang sebenarnya sudah ingin ia luapkan detik itu juga. "Jadi, please stop berantem. Udah aku bilang kalau ada apa-apa tuh ngomong, cerita. Gak apa-apa kok. Apalagi ini biaya kuliah Oka, dari awal kan memang aku yang nyuruh. Jadi udahan berantemnya, nanti adek-adek aku keburu pulang."
Setelah mendengar ucapan itu, Bapak pergi begitu saja. Melewati 2 wanita yang sebenarnya sudah ia sakiti. Mereka sudah terbiasa, terbiasa dengan Bapak yang pergi ntah kemana jika masalah datang.
"Teh, kamu beneran udah tranfer?"
Sinar mengangguk kecil, ia menuntun Ibu untuk duduk di kursi yang ada di sana. "Iya. Lagian, kenapa gak bilang coba Mbu? Kan aku udah bilang, ngomong kalau butuh sesuatu itu."
"Itu bukan tanggung jawab kamu, kamu udah cukup banyak bantu keluarga kita. Maafin Ibu ya, Teh."
"Gak apa-apa, dibalik pendapatan aku yang selalu cukup itu ada rezeki kalian di dalemnya. Cuma, jalannya mungkin lewat aku. Jadi gak apa-apa, aku ini anak Ibu loh."
Salah satu alasan Sinar begitu menutup diri dari semua lelaki, terutama Ayung adalah, karena ia merupakan orang pertama yang akan dicari keluarganya ketika butuh bantuan. Bukan hanya orang tua dan adik, tapi sampai ke paman dan bibinya pun kerap meminta bantuannya. Hal itulah yang membuat Sinar sulit percaya, bahwa ada lelaki dan keluarganya yang akan menerima posisinya sebagai 'penolong' di keluarganya ini.
"Ibu masak engga? Mau makan dong aku." Tanyanya tiba-tiba.
"Masak, tuh ada sayur lobak kesukaan kamu."
Mata Sinar berbinar, ia lantas berdiri dengam semangat mengambil makan untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Mengalihkan topik pertengkaran tadi dan melanjutkan obrolan ringan dengan sang Ibu.
Sekali lagi, keduanya sudah terbiasa bersikap seolah tidak terjadi apapun walau detik lalu baru saja bertengkar. Mungkin, hal itu juga yang membuat Sinar jadi terlatih untuk bersikap biasa saja walau sedih sedang ia rasakan.
"Ibu denger, katanya di toko sering dateng cowok ganteng tuh. Katanya juga itu buat nyamperin kamu."
Pertanyaan tiba-tiba itu, malah membuat Sinar tersedak. Ia menepuk dadanya pelan, sementara Ibu mengulurkan air sambil terkekeh.
"Info dari siapa sih ya Allah." Sinar menatap Ibu dengan tatapan permusuhan. "Kurangin gosipnya, ibu-ibu."
"Liat respon kamu, itumah bukan gosip, tapi fakta." Ibu mencolek pelan lengan Sinar. "Kenalin atuh, bawa sini."
"Iya, ada. Nyamperin aku buat pesen sama bayar kue."
"Kalau gak mencolok, gak akan jadi gosip Teh. Ini mah nyamperinnya buat modus. Bener ngga?"
Sinar menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Yaa, iya sih."
"Siapa? Udah jadian belum? Ibu tuh pengen liat kamu pacaran, masa sampe segede ini belum pernah pacaran. Kalah sama adek kamu."
Sinar mendelik sebal. "Ngaku, ngegosip bareng siapa? Orang toko atau Taka?"
"Orang Ibu tau dari Zua."
Monyet, tu anak emang ember.
"Lah, bocahnya kapan ketemu Ibu?" Sinar merutuki sahabat kecilnya itu yang terlalu akrab denga Ibu. Ia bahkan yakin, perempuan bernama Lipuzua itu akan dengan mudan keluar masuk di rumahnya ini.
"Lusa, dia main ke sini." Kan benar.
"Perasaan, aku temennya. Kenapa dia seenaknya main ke rumah orang tuaku ya?"
"Yee, biarin aja. Purin sama Ratu juga deket kan sama Ibu," Jawab Ibu santai.
"Iya deh iya."
"Katanya, namanya Jingga Lembayung ya?"
Sinar mengangguk. "Anak guruku, pernah aku ceritain dulu banget."
"Terus, jadian gak kalian?"
Cengiran Sinar sudah cukup menjadi jawaban bagi sang Ibu. Hingga Ibu menghela nafas.
"Jangan setertutup itu sama cowok, Teh. Gak semua laki-laki kaya Bapak, ga semua laki-laki brengsek. Jangan langsung bilang engga, ya? Kamu juga butuh pasangan, kamu berhak buat di sayang, Teh."
Sinar lagi-lagi mengangguk, bersusah payah menelan makanan yang ada di mulutnya. Berbincang dengan Ibu, seperti berbincang dengan dukun. Wanita selalu paham apa yang ada di otak anak sulungnya ini. Ia paham betul, bagaimana trauma dari sikap sang ayah membuatnya mengunci hati dengan rapat, membuat Sinar terlalu sulit percaya bahwa lelaki itu tak semuanya sama. Membuat Sinar menjauh, daripada harus menggantungkan bahagianya pada lelaki manapun. Termasuk Ayung.
🐝🐝🐝
KAMU SEDANG MEMBACA
BUNGSULUNG
General Fiction"Persetan dengan alasanmu mencintaiku, aku hanya tak ingin menarikmu pada seluruh masalahku" - Osinara Amara "Osinara selalu bercerita tentang kekurangannya, tanpa sadar ada banyak kelebihan di dalam dirinya. Lantas, adakah alasan bagi saya untuk ti...