21

23 5 0
                                    

🔉🔉kata lebah kecil, kakak-kakak yang baca jangan lupa klik bintang di pojok kiri ya,komen juga biar teh almi semangat nulisnya hihi😋😋

Happy reading all,hope you enjoy 😘😘

🐝🐝🐝

Senyum tipis saya terbit saat melihat wajah terkejut Sinar, sesuai dugaan saya.

"Hah? Sumpah?"

Saya mengangguk, jelas kejadian itu masih terpatri dalam ingatan saya. Saya yang saat itu bangkit dan langsung menarik kerah baju mas Biru.

"Mas, kalau lo ngomong pake otak dikit. Kalaupun iya, kalaupun iya Linda ngandung anak lo, dimana empati lo? Gimana bisa lo rusakin perempuan? Gimana bisa lo rusak perempuan yang adik lo jaga setengah mati goblok!"

"Saya inget jelas, pas itu saya nanya Linda, tapi anaknya diem doang cuma nunduk. Saya akhirnya paksa dia buat tes pake testpack itu."

"Linda, tolong jawab aku, kalau itu semua bohong. Jangan diem aja."

"Mending lo lepasin Linda sekarang, Ga. Itu anak gue, lo mau bertahan sampe 9 bulan kedepan? Nemenin perempuan yang sebenarnya udah gak sayang sama lo, dan lagi ngandung anak kakak lo sendiri? Lo egois kalau gitu, lo ngehalangin bahagia orang lain."

Lucu bukan? Saat saya diberi label egois, padahal di sini jelas mas Biru lah yang bersalah. Sepertinya ia tidak sadar atas apa yang sudah ia perbuat.

"Lucunya, pas itu Bunda sama Ayah keluar, terus join sama mas Biru buat nyuruh saya lepasin Linda. Saya, yang waktu itu masih teramat sayang sama dia, saya yang masih jadiin dia sebagai rumah. Saya pas itu, hilang arah Osin."

"Ini, kenapa pada ribut? Kenapa sih anak-anak Bunda."

"Bunda, coba bilangin sama anak bungsunya, buat gak egois sekali-kali. Bunda bujuk dia coba supaya mau lepasin Linda, kan Bunda tau dia lagi ngandung anak Mas."

Ada 2 hal yang amat menampar saya saat itu. Pertama, saat mas Biru bilang saya tidak boleh egois sekali-kali, lucu. Padahal ia menolong saya pun jarang, padahal saya meminta sesuatu pun bisa dihitung jari. Lalu kedua adalah, saat saya paham bahwa bunda juga ayah sebenarnya tau mengenai masalah ini.

"Adek, anak baik. Kali ini boleh ya ngalah sama Masnya? Itu, bayi yang Linda kandung anak Mas mu loh, masa tega misahin anak sama ayahnya?"

Persetan dengan hubungan darah antara bayi yang Linda kandung dengan mas Biru, tidak adakah satu orang pun yang ada di pihak saya? Ayah, malah mengangguk menyetujui Bunda yang memihak mas Biru. Dan mba Nila? Gadis itu hanya diam tanpa mau berkomentar. Selalu seperti itu, terlihat netral hanya demi tak mau disalahkan.

"Jingga, tolong mengalah sama Masnya. Ayah setuju sama Bunda dan Masmu, kasian Linda juga kalau dipaksa terus di hubungan kalian ini."

Rasanya sata itu dunia saya hancur, ntah dimana letak kesalahan saya. Tapi saya bersumpah, semesta teramat jahat pada saya.

"Cek dulu, kalau positif.., lakuin apapun yang kalian mau."

"Setelah semua desakan itu, saya mengalah. Saya cuma maksa Linda buat tes, kalau positif saya yang nyerah. Dan..,pas itu, keadaan beneran gak mihak saya sama sekali. Kamu tahu? Linda beneran hamil, ntah gimana, tapi yang jelas saya marah."

"Saya marah karena ternyata Linda dirusak, wanita yang saja jaga dirusak sama kakak saya sendiri. Semua perjuangan saya, lenyap gitu aja."

Setelah hari itu, hubungan kami mulai merenggang. Mulanya jarak itu sedikit, namun lama kelamaan semakin membesar sampai hampir terasa asing. Rasanya untuk bertegur sapapun harus memutar otak bagaimana cara memulainya.

Pernikahan mereka diselenggarakan 2 bulan sejak hari itu, dan yang paling membuat saya tak habis pikir adalah saat Linda, dengan lancang meminta semua persiapan pernikahan kami untuk direalisasikan dengan mas Biru. Dan sekali lagi, saya menyetujuinya.

"Singkatnya, mereka nikah. Nikah pake semua yang udah saya siapin buat nikah sama Linda. Konsep, warna, gedung. Semuanya diambil Osin."

Setengah mati saya menekan rasa kecewa saya, mencoba ikhlas walau harus bangkit teramat lamban. Namun, sepertinya saat itu semesta tahu, saya masih memiliki sisa tenaga. Hingga ia memilih untuk kembali menguji saya dengan masalah yang lain.

"Luka yang kemarin belum kering, gak lama perusahaan hampir ancur. Banyak investor yang tiba-tiba mutusin kerja sama karena pas itu, Ayah mau pensiun. Kaya yang saya bilang, Latio pada gak mau dan cuma saling tunjuk doang. Sampe berakhirlah Ayah sebagai CEO nunjuk saya. Katanya, sebagai anak sulung mungkin memang harus dari turunan dia yang ngelanjutin."

"Lah, kan ada Mas Biru gak sih pas itu?"

"Itu, yang saya pikirin juga. Gak tau deh, kayanya emang niat aja buat anak bungsunya menderita."

"Gak mau, yang bener aja, Yah. Jingga udah cukup bantu banyak buat perusahaan, jangan dikasih beban lain."

"Jingga, kalau bukan kamu siapa lagi, Nak? Bantu Ayah."

"Giliran gini, ke Jingga ya? Giliran gini, anak bungsunya yang maju, yang dipaksa. Yah, anak Ayah gak cuma Jingga aja."

"Mba mu perempuan, Masmu kan dia fokus ke keluarganya."

"Ayah tau, Jingga mau jadi produser, minat Jingga bukan dibidang ini. Yang lain aja lah, Yah."

Seingat saya, waktu itu Ayah adalah sosok panutan yang baik, yang hangat sama seperti Bunda. Namun, kata-kata selanjutnya berhasil membuat saya sesak. Persis seperti terakhir kali saya dipaksa mengalah pada Mas Biru.

"Jingga, Ayah minta baik-baik. Jangan sampai Ayah buat studio kamu itu berantakan, jangan sampai kamu buat perusahaan buyutmu ancur cuma karena keegoisan kamu."

Sekali lagi, saya dilabeli dengan kata egois.

"Ayah bilang katanya saya jangan egois jangan sampe perusahaan bangkrut cuma karena saya milih studio kecil saya. Lucu kan? Kayanya gak banyak yang nyangka sosok orang tua saya kaya gitu."

Ntah sadar atau tidak, tapi Sinar mengangguk kecil. Mungkin terkejut dengan fakta yang baru saja saya beberkan.

"Belum selesai di sana Sinar. Masih ada cerita, gimana saya dan Harsa bisa barengan. Jangan sekaget itu dulu."


🐝🐝🐝

Ini feel nyeseknya nyampe gasi? 😭

Btw, update selanjutnya, aku mau sekalian ksh tau sesuatu hehee

BUNGSULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang