Acara perayaan ulang tahun Harsa yang dilakukan secara sederhana sudah selesai, mulai dari membuat kue sampai membuka kado. Dan kini, bocah yang tengah berulang tahun itu menarik tangan Sinar untuk membantunya menyusun lego yang merupakan hadiah darinya untuk Harsa. Meski sempat bingung, Sinar akhirnya menurut begitu saja.
Ia ikut duduk di bawah bersama Harsa yang tengah sibuk mengerutkan kening.
"Hahaha, kenapa itu alisnya kerung gitu," Katanya menertawakan Harsa yah terlihat sangat lucu di matanya.
"Aa tidak paham Bubu, ini banyak sekali."
"Kita buatnya, satu-satu aja gimana? Bubu juga bingung soalnya." Ringisan kecil itu Sinar tunjukan.
Dan detik berikutnya, mereka sudah sibuk dengan lego di hadapan masing-masing, tidak sadar dari tadi Bunda dan Ayung sama-sama memperhatikan kedekatan keduanya.
"Kamu liat sekarang? Mau gimana Harsa butuh sosok Ibu." Bisikan itu Bunda lantunkan di telinga sang anak.
"Tau kok." Ayung menghela nafasnya. "Tapi nikah ga semudah itu, Bun."
Bunda diam, jawaban datar dari Ayung membuatnya kembali merasa bersalah. Ingatannya dipukul pada kejadian beberapa tahun yang lalu, saat Ayung ia paksa untuk mengalah pada keadaan, hingga membuatnya jadi cukup jauh dan tertutup pada keluarga. Baru sekarang lagi, Ayung kembali tersenyum selebar itu. Hatinya yang luas, malah membuat hantaman rasa bersalah yang dirasakan Bunda semakin terasa. Dan ucapan Ayung tadi, sudah cukup mengisyaratkan bahwa sedikitnya ia merasa trauma dengan sebuah pernikahan.
"Bubu, Aa minta tolong untuk pasangin ini boleh? Ini sangat susah." Tak mampu menahan rasa gemasnya, Sinar terkekeh dan menuruti permintaan Harsa dengan mudah.
"Ini sayang, sudah di pasang." Sinar mengulurkan tangannya, memberikan lego yang baru saja ia pasangkan. "Sekarang Aa coba pasang yang tadi Aa buat ke sini."
Harsa mengangguk semangat, ia menurut untuk menempelkan kepala lego ke bagian tubuh lego yang sudah Sinar susun tadi. "Woaahhh."
"Sekarang ayok pasang kaki dan tangannya."
"Aa pasang kakinya ya, Bubu." Ucapan semangat itu tak mampu Harsa tutupi, wajahnya merekah senang.
"Boleh, kita pasangin yang ini barengan saja oke?"
"OKEEE!!!"
Hati Ayung menghangat, sudah lama sekali dirinya tak melihat Harsa tersenyum selebar ini. Sejujurnya ia ingin bergabung, namun urung karena takut membuat Sinar tidak nyaman. Ia sadar, gadis itu sedikit menjaga sikap dan tak lepas jika sedang dengannya. Berbeda jika saat sedang bersama Harsa, dirinya terlihat lebih lepas.
Tetapi siapa sangka, beberapa saat kemudian, gadis yang sedang ia pikirkan itu malah menyuruhnya untuk duduk dibawah bersama mereka, bergabung untuk membuat lego bersama.
"Mau gabung ga? Bantuin sini, Kang."
"Iya, ini Baba kenapa tidak bantu sih. Kan lego yang harus dibuat masih banyak."
Dumelan sang kecil barusan sukses membuat Ayung tertawa. "Yahh, Baba kira kalian lagi asik berdua."
"Nahh, coba mana yang mau dibuatin lagi?" Tanyanya saat sudah bergabung.
"Bubu, buat yang mana dulu ya enaknya?"
Sinar diam, ia melirik Harsa yang terlihat memperhatikan 1 lego sejak tadi, lalu ia tersenyum tipis. "Gimana kalau yang ini?" Tunjuknya pada salah 1 gambar yang sedari tadi dilihat oleh Harsa.
"Ayokkk buat!!!"
Setelahnya, kehangatan terus menyelimuti mereka. Ucapkan terima kasih pada Sinar yang sudah bersedia hadir memberi tawa di rumah ini.
Setelah selesai membuat lego, Ayung mengajak keduanya untuk pergi. Sinar kira mereka akan pergi ke tempat bermain anak atau ke suatu mall. Tapi, ternyata salah. Mereka malah memasuki sebuah pemakaman umum yang berada di Bandung. Sinar tak bertanya apapun, gadis itu memilih menyimpan semua rasa penasarannya. Ia pikir, jika memang Ayung ingin berbagi ceritanya, ia akan memberitahunya.
Sinar terus melangkah mengikuti Ayung dan Harsa. Mereka berhenti di sebuah makam yang bertuliskan 'Biru Langit'. Sinar terdiam, ia jadi teringat bahwa memang Ayung memiliki kakak bernams Biru Langit. Namun, ia tak tahu bahwa kakaknya Ayung itu suda tiada.
"Assalamu'alaikum, Mas. Jingga dateng lagi sama Harsa, tapi kali ini bawa temen juga. Namanya Osinara, dia murid Bunda pas kita SD dulu." Ayung melirik pada sang anak. "Ayok disapa dulu, Papahnya."
"Halo Papaa, Aa kesini lagi sama Baba. Papa baik-baik kan di surga sana? Papa tau tidak, hari ini Aa ulang tahun." Harsa menjeda kalimatnya sebentar. "Tadi dibuatkan kue sama Bubu Osin, terus terus udahnya kami bertiga buat lego. Oma tidak ikut karena tidak bisa buat katanya." Yang termuda itu terus saja berceloteh lucu, seolah orang yang ia ajak bicara memang ada di hadapannya.
"Hari ini Aa seneng tidak?" Tanya Ayung pada sang buah hati.
"Senang, senang sekali. Aa jadi merasakan gimana kalau punya Ibu, gimana di buatkan kue ulang tahun dan main bareng-bareng."
Ucapannta teramat polos, ia tidak tau saja 2 orang dewasa yang di sana jadi terdiam. Terutana Ayung, ia amat merasa bersalah.
Ketiganya cukup lama berada di makam itu, hingga akhirnya Ayung meminta Sinar untuk membawa Harsa pergi dulu ke dalam mobil katanya, ia ingin sedikit lebih lama di makan kakaknya.
Setelah 2 orang yang ia ajak itu menjauh, pandangan Ayung total menyayu. Helaan nafasnya terasa berat, tangannya juga tak henti mengelus nisan sang kakak.
"Gimana surga, Mas? Lo udah ga sakit lagi kan?" Semilir angin sore itu menjadi satu-satunya suara yang membalas perkataan Ayung.
"Gue di sini..., gitu-gitu aja. Gue ga tau bakal bertahan atau engga kalau ga ada Harsa. Bunda, Ayah sama gue masih kaya biasa, jauh tapi ga jauh. Baikan tapi nyatanya ga juga." Senyum kecut itu muncul. "Gue bukan ga ikhlas, gue cuma..., masih ga bisa terima dengan Bunda yang segitu egoisnya dulu."
"Dan sekarang, apalagi hari ini. Gue beneran mikir Harsa butuh sosok Ibu, kaya yang tadi lo denger. Anak itu, diem-diem pengen punya orang tua lengkap kaya temen-temennya mungkin. Dan tadi, Sinar. Perempuan yang ga tau kenapa bikin gue selalu pengen lebih deket lagi dan lagi."
"Mas, kalau gue berjuang kali ini buat bahagia gue, ga apa-apa kan? Tapi gue takut penolakan, gue takut di tinggalin lagi. Gue setakut itu walau gue sebenernya tau, gue sama Harsa butuh sosok pelengkap di hidup kita."
"Bunda juga tadi nyuruh gue gerak buat dapetin Sinar, ga tau apa ya hal yang dia perbuat dulu itu masih aja terngiang di kepala gue."
Sore itu, Ayung kembali memeluk kenangan pahitnya yang tiba-tiba merangkak naik. Ingatannya di tendang paksa pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Lantas, apakah ia sudah boleh menceritakan mengenai dirinya pada Sinar? Atau, lebih baik ia simpan semuanya sendirian?
🐝🐝🐝
Nih, sambil ngabuburit, ku buat kalian menebak yaa wkwkw
Kira2 Ayung kenapa hayoooo
KAMU SEDANG MEMBACA
BUNGSULUNG
General Fiction"Persetan dengan alasanmu mencintaiku, aku hanya tak ingin menarikmu pada seluruh masalahku" - Osinara Amara "Osinara selalu bercerita tentang kekurangannya, tanpa sadar ada banyak kelebihan di dalam dirinya. Lantas, adakah alasan bagi saya untuk ti...