34

12 6 0
                                    

🔉🔉kata lebah kecil, kakak-kakak yang baca jangan lupa klik bintang di pojok kiri ya,komen juga biar teh almi semangat nulisnya hihi😋😋

Happy reading all,hope you enjoy 😘😘

🐝🐝🐝

Aku terdiam, ntahlah. Aku hanya merasa ada rasa hangat yang perlahan menjalar, juga rasa nyaman yang semakin membuatku ingin menceritakan kisahku kepadanya.

Sedikit cerita, lelaki yang sialnya menjadi ayahku itu adalah seorang yang egois. Mungkin Bapak termasuk pada list orang paling egois dalam hidupku. Anggaplah aku anak yang durhaka, tapi aku bersumpah bahwa Bapak adalah manusia yang paling banyak memberiku luka. Lewat dirinya, aku menjadi kuat, walau akhirnya aku tak berbentuk. Lewat dirinya, aku belajar bahwa darah tak selamanya menjadi jaminan orang tersebut akan tulus pada kita.

Ntah sejak kapan tepatnya, tetapi aku menyadari sejak aku memasuki TK Bapak sudah jarang berada di rumah. Saat itu tentu aku masih kecil, aku tak bertanya dan juga tak mencari keberadaannya. Karena saat itu, aku pikir hadirnya Ibu saja sudah cukup untukku tetap hidup.

Akan tetapi, pertanyaan itu mulai muncul saat tetanggaku bertanya dengan lantang, kemana perginya Ayahku itu. Wajar, pemukiman gang memang rawan dengan gosip murahan.

"Sinar, si bapak kemana? Ko gak liat pulang ya? Udah lama."

Sinar kecil saat itu hanya mampu menggeleng lugu, menjawab tidak tahu kemana sang ayah dengan suara kecil. Sedikit malu dan sisanya jadi merenung, Sinar kecil sejak saat itu baru menyadari, bahwa ayahnya memang jarang berada di rumah. Jika saja pertanyaan itu terlontar sekarang, maka aku akan menjawab bahwa pulang atau tidaknya bapak bukanlah urusan kalian wahai ibu-ibu biang gosip.

Aku masih ingat, aku tak berani bertanya pada Ibu. Meski bodoh, tapi aku termasuk anak yang peka. Bagaimana jika aku bertanya dan Ibu menjadi sedih karena ia tahu bahwa si kecilnya yang saat itu masih menjadi anak tunggal diberi pertanyaan yang sebenarnya tidak layak di tanyakan pada anak TK seperti itu?

Sinar kecil selalu berpura-pura tidak mengetahui apapun tentang keluarganya, Sinar kecil tanpa sadar memakai topeng 'tidak peduli' untuk menutupi seluruh rasa khawatirnya. Sampai tak sadar, topeng itu terus aku pakai hingga kini aku dewasa. Aku, sengaja membunuh Sinar kecil demi terus hidup dengan cara melahirkan sosok Osin yang kini hidup dengan seluruh bungkamnya.

"Dari kecil, gue udah ditinggal-tinggal sama Bapak. Awalnya gue gak ngeh, sampe suatu hari tetangga gue nanya kenapa Bapak gak pulang, tau gak Kang? Dulu gue cuma bisa senyum kecil sambil geleng-geleng kepala, gue masih TK mana tau jawabannya. Terus dari situ gue baru ngeh, kalo gue gak sedeket itu. Gue, anak satu-satunya saat itu takut, bukan deket sama Bapak."

Gue tertunduk. "Ibarat dalam setahun, Bapak bisa gak pulang 5 bulanan kalau di akumulasiin. Gue, tumbuh sama Ibu dan kurang perhatian dia. Gue terbiasa gak ada dia. Tapi kalo dia ada, naikin nada sedikit aja tuh gue bakal langsung takut."

Kang Ayung masih diam, ia tak berkomentar apapun, mungkin menunggu aku sampai selesai bercerita. "Dulu gue tinggal sama nenek, keluarga Ibu. Mereka berantem, gue gak ngerti karena apa, yang jelas gue liat Bapak kaya mau mukul Ibu, tapi di situ Ibu nyuruh gue keluar dan gue berakhir di tarik sama nenek gue."

Kejadian itu, masih teringat jelas dalam memoriku hingga kini. Mungkin karena itu pertama kalinya aku melihat mereka bertengkar, hingga berbekas sampai aku sudah dewasa. Aku ketakutan saat itu. Di satu sisi aku ingin melindungi Ibu, tetapi di sisi lain aku terlalu segan dengan Bapak.

"Gue hidup dari keluarga yang gak kaya, bahkan buat terus makan sehari-hari aja harus muter otak, kadang takut buat besok masih bisa makan atau engga. Dulu ya, bahkan gue mau jajan aja gue selalu bisik-bisik nanya, ada duit atau engga, boleh jajan atau engga?"

Benar, sejak dulu aku terbiasa menahan diri. Bahkan sekedar jajan ke warung pun, aku selalu bertanya terlebih dahulu. Padahal Ibu selalu berkata ada jika aku ingin membeli sesuatu, Ibu selalu mengusahakan apa yang aku inginkan. Hanya saja, sekali lagi, aku tahu bahwa uang yang Ibu punya tetap harus dipakai sehemat mungkin. Kita, tidak tahu kapan Bapak akan pergi. Kita, tidak tahu berapa lama Bapak akan menelantarkan kita tanpa memberi nafkah.

Ibu yang dahulu tidak berpenghasilan tentu harus pintar mengatur uang dan aku, sebagai anak hanya mampu membantu untuk tetap hemat.

"Ibu, Ibu ada uang ga? Sinar mau jajan boleh?"

Aku ingat, setiap aku bertanya, Ibu akan selalu tersenyum sambil mengelus sayang kepalaku sambil mengangguk mengijinkan. Hanya di beberapa kesempatan Ibu memberi pemahaman kepadaku tentang uangnya yang hanya sisa sedikit.

"Jajannya boleh besok lagi gak nak? Uang Ibu sisa sedikit lagi."

Jika seperti itu, aku yang akan mengangguk dan tersenyum, sudah paham. Jika diingat lagi, saat itu cukup menyedihkan. Bayangkan saja, Ibuku harus terlihat tetap bahagia padahal ayahku sering tidak pulang dan tidak memberikan nafkah. Bayangkan bagaimana ia khawatir tentang esok hari. Tetapi meski begitu, aku akan dengan berani berkata bahwa selama aku hidup dengan Ibu, aku tidak pernah kekurangan. Walau harus berhemat, seluruh kebutuhanku tidak ada yang tidak ia penuhi. Hebat bukan?

"Karena gue dari keluarga yang gak kaya, gue dari kecil selalu diajarin hemat dan diajarin buat nabung. Nyeseknya tau gak? Dari dulu duit tabungan gue yang gue kumpulin susah payah suka tiba-tiba ilang. Dan itu di ambil sama Bapak, hahaha. Endingnya gue nangis, dan cuma bisa marah ke Ibu."

Aku masih ingat dengan jelas, dahulu aku pernah menangis sejadi-jadinya karena tabunganku hilang. Mulanya, aku tentu tak menaruh curiga pada Bapak. Hanya saja, jika dipikir lagi tidak ada seorangpun yang akan berani mengambil uangku. Memang tidak seberapa, hanya saja itu tetap perjuangan untuk seorang anak SD yang diberi bekal tidak seberapa. Bayangkan kecewanya diriku saat aku sebisa mungkin mengatur keuanganku sendiri tetapi semuanya berakhir nol.

Uang yang dulu aku simpan di bawah bantal seringkali hilang.

"Uang tabungan Sinar gak ada, siapa yang ambil?" Tanyaku dengan penuh emosi. Air mataku bahkan sudah siap jatuh.

Aku melihat Ibu mendumel dan berusaha menenangkan diriku. Bebarapa saat kemudian aku tahu bahwa Ibu menegur Bapak yang mengambil seluruh uangku itu.

Bukan sekali dua kali, tetapi sudah sesering itu tabunganku raip oleh Bapak. Mulai dari diam-diam mengambil sampai memakai narasi 'pinjam dulu, nanti di ganti' aku tak mampu menolak. Aku hanya mampu menangis dengan penuh kecewa, aku selalu menanamkan bagaimanapun lelaki itu tetaplah ayahku.

BUNGSULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang