28.

19 3 2
                                    

🔉🔉kata lebah kecil, kakak-kakak yang baca jangan lupa klik bintang di pojok kiri ya,komen juga biar teh almi semangat nulisnya hihi😋😋

Happy reading all,hope you enjoy 😘😘

🐝🐝🐝

Ayung tersenyum menenangkan saat Sinar menunduk kepala sambil menggeleng kecil. Penolakan kedua itu, ia terima hari ini. Tidak apa, Ayung masih memiliki tenaga yang banyak. Ia masih yakin bahwa lambat laun Sinar akan luluh atas rasanya yang tulus.

Mungkin ia terlalu cepat, mungkin juga Ayung salah langkah. Karena ia pikir, kini dirinya seolah menarik Sinar, tanpa tau apa yang ada dibelakang gadis itu.

"Sorry," cicit Sinar merasa tak enak.

Penolakan secara tak langsung itu, membuat Sinar merasa amat bersalah. Tapi, ia tidak mungkin menerima Ayung. Ia masih berpegang teguh pada pendirian bahwa dirinya dan Ayung sangat berbeda. Dan lagi, Sinar belum sepenuhnya percaya pada Ayung. Ia masih takut jika lelaki itu hanya sekedar penasaran kepadanya. Sinar, tidak siap untuk terluka. Maka biarlah sekali lagi, hubungan mereka mengalir seperti mana mestinya.

"Gak apa-apa, itu hak kamu. Kalau gak nyaman dengan cara saya mendekat, kasih tau ya? Supaya saya gak salah langkah, karena saya serius sama kamu Osin."

"Iya, tapi kalau lo cape dan mau berhenti, atau suatu hari ketemu perempuan yang setara, jangan pernah ngerasa bersalah ke gue, jangan bertahan saat lo udah gak sanggup dan gak mau." Sinar terdiam sebentar, lalu menatap Ayung. "Lo berhak cari bahagia lo, kang. Lo bebas pergi kapanpun. Urusan soal rasa gue, biar jadi tanggungjawab gue aja."

Ayung ingin mendebar Sinar sebenarnya, tapi kali ini ia hanya mengangguk saja. Kata-kata menyebalkan yang terus Sinar ulang itu sudah sangat ia hafal.

"Yaudah, pulangnya saya jemput ya."

"Eh, ngga usah. Gak usah repot-repot." Sinar menolak dengan halus, gestur tangannya bergerak meyakinkan agar Ayung tak perlu repot menjemputnya.

"Gak repot, saya yang mau ini."

"Eh, gak apa-apa Kang. Gue bisa sendiri." Setelahnya, Sinar mengatup rapat bibirnya karena melihat Ayung mencondongkan badannya demi menatap wajah Sinar.

"Saya gak ada bilang kamu gak mampu sendiri. Tapi tolong, kalau di depan saya, let me treat you like a queen. Tolong berhenti bilang gak usah, gak apa-apa gue bisa sendiri." Lelaki bermata sipit itu menghela nafasnya, sepertinya sifat Sinar yang seperti ini akan cukup memakam waktu untuk bisa di luluhkan. "Osin, kamu boleh jadi mandiri, tapi kalau lagi sama saya jangan. Kasih kesempatan saya buat memperlakukan kamu sebaik mungkin."

"Iya, maaf. I'll try."

"Good girl." Ayung mengusap pelan kepala Sinar sebelum akhirnya ia izin untuk pergi ke tempat kerjanya. "Saya pergi dulu, nanti saya jemput. Kabarin aja kalau kamu udah selesai ya."

"Hati-hati."

Sinar mengantar Ayung kedepan, ia terus memperhatikan lelaki itu sampai ia perlahan menjauh dam hilang dari pandangannya.

"Ya Tuhan, jantung gue." Tanpa sadar, tubuh Sinar merosot kebawah dan tangannya reflek memegang dadanya yang berdegup kencang begitu ia sampai di dalam ruangannya.

"Ohoo, liat siapa yang lagi salting."


Kepala yang semula menengadah itu itu jadi menoleh begitu saja. Tapi saat melihat yang datang adalah sepupunya, ia jadi tidak peduli. "Sejak kapan kamu di sini? Kok Teteh gak ngeh."

"Gimana mau ngeh? Orang Teteh fokus ke Bang Jingga."


"Hehe."

"Aku ke sini mau sarapan, tapi mau makanan berat."

Sinar berdecih, posisinya masih sama seolah tidak berniat untuk bangkit. "Hidup lo udah berat."

"Anjir, gak gitu maksudnya geblek."


"Pesen lah ke depan. Bukan ngomong ke aku."


Bertepatan dengan itu, sebuah ketukan menginterupsi mereka. Di sana ada salah 1 pegawai Sinar yang mengantarkan makanan untuk Taka. "Makasih." Ucapan datar itu ntah kenapa membuat Sinar menundukkan kepalanya.

Magla Taka Jenga adalah sepupunya yang paling menggemaskan. Ia lucu, keduanya sangat dekat. Sayangnya sikap Taka yang menggemaskan itu harus ia tutupi dari semua orang, demi menjaga martabat keluarganya yang memang bengis. Mari bayangkan jika seluruh dunia tahu seorang Taka menggunakan kata aku-kamu dengan nada anak kecil. Hal itu, sejauh ini hanya berlaku saat ia bersama Sinar atau ibunya saja. Selebihnya ia tetap akan Taka yang tak terlalu banyak bicara dan mengintimidasi.

Seperti sekarang contohnya, begitu pintu tertutup rapat lagi, barulah Taka tercengir lebar sambil mengangkat piringnya. "Udah pesen kok."

"Ya deh, bocil makan yang banyak biar cepet gede."

"Badanku lebih gede dari Teteh, bahkan dari Bang Jingga juga gedean aku badannya."

"Iya bocil, udah makan. Jangan lupa berdo'a."

Sinar masih diposisinya, duduk dilantai sambil bersender nyaman. "Semua, aman Tak?"


"Justru aku yang mau nanya ke Teteh. You okey?" Tanyanya sambil menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya.

"Aman lah, kenapa harus gak aman?"

"Aman tapi insom kambuh tuh, gimana ceritanya?"

Sinar membuang nafas kasar, sdikit berdecih sambil memalingkan wajahnya.

"Ibu cerita ya? Ah cepu amat sih wawa lo."

"Heh, ibu lo sendiri anjir," dumel Taka dengan makanan yang masih ada di mulutnya.

"Haha, ya abisan cepu terus."

Taka memelankan kunyahannya, kini menatap Sinar cukup serius. "Jadi, kenapa? Cowok itu gak macem-macem sama Teteh kan?"

"Engga, dia baik begitu woi."



"Jadi kenapa? Kelilit pinjol?"

"Naudzubillah, gak monyet enak aja."

"Ya kenapa? Ini aku nanya udah keberapa kali."

"Biasalah, biang kerok berulah lagi." Sinar tersenyum getir. Tak menjelaskan banyak, namun menjawab seluruh pertanyaan Taka.


"Perlu aku urus? Atau butuh bantuan ngga?"

Sinar tersenyum menenangkan, perlahan ia menggeleng. "Ngga usah ya? Biarinin aku handle ini dulu sendiri. Janji kalau gak kuat ngomong deh."

"Iya, ngomong pas udah dari psikiater, pas udah dapet obat, pas dosis nambah."

"Gak udah diulti gitu dong."

"Dengerin kata cowoklo tadi Teh, janga  apa-apa mau sendirian terus. Pride cowoknya keinjek itu."

"Yang penting aku cerita ya walau kadang telat." Sinar kini bankit, ia lalu mendudukan dirinya di sebelah Taka. "Kamu sendiri gimana? Harinya lancar?"

"Kaga anjir, misi aku makin susah."

"Kali ini apa?"

Pertanyaan tadi, adalah pembuka pembicaraan panjang mereka pada hari itu. Sinar, sekali lagi berujung menjadi pendengar, bukan sang pendongeng.


🐝🐝🐝

Aku mohon, jangan bosen dulu karena Sinar nolak terus, jangan hujat anak aku juga huehue, dia baik (ovt aku aja sih takut ada yg bosen atau jadi sebel sama sinar heheh) 😭🙏

BUNGSULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang