17

23 7 5
                                    

Ayung POV

Saya menyeringai kecil saat melihat Sinar terdiam, bola matanya bergerak gelisah ke sana kemari untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya ia balas menatap saya, ada segurat senyum tipis yang ia tunjukan.

"Kalau udah tau, kenapa nanya lagi?"

"Karena alasan kamu gak masuk akal, Osin."

Saya melihat Sinar merotasikan bola matanya, matanya sayu dan lelah tercetak di wajah cantiknya. Mungkin lelah karena seharian sudah bekerja, dan sekarang ia malah terganggu oleh saya.

"Gak masuk akal gimana? Sebelah mananya, Kang?" Pertanyaan tenang yang terlontar dari bibir Sinar ntah kenapa malah membuat saya meremang.

"Gue dari keluarga biasa, sementara lo ternyata dari keluarga old money. Dan lo masih ngerasa gue menjauh itu gak masuk akal?"

Saya jelas menggeleng. "Terus kenapa kalau saya dari kalangan yang kata kamu old money itu? Apa yang salah?"

"Salah lah, kita bukan hidup di dunia fiksi. Lo bilang kasih alesan yang masuk akal, logikanya diliat dari mana juga gue gak pantes-"

"Pantes, siapa yang bilang. Sini maju ke saya." Saya sengaja memotong ucapannya, ada sesuatu yang membuat saya kesal saat mendengar Sinar merendahkan dirinya hanya karena status sosial.

"Lo enak banget bilang begitu, endingnya tetep yang rendah yang kena getahnya, Kang."

Saya menyeringai lagi. "Kamu ngomong gitu, udah siap bersanding sama saya emangnya?"

Seolah sadar dengan perkataannya yang ambigu, Sinar diam sambil mendelik pada saya. "Apaan sih."

"Sini, sama saya terus. Biar kamu tau, kamu pantes untuk disandingin sama saya. Sini, terima saya, biar saya bisa buktiin kalau semua yang kamu takutin itu ngga akan terjadi. Karena saya, bakal ada buat lindungin kamu."

Saya mendengar ia berdecih. "Huh, liar."

Saya pernah mendengar, katanya seorang sulung itu keras kepala. Katanya, berdebat dengan mereka menguras banyak tenaga. Dan bungsu terkenal dengan ambisi besarnya dalam mendapatkan sesuatu, lantas bisakah bungsu seperti saya menaklukan Sinar sisulung yang hebat itu?

"Oke, first lemme introduce myself again. Me and my family." Saya menyandarkan punggung pada kursi pengemudi.

"Latio itu, nama uyut saya. Beliau pengusaha, awalnya cuma dibidang properti tapi semenjak diambil alih sama kakek jadi merembet ke yayasan yayasan juga. Singkatnya Ayah saya yang anak sulung mau gak mau ngewarisin perusahaan, sempat ada di ujung tanduk tapi Ayah berhasil mulihin perusahaan. Ayah itu sulung, sementara 2 adiknya perempuan." Saya menjeda kalimat selanjutnya, karena tak mampu menahan senyum saat sadar Sinar benar-benar menyimak saat ini.

"Mereka nikah sama pengusaha juga, dua-duanya hampir nolak bagian karena sebenernya mereka ngga mau terlibat diperusahaan. Tapi, Ayah ngga sanggup kalau sendiri, jadi mau ngga mau tante pertama saya terjun di bagian yayasan, sementara suami tante yang terakhir bantu-bantu Ayah. Saya bersyukur keluarga kami ngga berdebat tentang posisi, tapi justru karena pada ngga mau ujungnya jadi masalah juga."

Ntah karena nada saya yang memelas atau memang itu terdengar lucu, Sinar terkekeh kecil.

"Dan itu berlangsung sampai sekarang. Sepupu-sepupu saya mereka beberapa orang milih jalanya sendiri, beberapa emang ada yang terjun ke perusahaan tapi ngga mau yang too much. Pun dengan kakak-kakak saya, kakak saya Mas Biru udah berpulang kamu tau itu, dan Teh Nila, dia bilang ngga akan sanggup kalau handle sebagai CEO, katanya yang mimpin lebih baik laki-laki. Jadi dia ambil yang bagian yayasan aja, terus berakhirlah saya yang dipaksa, kamu juga tau itu. Saya pernah cerita."

"Tetep aja." Lirihan itu mungkin tak sengaja keluar dari mulutnya.

"Bunda, gurumu itu juga wanita biasa, bukan dari kalangan atas seperti yang kamu bilang. Beliau cuma dosen muda yang ngga sengaja ketemu Ayah. Sinar, keluarga kami ngga memandang hal seperti itu."

Sinar menggeleng, wanita dengan balutan blouse biru langit itu lagi dan lagi menghela nafas. "Bukan keluarga lo, tapi kolega, orang sekitar lo."

"Bukannya kamu seharusnya bangga ya? Saat saya dan yang lain hanya melanjutkan, tapi kamu membangun usahamu sendiri. Kamu merintis dari awal, pekerjaan kamu sebagai penulis juga cukup menguntungkan. Bagian mana lagi yang buat kamu merasa rendah itu, Sinar? Kakimu sendiri saja udah kuat, but lemme help you, ijinin saya buat jagain kamu. Perempuan yang saya suka."

"Gue masih ngga paham, kenapa bisa-bisanya lo suka gue? Anehh tau gak sihh aneh."

Kali ini saya terbahak, nada yang keluar dari mulutnya tak lagi sekaku tadi. "Jangan tanya saya, saya juga gak ngerti. Yang saya tau saya pengen terus liat dan ada di deket kamu. Ini kamu menjauh aja saya pusing banget ngedeketnya gimana."

"Jangan gue lah Kang, cari yang lain aja gimana?"

Astaga, wanita ini, ternyata benar-benar keras kepala. "Gak mau ih, balik lagi ke perjanjian awal. Saya udah bilang, terserah kamu mau nolak saya berapa kali, tapi jangan jadi asing. Tolong."

"Emang ada? Gak ada perjanjian dih." Cibiran itu malah terdengar lucu di telinga saya.

"Ada, saya ngomong kan jangan menjauh. Saya bakalan perlahan buat kamu percaya sama saya. Maaf, kemarin saya gak cerita soal Latio, karena saya kira itu ngga penting amat."

"Wehhh, gak penting?" Pandangan horornya tak ia sembunyikan. Kan memang fakta, hal itu saya kira awalnya tidak akan mengganggu.

"Lo tau? Lo salah satu manusia paling anehh, aneh banget gak ngerti lagi."

"Udah berapa kali bilang saya aneh? Hm?" Saya bertanya sambil menahan tawa. Sungguh, saya rindu sekali dengan wanita ini. Hampir 2 minggu hubungan kami amat merenggang.

"Bodo, emang bener kok."

Tangan saya otomatis terulur untuk mengusap kepalanya, gemas bukan main. "Dimakan lagi itu ciloknya."

"Ih kan, sampe lupaaaa."

"Osin."

Gadis cantik saya tak menjawab, ia hanya melirik sambil mengunyah cilok yang membuat pipinya mengembul lucu.

"Susah ya jauhin saya?"

Ia mengangguk.

"Cape engga?"

Lagi, dirinya mengangguk.

"Kangen gak?"

Ia, mengangguk sebelum akhirnya menggeleng keras. "HEY!"

Tawa saya tak mampu ditahan lagi, matanya yang membola sambil bibirnya mengerucut lucu adalah pemandangan yang amat saya sukai. "Harsa sama saya kangen."

"Ih, iya. Kangen bocah itu deh."

Saya tak menjawabnya, saya malah memilih maju dan menyandarkan kepala pada stir mobil sambil tersenyum memperhatikan Sinar yang masih fokus pada makanannya.

"Gue tau gue cantik, jangan diliatin. Nanti naksir."

Dia lupa? Saya memang sudah dipukul tunduk atas rasa yang membuncah ini untuknya.

"Kan udah, Babanya Harsa udah naksir sama Bubunya Harsa."

"Ya Allah mulut loo." Rutuk Sinar.

"Besok ketemu sama Harsa, mau ya? Dia kangen beneran sama Bubunya."

Sempat terdiam, akhirnya Sinar mengangguk setuju. "Mau gue jemput aja ngga anaknya? Gue bawa ke toko ntar."

"Boleh, ngga repot tapi?"

"Besok jadwal gue off, kemarin seminggu full kerja gue. Jadi aman lah."

"Oke. Terakhir Bunda juga nanyain, kapan katanya main lagi ke beliau? Kalau kamu ada waktu, diundang buat makan bareng katanya."

Lalu, detik berikutnya Sinar kembali tersedak saat mendengar penuturan saya.

🐝🐝🐝

Tolong feedback untuk aku jgn lupa ya, hehe💜🤗🐝

BUNGSULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang