41.

11 4 0
                                    

🔉🔉kata lebah kecil, kakak-kakak yang baca jangan lupa klik bintang di pojok kiri ya,komen juga biar teh almi semangat nulisnya hihi😋😋

Happy reading all,hope you enjoy 😘😘

🐝🐝🐝

"Gue nganggur 4 bulan deh kalau ga salah. Stress banget, kaya apa ya? Pas itu gue dipaksa damai sama keadaan, neken emosi yang mau gimana juga kayanya gak layak gue keluarin ke orang tua gue. Terus temen-temen gue yang kuliah juga sering pada curhat tentang gimana capenya mereka jadi maba, gimana drama mereka selama orientasi di Universitas mereka, atau temen gue yang juga sedih karena gagal masuk universitas yang mereka mau."

"Mereka cerita, ke kamu yang gak kuliah?"

Aku terkekeh. "Kenapa? Wajar dong, wong mereka temen gue. Gue pendengar yang baik btw kalo Akang lupa."

"Ya tapi kan-"

"Hahahaa iya, gue sedih sebenernya. Gue mau marah juga harus ke siapa sih? Mereka cerita, tanpa tau gue dapet tekanan dari mana-mana. Ibu, Bibi, Om sampai sodara gue sering banget kaya nyuruh gue cari kerja pas itu. Ngirim link, ngirim loker. Gue tau banget maksud mereka baik, sumpah gue tau. Tapi pas itu gue beneran pengen teriak, bisa gak lo pada diem, gue stres anjir. Belum lagi Ibu yang beneran neken gue, ngomel katanya gue ke HP terus. Padahal diem-diem gue juga cari kok, gue juga masukin. Tapi namanya lulusan SMA, namanya belum rezeki ya gak ada panggilan terus."

Aku mengakui, saat itu memang aku banyak bermain ponsel. Tetapi aku berani bersumpah, aku tidak lupa untuk mencari pekerjaan. Sial saja setiap keluargaku melihat, layar ponselku menunjukan akun tengah bermain IG atau twitter. Yang berakhir, mereka mengecapku sebagai pemalas. Tetapi, apakah mereka sadar, bahwa aku juga ingin istirahat. Aku butuh waktu untuk pulih dari kecewaku karena tak mampu melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Tak ada satupun yang berfikir ke arah sana. Mereka hanya tau aku baik-baik saja. Mungkin jika dulu aku tidak memiliki banyak teman dan tidak masuk ke circle  orang-orang ambis, harapanku untuk kuliah akan tetap terkubur hingga akhir. Sayang saja, lingkungan tempatku hidup adalah dengan mereka yang menjungjung pendidikan yang membuatku tak lagi mampu membohongi keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.

"Kenapa kamu gak cerita sama mereka tentang kesulitan kamu juga? Kalian temen." Aku mengangguk mengiyakan. Tetapi ia tak tahu, aku adalah tipe yang akan bercerita jika ditanya, atau aku akan bercerita saat masalahnya sudah terselesaikan.

"Kan, mereka juga punya masalah, Kang. Di pikiran gue waktu itu gini, gue gak boleh nambah beban mereka dengan cerita gue yang ga seberapa ini. Tiap orang punya porsinya sendiri Kang."

"Dan kamu juga manusia yang butuh manusia lain."

Aku terkekeh saat menangkap nada sebal dari ucapan Kang Ayung barusan. "Gue cerita elah, cuma gue cerita pas di tanya doang, atau pas masalahnya udah lewat." Aku terdiam sejenak, memilah kata untuk menjelaskan pada Kang Ayung.

"Kata temen gue sih, gitu. Padahal sebenernya engga selalu, kadang gue cerita cuma gak yang konteks serius, jadinya pada ngira gue cuma ngedumel tentang keadaan, bukan yang butuh di dengerin."

"Kamu terlalu banyak topeng, Osin."

"Dan lo gak takut kalau ternyata sekarang lo itu suka sama salah 1 topeng yang gue pake, Kang? Lo bisa aja gak tau siapa gue yang sebenernya loh."

Sekali lagi, aku mencoba mengingatkan. Bukan aku yang berkata topengku banyak, tetapi perkataan itu keluar dari mulut Kang Ayung sendiri. Aku tak mau ia kecewa saat mengetahui siapa Osin yang sebenarnya. Osin tanpa topeng, mungkin kan terlihat amat rusak dan tak berbentuk.

"Berhenti nanya kaya gitu dong, kamu kaya gak percaya saya cinta sama kamu. Kamu kaya raguin perasaan saya. Kamu selalu ngerendahin orang yang saya sayang, saya gak suka."

"Skip ah. Gue lanjut lagi ya. Di tahun itu, selain gue masih nganggur gue juga ngerasain pertama kalinya gagal jadi seorang Kakak. Gue gagal lindungin adik gue, gue gagal buat nutupin semua masalah keluarga di hadapan mereka."

Di tahun aku banyak melukis, aku benar-benar merasa ingin berteriak. Aku lelah, aku hilang arah, dan duniaku gelap. Saat itu, karena aku menganggur, aku tentu 24 jam berasa di rumah. Saat itu terjadi pertengahan antara Ibu dan Bapak. Di pagi hari, bahkan matahari saja baru muncul di timur sana. Lagi-lagi itu karena hal sepele, yang berakibat fatal. Saat itu, adik pertamaku yang saat itu masih SD diberi tugas untuk membuat prakarya dari tanah liat. Sama seperti saat akan pergi ke bidan dahulu, Ibu sudah berkali-kali mengingatkan Bapak untuk mencari tanah liat. Dan sekali lagi, Bapak dengan segala sikap santainya pulang pukul 3 pagi. Sementara tugas adikku harus dikumpulkan pukul 7 pagi itu. Jelas Ibu kembali marah. Aku yang tengah tertidur langsung terkesiap saat mendengar suara benda jatuh dengan cukup keras. Mau tak mau, aku terbangun. Aku melihat Ibu memang dengan sengaja melemparkan tanah liat yang tadi di bawan oleh Bapak, sekali, dua kali. Sampai ketiga kali aku melihat Bapak juga jadi terbangun. Seketika perdebatan terjadi di antara keduanya. Bapak yang memang sensitif jika tidurnya terganggu mungkin langsung emosi, tetapi Ibu yang juga tak merasa salah jelas tak takut mendebatnya.

Saat itu, aku membeku. Berkali-kali aku membayangkan aku memisahkan mereka, tapi berkali-kali juga malah berakhir merutuki diri sendiri karena tak bergerak. Saat itu, aku merasa kecil, aku merasa tak punya kuasa ikut ke dalam perdebatan orang tuaku. Dan sekali lagi, kata-kata dari Kakak Ibuku kembali teringat.

"Nah, Teteh sebagai anak yang tahu posisi Ibu sama Bapak harus bisa jadi jembatan damainya mereka. Teteh anak pertama harus bisa buat mereka komunikasi selesain masalahnya."

Aku, si sulung yang memang mengetahui posisi keduanya. Aku, si sulung yang sering menjadi tempat mereka bercerita. Namun, tetap tidak mampu menjadi jembatan damai mereka.

Sialan.

Aku benci mengakuinya, tapi aku mampu paham bagaimana lelahnya Ibu menghadapi Bapak yang egois dan sering kali tidak jujur. Atau Bapak yang selalu merasa sendiri dihidupnya. Sejak SMP aku sudah dipupuk dengan cerita sedih Bapak, hingga di otakku terpatri, jika bukan aku yang menjadi tempatnya bercerita, lalu siapa lagi? Sudah tak terhitung banyaknya umpatan yang lelaki itu keluarkan saat bercerita, ntah sudah keberapa kali aku jadi ikut kena damprat dari kekesalan yang Bapak dapat. Saat SMP, hanya Bapak memang yang bercerita. Namun, saat SMA Ibu juga mulai menjadikan diriku tumpuannya untuk bercerita.

BUNGSULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang