16

20 5 0
                                    

🔉🔉kata lebah kecil, kakak-kakak yang baca jangan lupa klik bintang di pojok kiri ya,komen juga biar teh almi semangat nulisnya hihi😋😋

Happy reading all,hope you enjoy 😘😘

🐝🐝🐝

Sinar POV

Sedikitpun, aku tidak pernah membayangkan akan mengabaikan suruh pesan dan eksistensi Kang Ayung yang terus datang mendekat. Diriku tanpa sadar jadi memupuk dinding untuk membuat jarak dengan lelaki tampan itu. Bukan, aku bukan jual mahal, aku melakukan ini justru karena aku cukup sadar diri. Mau dilihat dari sebelah manapun rasanya aku dan dirinya terlalu berbeda, ntah dari sikap ataupun bibit, bebet, bobot kami.

Aku pikir, saat 1 minggu kemarin aku menghindar dengan jelas akan membuat Kang Ayung menjauh. Namun, ternyata aku salah. Lelaki itu malah semakin getol mengirimiku pesan dan datang ke tempatku. Seperti sekarang contohnya.

"Hai Kang, pesen kaya biasa?" Tanyaku dengan nada ramah. Padahal, aslinya aku ingin sekali melipir ke dapur. Minggu kemarin, alam seperti mendukungku untuk menjauh. Namun, sekarang mungkin keberuntungan itu habis. Aku tidak lagi memiliki alasan untuk melengos pergi, dan sialnya dia datang saat aku sedang menjaga kasir.

"Iya, kaya biasa. Take away 1 ya, buat Harsa juga kaya biasa." Aku mengangguk saat mendengar perkataan itu, tanganku sibuk mengetikkan pesanan itu di komputer toko. Pura-pura tidak sadar bahwa Kang Ayung tengah menatapku.

Aku baru bernafas lega saat ia membayar dengan tenang, tidak seperti hari-hari kemarin yang penuh dengan drama.

Aku memperhatikan ia yang menjauh, sebelum akhirnya memberikan pesanan itu pada bagian dapur.

Hampir 1 jam aku larut dengan tugasku sembil sesekali mencorat-coret buku untuk cerita yang selanjutkan akan terbit. Hingga tepukan di pundakku membuatku sadar, kini sudah saatnya tokoku tutup. Aku dan tim perlahan membersihkan toko untuk segera di tutup. Lalu setelah selesai, aku melangkah sampai keluar dengan earphone yang terpasang di telingaku. Timku tadi sudah izin pergi begitu selesai membersihkan toko,menyisakan aku sendiri.

Saat selangkah lagi aku sampai ke motor, sebuah tepukan membuatku menoleh begitu saja. Tanpa bisa ditahan lagi, mataku membola. Tidak menyangka bahwa yang menghampiriku adalah Kang Ayung. Ya Tuhan, baru saja tadi aku bersyukur karena dirinya tak berusaha mendekat. Tapi, apalagi ini?

Bukan apa-apa, jika terus begini aku merasa amat jahat padanya.

"Osin." Panggilan yang melantun halus itu sedikit menggelitik. Ada sebagian dari diriku yang menyukai saat panggilan itu keluar dari mulutnya.

"Iya, kenapa Kang? Kirain udah pulang loh." Aku mencoba menjawab seriang mungkin, kali ini aku tidak memiliki alasan untuk kabur.

"Pengen ngobrol, saya kangen. Ada yang mau saya omongin-engga, ada banyak yang mau saya ceritain, Osin." Detik itu juga, aku membeku. Aku sadar, ada getaran aneh yang terasa menyengat. Sialnya, aku sedikit menyukai itu.

Meski begitu, aku tetap berusaha menjaga jarak. Otakku masih waras dan aku masih sadar diri. Maka, aku berlagak melirik jam yang melingkar di tanganku.

"Mau alesan apa lagi hm? Saya tau kamu ngga ada janji sama siapapun, mau menghindar dari saya sampai kapan, Osin?"

Sial, aku yakin kini air mukaku pasti terlihat menegang. Aku tidak menyangka akan diserang mendadak seperti itu.

"Ayok ke mobil saya aja." Mau tak mau, aku mengangguk, mengekori tanpa banyak protes kali ini.

"Lo nungguin, dari tadi?" Tanyaku begitu mendudukan diri di dalam mobilnya.

"Iya."

"Ngapain ya Allah, niat pisan." Aku menggeleng tak habis pikir. Pertama kali mendapat perlakuan seperti ini, rasanya aku belum terbiasa.

"Ngapain? Coba tanya sama perempuan yang belakangan ini pinter banget ngehindarin saya." Ayung menjawab tenang. "Saya sampe muter otak buat bisa ngobrol sama dia, jadi hari ini mumpung saya free dan dia juga ga lagi ada kegiatan, jadi saya tungguin."

Aku menghela nafas. "Maaf." Ucapku penuh sesal. Nyatanya, setelah mendengar penuturan langsung rasa bersalah itu langsung muncul. Aku teringat bagaimana kemarin aku mengabaikan lelaki ini.

"Mau ngobrol apa emang?" Tanyaku memulai obrolan. Aku menerima uluran kresek darinya, dan sudut bibirku tertarik saat melihat isi kresek itu adalah sebotol minuman greentea juga sebungkus cilok. "Makasih loh."

Aku mendengar Kang Ayung terkekeh, sementara aku tak peduli banyak. Jujur saja fokusku kini pada cilok yang terlihat menggirukan, membuat perutku yang kosong bersorak senang.

"Saya kangen kamu." Aku yang baru saja mengunyah gigitan cilok pun langsung tersedak saat mendengar penuturan itu. Gila, bisa-bisanya ia berucap tanpa aba-aba terlebuh dahulu?

"Sorry sorry."

"Kaget banget gue, kang." Cicitku yang malah membuatnya tersenyum.

"Beneran, saya kangen kamu. Kamu menghindar terus 10 hari ini, mana tiba-tiba lagi. Saya, ada salah ya?" Pertanyaan itu membuat kunyahanku memelan.

Tidak, kang Ayung sama sekali tidak bersalah. Ini adalah bentuk kesadaran diriku untuk menjauh dari manusia yang sudah mendekati sempurna ini. "Engga ko, gak ada."

"Terus, kenapa menghindar? Kenapa chat saya udah gak pernah dibales lagi? Kalo saya samperin juga kamu abur-aburan terus?" Aku melirik kepadanya, membuat padangan kami saling bersirobok.

"Nothing, cuma.., mau aja. Kita, gak sedeket itu ngga sih, Kang?" Aku tahu, caraku ini akan membuat goresan lagi untuknya, tapi otakku sudah terlalu buntu untuk mencari kata lagi.

"Ngga deket kamu bilang? Terus 4 bulan ini kita sering ketemu, kita makan bareng, kamu bahkan sampe akrab sama Harsa, itu apa Osin?" Ntah kenapa, pertanyaannya kali ini terdengar sedikit lebih menusuk bagiku.

"Fine kita emang udah sering ketemu.., mungkin bisa dibilang deket. Tapi justru karena itu, gue ngasih jarak, Kang. Kalau gue tetep kaya biasa yang ada lo tetep berharap sama gue." Untungnya, kali ini aku dapat mengeluarkan kata-kata yang menurutku masuk akal. Dan aku, berharap hal itu bisa ia terima.

"Gue bukan geer ya, tapi ya logikanya aja." Lanjutku lagi.

"Dari kamu nolak saya, hubungan kita masih baik. 1 minggu kita bahkan masih sering ketemu, tapi kemarin kamu menjauh segitunya. Kalau saya ada salah, tolong kasih tau. Biar saya perbaiki itu."

"Engga ada, Kang."

"Berarti bener karena hal itu." Lagi, ucapannya membuatku reflek menatap mata yang terlihat dingin milik Kang Ayung. "Bener kamu menjauh karena fakta ada Latio di belakang nama saya?"

Bungkam, aku total bungkam dengan pertanyaannya barusan.

BUNGSULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang