39.

17 5 0
                                    

🔉🔉kata lebah kecil, kakak-kakak yang baca jangan lupa klik bintang di pojok kiri ya,komen juga biar teh almi semangat nulisnya hihi😋😋

Happy reading all,hope you enjoy 😘😘

🐝🐝🐝

"Pas gue pergi dari rumah Tante gue, Oma marah katanya. Btw gue sama Oma tinggal di rumah Tante karena rumah Oma dijual, dan semenjak tinggal sama Tante, Oma jadi baik banget sama gue. Kaya, emang gue dikasih bekel hampir tiap hari. Yaa, meskipun gue makan tetep pake duit sendiri. Cuma, kabar buruknya, selang 2 minggu dari gue pergi Om meninggal. Posisinya habis marahan sama Tante karena gue pergi Oma drop katanya, terus emang gak lama dari drop langsung berpulang. Gue sedih banget tau ga sih hahha. Kaya, belom ada lama gue rasain kasih sayang dari Oma eh udah ditinggal aja. Nyesek banget, mana gue taunya pas lagi di sekolah lagi."

Jarak dari Oma sakit ke waktu berpulangnya bisa dikatakan singkat. Masih terpatri jelas dalam ingatanku bagaimana Oma menangis saat aku membawa barangku untuk pergi dari sana. Akupun tak tahu kapan tepatnya, tapi yang jelas Oma jauh lebih baik padaku belakangan ini. Hampir setiap hari ia menanyai kegiatanku, ia selalu menyuruhku istirahat dan sering sekali memberiku tambahan uang saku. Mungkin karena tahu aku selalu pulang sore menjelang malam, jadi aku sering mengisi perut di luar. Padahal saat itu aku hanya menghabiskan waktu dengan teman-teman organisasiku, bercanda dan bercerita hal random yang tiada habisnya. Tempat favorit kami itu di depan UKS. Jadi saat sekolah akan tutup, barulah kamu membubarkan diri. Dan saat sampai di rumah, jelas aku sudah tidak mood untuk makan. Yang kulakukan setiap hari setelah di rumah adalah mandi dan kembali ke kamar. Mengunci diri ntah hanya sekedar memainkan ponsel, perang stiker di grup dengan teman-temanku atau mengerjakan tugas. Yang jelas, aku memang jarang menyentuh makanan di rumah Tante.

Oma memeluku untuk pertama kalinya. Ia menangis, dan aku mampu merasakan bagaimana tulusnya nenekku yang satu itu. Sayang saja, ternyata itu pelukan pertama juga terakhirku dengannya, karena hanya berjarak 1 minggu, aku mendapat kabar Oma drop. Bahkan saat di rumah sakit, aku mengajaknya berbicara namun tak kunjung ada jawaban. Oma, seperti sudah pergi, hanya raganya yang ada bersama kami saat aku menengoknya di rumah sakit.

"Oma, jangan kemana-mana. Tunggu sebentar lagi, sebentar lagi Sinar bakal bisa balas budi ke Oma. Sebentar aja, Sinar pengen Oma liat kalau Sinar bisa sukses."

Itu adalah bisikan hatiku pada hening yang menyapa, tak ada yang tahu selain aku, Tuhan dan alam ini. Tetapi suratan takdir berkata lain, karena seminggu kemudian aku diberi kamar bahwa Oma sudah beristirahat.

"Hari Oma meninggal itu, paginya hujan, deras banget. Sampe Bapak yang waktu itu harus antar jemput gue bilang gue gak usah sekolah aja sehari, tapi gue yang bebal ini jelas gak mau. Alhasil kita hujan-hujanan karena emang gak ada jas hujan. Ga kebawa lebih tepatnya, karena kita pergi pas di Cimahi udah gak hujan, tapi di pertengahan hujan malah gede banget. Bapak sempet ngomelin gue, dan disitu kita berantem. Dari pagi gue udah nahan biar gak nangis, eh pas siang dapet kabar gitu dari Ibu kalau Oma meninggal. Lo tau ga? Itu gue kaya orang linglung, beres nangis gue diem. Gue gak tau siapa yang pesenin gue grab, siapa yang beresin barang gue, dan siapa yang ngurusin surat izin gue pas iti. Mang grab gue bahkan sampe hampir kesasar karena emang rumah tante masuk gang gitu, jadi gue harusnya berhenti di jalan besar tapi gue gak arahin dia. Gue beneran kosong pikirannya hahah."

Puncak komedi adalah, saat Oma sudah berpulang, Tante membujukku untuk kembali tinggal di rumahnya. Katanya, kamarnya sudah ada yang kosong lagi, katanya supaya hangat dan menemani anak-anaknya dan supaya aku tidak usah pulang pergi Bandung-Cimahi setiap hari untuk bersekolah. Ibu dan aku yang mendengarnya jelas terbahak, sadar bahwa manusia bisa berubah dalam sekejap tergantung pada posisi yang menguntungkan mereka. Aku tidak marah padanya, hanya saja aku tidak akan mampu melupakan momen saat berbicara dengannya sepulang dari acara camping di sekolah. Aku juga sudah menanamkan dalam diriku, bahwa aku tidak akan pernah lagi mau jika harus tinggal di sana. Mungkin untuk mampir dan menginap satu hari tidak masalah, tapi untuk kembali tinggal aku jelas akan menolak. Lebih tepatnya aku akan menolak untuk tinggal bersama anggota keluarga Bapak yang memiliki banyak topeng.

Begiku, segalanya di rumah itu adalah kegelapan. Terutama, karena di sana adalah tempat pertama aku melakukan selfharm. Ya, aku sempat ada di masa akalku hilang. Aneh memang, padahal saat itu seharusnya aku jauh membaik. Padahal saat itu aku sering bertemu Ibu, aku memiliki banyak teman yang baik dan Oma juga menjadi lembut kepadaku. Tetapi, saat itu aku malah benar-benar kehilangan arah dan berujung dengan menyakiti diri sendiri. Padahal jika kembali dikilas balik, akan lebih masuk akal jika aku melakukan itu di awal masa SMP. Karena saat itu, masa penyesuaianku dengan keadaan yang berubah drastis.

Aku juga tidak paham, tapi mungkin itu efek dari aku yang menahan emosi selama ini. Dan mungkin, itu bayaran yang harus aku keluarkan karena membunuh sosok Sinar dalam diriku dan melahirkannya kembali sebagai Osin.

"Kang, gue pernah selfharm." Aku sedikit terkecat, sulit rasanya untuk mengakui bahwa aku pernah sehancur itu. Namun, perlahan aku menepuk paha sebelah kananku. "Di sini, luka yang gue dapet demi terus bisa hidup. Luka yang gue buat demi sedikitnya bisa lega. Salah memang, tapi pas dulu, yang ada di otak gue gini. Kalau batin gue sakit, fisik gue juga harus sakit."

Aku mampu melihat wajah terkejut yang berusaha Kang Ayung sembunyikan. Ada tatapan nanar yang berhasil aku tangkap. Namun, detik-detik selanjutnya ia berhasil kembali mengatur mimiknya.

"Gak apa-apa, semua yang tau nunjukin ekspresi kaya gitu kok. Ga usah di sembunyiin Kang." Aku terkekeh kecil setelahnya. "Kaget ya?"

BUNGSULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang