10.

24 6 2
                                    

Sinar POV

Mataku masih terpejam saat mengangkat panggilan yang masuk pagi itu, rasa-rasanya aku ingin mengumpat pada orang yang mengganggu jam istirahatku di hari libur seperti ini. Namun, kesadaranku sepenuhnya terkumpul saat melihat nama Kang Ayung tertera di sana. Aku berdeham sebentar sebelum akhirnya mengangkat panggilan dari pria yang belakangan ini cukup sering bertemu denganku.

"Halo, assalamu'alaikum, Kang."

"Wa'alaikumsalam, Sinar sorry banget saya ganggu pagi-pagi gini."

"Ngga apa-apa Kang, santai aja. Ada apa nih?" Aku serius, rasanya saat Kang Ayung yang menghubungi aku tak keberatan. Lain cerita jika tadi yang menghubungiku adalah Purin dan Ratu. 2 sahabatku yang memang sering kali bersikap jahil.

"Kamu hari ini, ada waktu ngga ya? Saya mau minta bantuan."

"Kebetulan gue lagi libur sih hari ini. Toko kan tutupnya setiap senin."

"Hari ini, ada acara hari ibu di sekolahnya Harsa. Kamu, kira-kira bisa dateng buat wakilin engga ya? Soalnya di tawarin sama Bunda atau saya juga anaknya ngga mau, dan emang udah bilang dari waktu itu pengen Bubu Osin yang dateng katanya."

Aku terdiam, ya Tuhan aku merasa terlalu masuk pada kehidupan mereka. Rasa-rasanya aku tidak berhak ikut andil sejauh ini di kehidupan mereka, terutama Kang Ayung. Yaa, meskipun bukan aku yang meminta sih, tapi tetap saja.

"Tapi, kalau kamu keberatan ga apa-apa. Kasih tau saya aja, biar nanti anaknya pergi sama Bunda."

"Acaranya jam berapa emang?" Tanyaku pada akhirnya.

"Jam 11 nanti, begitu kelasnya selesai katanya."

Aku melirik pada jam di dinding kamarku, sekarang masih pukul 7 kurang. Masih banyak waktu sebenarnya untuk aku bersiap.

Sejujurnya aku ingin menolak, acara ini khusu ibu. Yang berarti nanti aku akan bertemu dengan para Ibu lainnya di sekolah Harsa, lantas apa yang harus aku katakan jika nanti ada yang bertanya, siapa aku ini?

Namun, belum sempat aku mengangkat suara, Kang Ayung sudah lebih dulu membuatku terdiam.

"Kalau nanti ada ibu-ibu yang rese, kamu bilang aja kamu calon Ibunya Harsa." Aku terdiam, masih terkejut karena lelaki ini seperti bisa membaca apa yang sedang aku pikirkan.

"Itu kalau kamu mau dan ga keberatan aja tapi." Lucu, ia cepat-cepat memperjelas lagi ucapannya.

"Haha, iyaudah deh. Ga apa-apa tapi emang itu Harsa sama gue, Kang?"

"Ya ga apa-apa Osin, ini anaknya yang mau. Yaaa, saya juga bapanya setuju banget kalo kamu yang wakilin."

"Okee, kalo gitu shareloc aja sekolahnya Harsa. Ntar gue ke sana. Bilangin aja paling ya ke Harsanya."

"Saya nanti ada meeting, kalau sempat saya jemput ya."

Setelah itu, panggilan tadi aku tutup. Masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan sebelum pergi menemani Harsa. Maka, berikan aku waktu untuk mempersiapkan semuanya.

Hampir 2 jam berlalu, semua hal yang wajib kukerjakan sudah selesai, kini aku tengan terdiam mematung di depan lemariku. Ya Tuhan, aku harus pakai apa? Aku bingung.

Saat sedang kebingungan, ponselku kembali berdering. Di sana tertulis nama 'Ratu'. Maka, tanpa berpikir lagi, aku menggeser panggilan itu ke tombol hijau.

"Oit."

"Coi, lo lagi dimana?"

"Lagi mangkal."

BUNGSULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang