36

13 5 0
                                    

🔉🔉kata lebah kecil, kakak-kakak yang baca jangan lupa klik bintang di pojok kiri ya,komen juga biar teh almi semangat nulisnya hihi😋😋

Happy reading all,hope you enjoy 😘😘

🐝🐝🐝

"Lanjutin."

Satu kata yang mewakili perintahnya itu kujawab dengan anggukan, aku menurut kali ini tanpa berdebat.

"Sebelumnya, gue ga pernah yang kaya sakit hati banget. Cuma, pas gue kelas 5, udah gede kan tuh, udah bisa mikir untuk pertama kalinya gue sakit hati. Bahkan gue masih inget suasana kaya gimana sampe detik ini."

Saat itu, aku memang baru menduduki bangku kelas 5 SD, tapi bukan berarti aku sepolos itu untuk tidak mengetahui kondisi yang tengah terjadi di antara Ibu dan Bapak. Saat itu Ibu tengah mengandung adik pertamaku, saat itu aku hampir melepas status anak tunggal yang suda 11 tahun aku pakai, aku saat itu hampir resmi menjadi anak sulung. Tentunya setelah 11 tahun sendirian aku sangat menunggu momen dimana adikku lahir, dan saat itu Ibu sudah membuat janji dengan Bapak untuk pergi ke bidan, mereka akan memeriksa kondisi adikku yang sudah menginjak 7 bulan.

Waktu itu aku ingat, Ibu sudah berulang kali mengingatkan Bapak agar tidak lupa tentang jadwal mereka ke bidan, dan Bapak selalu mengangguk mengiyakan seolah ia sudah ingat dengan betul. Namun, pada kenyataannya saat hari yang mereka sepakati untuk pergi Bapak malah tak kunjung pulang ke rumah. 5 jam berlalu, Bapak baru menampakkan batang hidungnya.

Kondisi saat Bapak pulang itu tengah hujan deras, Ibu yang sudah kehilangan mood jelas tak menggubris kedatangan Bapak saat itu. Jelas, kalau aku jadi Ibu juga aku akan marah, setidaknya aku akan mengomel. Aku ingat mereka bertengkar saat itu, Ibu yang meluapkan emosinya dan Bapak yang tak merasa salah sama sekali. Perdebatan itu cukup panjang dan menguras tenaga. Meski bagi sebagian orang mungkin itu hal sepele, tapi percayalah, mewajari orang yang selalu seenaknya akan membuat kalian lelah seiring berjalannya waktu.

Saat itu, aku pikir Bapak akan membujuk Ibu. Namun, angan hanyalah angan. Karena setelah perdebatan panjang, Bapak malah kembali keluar dan pergi begitu saja. Pergi tanpa menyelesaikan masalah dan pergi dengan membawa egonya.

"Pas itu, Ibu lagi ngandung Oka. Usia kandungannya udah 7 bulan, gue yang waktu itu mau lepas predikat anak tunggal jelas nunggu kehadiran dia dong. Gue selalu tau kapan Ibu pergi ke bidan, kapan Ibu ngerasa perutnya sakit. Pas itu, Ibu berantem karena Bapak ngaret 5 jam buat cek ke bidan. Sepele gak sih kedengerannya? Tapi Kang, Ibu udah ngingetin dan ngewanti-wanti dari jauh hari, gue tau itu. Tapi nyatanya pas harinya Bapak malah ngaret, mana 5 jam pula."

"Wajar, manusiawi buat marah itu."

"Nah, waktu itu posisinya Bapak pulang pas hujan, jadi Ibu beneran udah ilang mood buat pergi. Pas Bapak pulang Ibu awalnya cuma diem, kaya yaudah ga anggap Bapak ada karena kesel. Tapi ternyata Bapak malah balik marah, berantem lah mereka. Gue yang pas itu masih polos, mikirnya Bapak bakalan bujuk Ibu, tapi kenyataannya dia malah pergi anjir. Lo tau? Kesalahan yang sepele itu berujung dengan dia gak balik-balik lagi. Bayangin, Ibu waktu itu lagi gak kerja, perut lagi besar-besarnya, terus Bapak gak balik. 2 bulan, sampai hari Anggar lahir, dia baru nongol lagi. Gue emang masih kecil pas itu, tapi demi apapun gue paham kalau posisi itu gak layak buat ditinggal. I mean, tega banget? 2 bulan lagi loh mau lahiran, dan lo pergi, gak balik. Gak ada sekalipun nanyain kabar dan kasih nafkah. What the hell."

Siapa sangka, kesalahan yang terlihat sepele itu berujung dengan Sinar kecil yang merasa kecewa untuk pertama kalinya pada sang Ayah. Kesalahan itu, membuat Sinar merasakan sendiri bagaimana Ibu berjuang setengah mati untuk tetap hidup. Demi dirinya, dan anak yang ada di perutnya.

Hari-hari itu, aku lalui seperti biasa. Menekan kecewa dan berusaha sebisa mungkin tak banyak meminta. Untung saja saat itu Nenek masih berada di dunia. Hampir setiap hari nenek mengajak Ibu untuk makan bersama. Dan kenyataan pahit lainnya, baru aku ketahui setelah aku berumur 22 tahun. Ternyata, saat itu jika tidak pergi makan dengan Nenek, Ibu memilih makan hanya dengan bawang goreng saja. Berhemat untuk aku agar tetap bisa membeli jajanan kedepannya.

Hatiku jelas hancur, kenangan pahit itu kembali naik tanpa bisa kutahan. Semakin ku cari, semakin tak kutemukan alasan Bapak menelantarkan kami saat itu.

"Untung aja pas itu Nenek masih ada, nenek sering ngajak Ibu makan bareng. Dan gue baru tau pas gue umur 22, ternyata selama itu Ibu jual perhiasannya buat tetep bisa biayain gue sehari-hari, terus Ibu makan sama bawang goreng doang kalo gak makan sama Nenek. Sumpah ya, nyesek banget gue, kecewa pertama gue dimulai dari situ. Bapak 2 bulan gak balik, dan baru muncul lagi di hari Oka lahir. Lo tau? Pas itu gue sama sekali gak salam. Gue liat dia malah pengen nangis, pengen marah."

Oka lahir di puskesmas terdekat dari rumah nenek, saat itu aku ingin menghampiri Ibu karena aku sudah di beritahu adik pertamaku itu sudah lahir. Aku sama sekali tak menyangka Bapak akan ada di sana. Detik pertama netra kami bertemu, aku langsung melengos. Aku berusaha sebaik mungkin untuk menahan amarah juga kecewaku. Aku, melewatinya begitu saja tanpa menyapa apalagi mencium tangannya seperti biasa. Namun, ternyata Bapak menahan pergerakanku.

"Eh Sinar, ga akan salam dulu sama Bapak? Kan udah lama ga ketemu. Salim dulu dong."

Demi Tuhan, jika itu terjadi saat ini jelas aku akan pergi meninggalkannya. Tetapi Sinar kecil yang 'takut' dengan Ayahnya hanya mengangguk dan menurut. Mencium tangannya tanpa berbicara sepatah katapun. Lihatlah bagaimana wajah polosnya itu terpasang, seolah tidak ada yang terjadi, seolah ia tak memiliki dosa kepadaku, Ibuku dan adikku.

"Dan yang bikin gue kesel tuh, minimal dari keluarga dia ada lah yang nanyain kondisi calon cucu barunya. Tapi ini ga ada. Padahal gue tau Bapak selama gak pulang itu dirumah Oma gue. Dan pas hari Oka lahir aja baru mereka dateng, minta maaf buat kesalahan Bapak. Basi banget anjir."

BUNGSULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang