33

19 6 2
                                    

🔉🔉kata lebah kecil, kakak-kakak yang baca jangan lupa klik bintang di pojok kiri ya,komen juga biar teh almi semangat nulisnya hihi😋😋

Happy reading all,hope you enjoy 😘😘

🐝🐝🐝

Sinar POV

Aku tersenyum pada kang Ayung sembari membukakan pintu untuknya, mempersilahkan ia untuk masuk ke dalam rumah. Detik selanjutnya, kang Ayung membalas senyumanku sambil mengelus pelan kepalaku yang tadi menyembul.

"Saya izin masuk ya," izinnya.

"Mau minum apa, Kang? Udah makan belum?"

"Kopi ada?" Tanyanya melirik padaku yang masih berdiri.

"Udah makan apa belum?" Tanyaku memastikan. Bukan apa-apa, tapi aku tahu lelaki yang tengah menatapku itu bisa saja sakit perut jika ia meminum kopi sebelum makan.

"Udah, saya makan roti tadi."

Mendengar jawabannya yang kelewat santai, aku otomatis merotasikan mataku. Malas, nanti giliran sakit tetap saja aku yang jadi tempatnya mengeluh.

Maka, tanpa kata aku pergi ke dapur. Menyiapkan sepiring makanan juga lemon tea dingin untuk kang Ayung. Aku tahu, dia tidak akan menolaknya.

"Makan dulu, tadi gue masak rendang. Terus minumnya lemon tea aja ya, dingin ko gak anget." Aku meletakkan piring dan gelas di hadapannya perlahan. Meski samar, aku mampu melihat seulas senyum di bibirnya. Tampan, kang Ayung selalu tampan.

"Makasih ya, saya makan."

Setelah mengucapkan itu, aku memilih menyibukkan diri dengan ponselku, karena tahu bahwa kang Ayung tidak suka mengobrol jika sedang makan. Namun, kegiatanku memainkan ponsel itu terhenti saat melihat kang Ayung yang tersedak. Tanpa bisa ditahan lagi aku berpindah duduk menjadi di sebelahnya, mengulurkan air sambil menepuk pelan punggungnya dengan harapan dapat membantu.

"Buset, makannya pelan aja Kang, gak akan gue ambil lagi itu nasi sama rendang, kaya belum makan dari kemarin aja." Dapat aku lihat wajahnya yang sedikit memerah, membuatku menggelengkan kepala.

"Sorry, saya emang belum makan nasi sejak sore itu, jadi gini deh."

Tanganku yang semula masih berada di punggungnya perlahan turun. Sejak malam itu, jangan bilang dia tidak makan sejak malam dimana dia melamarku? Tuhan, lelaki ini sedang cari mati kah?

"Lo mau mati muda, apa gimana?" Ntah kenapa, aku menjadi kesal mendengarnya.

"Jangan dimarahin sayanya, mau lanjut dulu makan, boleh kan? Habis ini, kita diskusi lagi tentang hubungan kita, ya?"

Mulutku otomatis mengatup, mulut ini memang suka kelewatan jika sudah mengomel. Maka dari itu, aku kembali tertunduk untuk memainkan ponselku, menunggu kang Ayung selesai dengan acara makannya. Di waktu yang terasa lama itu aku berfikir, haruskah aku membeberkan semuanya?

Haruskah aku menceritakan siapa itu Osinara yang sebenarnya? Seperti Jingga Lembayung yang sudah membuka seluruh topengnya di hadapanku. Tetapi, apakah aku akan siap dengan semua resikonya? Akankah aku siap jika lelaki baik itu memilih untuk pergi daripada tinggal? Tetapi bukankah ia layak mendapatkan wanita yang lebih dariku?

Saat aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba aku merasakan sofa di sebelahku diduduki. Ternyata kang Ayung sudah selesai. Aku jadi menyimpan ponselku, menunggu apa yang akan ia katakan selanjutnya.

"Osin." Suara rendahnya saat memanggilku terdengar begitu lembut, aku selalu menyukainya.

"Hmm?"

"Tell me."

"Apa?" Kini, aku menatap tepat ke manik matanya, setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya aku mampu.

"About us. 2 hari saya diam, sesuai permintaan kamu pas kita jalan pulang sore itu. Sekarang, boleh saya tanya jawabanny? Maaf kalau terkesan gak sabar, karena nyatanya digantung gini saya malah jadi gila sendiri. So tell me, what are we, Osin."

Aku tertegun, badanku melemas bersamaan dengan kapala yang perlahan menunduk, keberanianku menguap begitu saja.

"Why me?"

"Karena kamu Osinara, saya ga perlu kasih jawaban atas pertanyaan kamu yang itu. Karena saya gak ngerti juga kenapa saya bisa tenang kalau liat kamu, kenapa saya bahagia kalau kamu ada di samping saya, kenapa saya mau jadi kuat dan jadi lebih baik untuk kamu. Saya gak tau apa alesannya saya secinta itu sama kamu."

Tangan kang Ayung meraih dagu saya, membuat kepala saya jadi kembali terangkat. "Liat saya Osin, pandangan saya ke kamu, apa kurang buat yakinin kamu atas rasa yang saya punya? Atau karena kamu udah tau segala kurangnya saya, jadi kamu ragu buat melangkah?"

"Gue gak ada bilang ragu sama rasa lo, gue juga gak ada mikir buat nolak lo karena segala cerita lo yang lo anggap kurang itu Kang, engga. Cuma di sini lo yang salah karena milih gue, lo cinta sama orang tapi lo ga tau apapun tentang dia."

"Karena kamu gak kasih saya celah buat tau tentang kamu, kamu cuma ijinin orang-orang tertentu yang tau, kamu sebaik itu buat peran kamu Osin. Yang saya tau, saya bahagia sama kamu dan kamu wanita baik. Ga kurang dan gak lebih."

Aku merasakan tangannya menggenggam tanganku lembut. "Saya kurang apa? Kasih tau aja, nanti saya perbaiki. Saya harus gimana biar bisa dipercaya sama kamu? Biar saya tau siapa kamu yang sebenernya dan jalan apa yang udah kamu lewatin."

"Oke, gue bakal kasih tau semuanya, tanpa terkecuali."

Pada akhirnya, aku memilih memberitahunya secara perlahan. 1 tahun, bukanlah waktu yang singkat untuk aku mengenalnya. Maka, untuk kali ini biarkan aku bertaruh dengan takdir. Akankah aku ditinggalkan atau dikuatkan hingga akhir.

"Kang, lo sadar ga sih selama gue cerita tentang keluarga gue yang katanya keluarga cemara, gue gak pernah mention Bapak? Gue itu, punya daddy issue. Luka pertama gue, itu Bapak gue sendiri. Saat kebanyakan orang bilang cinta pertama anak perempuan itu seorang ayah, gue dengan lantang bilang kalau ayah bagi gue adalah ujian yang nyata juga cambukan yang gak ada akhirnya. Gue, salah 1 diantara sedikitnya anak yang dapet ayah sebagai cobaan bukan sebuah perlindungan."

Aku menjeda kalimatku, melirik pada kang Ayung yang sedang menatapku dengan hangat.

"Segitu dulu, lo masih tetep mau sama perempuan kaya gue?" Tanyaku sekali lagi memastikan.

"Bahkan itu baru sepersekian persen dari cerita hebat kamu, kenapa saya harus mundur?"

Aku terdiam, ntahlah. Aku hanya merasa ada rasa hangat yang perlahan menjalar, juga rasa nyaman yang semakin membuatku ingin menceritakan kisahku kepadanya.

BUNGSULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang