12

17 6 0
                                    

Setelah mengetahui faktanya, Ayung jelas langsung memecat guru yang sudah memfitnah Sinar tadi. Tak tahukan guru itu bahwa sekolah tempatnya mengajar adalah milik Ayung?

Jika harus jujur, ia amat gelisah sejak tadi. Apalagi setelah ia mengirimkan pesan, hingga saat ini ponsel Sinar tidak aktif. Ia ingin menghampiri tapi Harsa memintanya untuk menemani. Ia sadar betul, perasaan Harsa juga masih teramat sensitif saat ini. Beruntung saja Sinar mampu memberikan pemahaman yang membuatnya tak terlalu bersedih. Jadi, Ayung baru mampu menghampiri Sinar saat sang anak sudah terlelap.

Ia menitipkan Harsa pada Lintang. Ayung merasa tak lagi bisa menunda untuk meluruskan permasalahan ini. Ia tidak suka menyimpan permasalahan hingga esok. Makan dari itu, di sinilah ia berada sekarang. Di depan toko Sinar yang terlihat cukup berantakan.

Dengan langkah lebar, Ayung mendekat pada toko yang gelap itu. Dan semakin mendekat, ia mampu melihat tulisan di sana. Tulisan yang berisi ujaran kebencian untuk Sinar karena dekat dengannya, di sana bahkan ada yang menulis bahwa Sinar adalah wanita murahan. Belum lagi pecahan telur yang cukup banyak, membuat mau amis lambat laun tercium.

Demi Tuhan, kaki Ayung melemas. Ia tak menyangka Sinar akan mendapat perlakuan seperti ini. Dan rahangnya kian mengeras saat melihat Sinar yang sedang terduduk memeluk lututnya. Wajah gadis itu ia sembunyikan di balik tangannya, ia menangis. Menangis tanpa suara, di ruangan yang gelap dan dingin ini, sendirian.

"Akang, jangan masuk, jangan ngedeket." Belum sempat Ayung benar-benar mendekat, Sinar sudah lebih dulu berbicara.

"Osin saya mint-"

"Gue lagi jelek, lagi nangis, plis dulu inimah."

Anggap Ayung gila, karena ia benar-benar lega saat mengetahui alasan Sinar melarangnya mendekat. Ia pikir Sinar marah kepadanya, ia pikir Sinar akan memakinya.

Tak menuruti perkataan Sinar, kini Ayung malah berada tepat di sebelah Sinar. Ia perlahan menarik gadis itu mendekat pada bahunya, lalu ia rengkuh tubuh yang lebih kecil darinya.

"Saya izin peluk sebentar. Maaf, maafin saya. Anggap ini cara saya minta maaf, Osin. Kamu boleh nangis sekarang, kalau mau marah dan pukul saya ga apa-apa."

"Udah gak bisa anjir Kang, air matanya udah naik lagi."

Siapapun tak akan menyangka, Sinar malah membalasnya dengan guyonan. Lucunya lagi, ia begitu pasrah dipeluk oleh Ayung dengan bibir dikerucutkan.

Setelah merasa Ayung sedikit melonggarkan pelukannya, Sinar baru menegakkan badannya.

"Osin, maa-"

"Udah, kalo mau minta maaf, udah dimaafin. Ga apa-apa, yang penting sekarang lo udah tau kan yang benernya gimana?"

Ayung mengangguk, ia lalu sengaja menatap Sinar. "Kenapa ga bilang?"

"Apanya?"

"Kenapa ga bilang kamu keserempet, kenapa ga bilang toko kamu diacak-acak?"

Sinar menghela nafas, gadis itu memilih mengedarkan pandangannya ke sembarang arah. "Ngapain? Ini problem gue Kang."

"Tapi, semuanya karena saya."

"Hahahaa, kaga anjir. Kalem kalem."

"Ngga kalem, tadi kamu aja nangis." Balas Ayung.

"Ya lo pikir gue apa? Jujur aja cukup berat hari ini, dan gue ga sekuat itu buat jalanin tanpa ga nangis. Pokonya akan ku hadapi semuanya walau sambil nangis nangis."

Ayung terdiam, ia amat terkejut dengan jawaban yang terkesan asal itu. "Bisa-bisanya."

Ayung memegang bahu Sinar agar gadis itu kembali berhadapan degannya. "Mata kamu bengkak, nangisnya pasti lama ini."

BUNGSULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang