38.

14 5 0
                                    


"Gue tinggal di rumah yang gak mengharapkan gue, gue gak punya temen dan sialnya di sekolah juga gue sendiri. Gue beneran sendirian pas itu. Kalau gue nangis pas pulang ke Ibu, Ibu cuma bilang yang kuat aja, udah. Gak kurang, dan gak lebih. Gue, cuma punya diri sendiri."

Di tahun-tahun pertama, aku masih merasa begitu berat. Tentunya saat aku pulang ke rumah Ibu, aku sering kali mengadu sambil menangis. Tetapi, respon Ibu saat itu jauh dari ekspektasiku. Ia seolah tidak memvalidasi rasa sakitku, ia hanya memberitahu bahwa aku harus tetap bertahan dan kuat. Dan aku baru mengetahui alasan itu ketika aku sudah kembali serumah dengannya. Ibu bilang, saat itu ia mengajarkanku untuk kuat. Caranya mungkin menyakitiku, tetapi nyatanya aku berhasil melewati itu semua. Ibu benar-benar mengajarkan bahwa di dunia hanya diri sendirilah yang mampu kita andalkan, Ibu bilang Ibu juga nyeri mendengar seluruh ceritaku, tetapi ia juga ingin aku menjadi wanita tangguh.

Ibu berhasil, walau berakhir membuatku menjadi sosok yang tak mampu menjabarkan apa yang aku rasakan kedepannya. Berkat seluruh feedback yang aku terima, tanpa sadar aku selalu berfikir berulang kali jika ingin bercerita. Berkat hal itu, aku selalu berusaha menyelesaikan semuanya sendirian tanpa melibatkan orang lain, dan tanpa sadar Sinar yang dahulu over sharing berubah menjadi Sinar yang tertutup. Benar kata Kang Ayung, orang hanya akan tahu ceritaku jikan aku mengijinkannya.

Singkat cerita, aku memiliki 6 sahabat yang berhasil membawa cahaya di hariku yang kelabu. Jarak rumah kami yang berdekatan membuatku jadi sering menghabiskan waktu dengan mereka, sayang saja seiring berjalannya waktu, kami merenggang dan hanya menyisakan 4 orang yang tetap sering berkumpul bersama hingga sekarang. Mereka Kanaya, Sera dan Indri. Aku tidak mampu membayangkan bagaimana aku jadinya tanpa mereka, obat pertamaku saat itu adalah mereka. Walau nyatanya kini kami semua berpencar jauh dan sudah jarang bertemu.

Hidupku mulai membaik saat aku mengganti namaku menjadi Osin, terdengar sangat aneh dan tak nyaman memang. Namun, nama itu seolah membawa keberuntungan untukku. Mungkin memang benar, nama Sinar itu terlalu berat untuk aku pikul. Nama Sinar terlalu bagus untukku yang tak seberapa ini. Saat itu, aku juga memiliki 2 sahabat di sekolah. Mereka Purin dan Latusa. Mereka cukup gila, dan berkat itu semua kami masih bersahabat hingga sekarang. Kami, dewasa bersama.

"Di akhir kelas 8, gue kaya tiba-tiba pengen ubah nama panggilan. Awalnya beneran iseng, Osin itu panggilan di rumah, gue waktu itu cuma ubah nickname gue di medsos, tapi lama-lama malah taunya orang itu gue sebagai Osin haha, tapi beneran deh nama itu kaya ngubah gue. Mungkin Sinar terlalu berat kali ya buat gue pikul, jadinya gue milih buat bunuh Sinar dan lahir lagi sebagai Osin. Perlahan kebentuk gue yang tiba-tiba punya banyak temen pas SMA, gue yang katanya nyaman untuk di ajak curhat dan pendengar yang baik. Padahal mungkin gue jadi pendengar yang baik itu efek dari gue yang gak punya siapapun pas dulunya buat denger cerita gue, jadi gue sekarang sebisa mungkin buat ada dan dengerin keluhan mereka tentang jahatnya dunia."

"Sering kali gue lagi cape, fisik gue, mental gue tapi orang-orang pada cerita tentang hari mereka yang juga lagi gak baik-baik aja. Kadang gue pengen egois dengan gak bales dulu chat mereka tapi, gue tau rasanya lagi sedih dan gak ada siapa-siapa tuh sakit. Bahkan gue pernah lagi nangis, tiba-tiba ada yang curhat, gue ngetik nenangin dia dengan air mata yang rembes, kocak kalau di inget-inget. Gue lahir lagi sebagai Osin yang katanya tertutup, dia ekstrovert tapi gak semua orang tau tentang dia, Osin itu kuat karena topengnya banyak. Dan gue bersyukur dengan itu, gue gak mau balik jadi Sinar yang menye, gue gak mau jadi Sinar tapi gak bisa kasih cahaya buat orang lain karena dia sendiri redup."

"God." Aku mampu melihat erangan frustasi dari 1 kata yang Kang Ayung keluarkan. Mungkin aku terlalu gamblang menceritakan tentang sisi Osin?

"Di kelas 12, gue tinggal sama tante gue, bareng Oma. 10 bulan gue di sana, dan seinget gue, pas gue sama tante gue jarang makan di rumah karena sibuk di sekolah, dan gue kalau makan lebih sering beli sendiri. Tapi, waktu itu gue apa ya? Gue gak tau namanya apa, tapi tante gue bilang anaknya pengen punya kamar sendiri-sendiri. Anaknya 2 btw, dan mereka sekamar, karena kamar di sana cuma 4. Satunya di pake tante gue, satu di pake Oma, satu di pake gue dan satu lagi di pake kamar mereka berdua. Jadi mau gak mau gue peka dan akhirnya gue pindah ke rumah Ibu. Waktu itu Ibu udah gak di buah batu, Ibu pindah ke Cimahi, jadi walaupun jauh gue masih bisa sekolah bulak balik. Padahal ya, pas itu gue cuman 5 bulan lagi ke kelulusan tuh, itu udah jalan semester 2."

"Kamu diusir?"

"Ga tau sebutannya apa, yang jelas gue keluar dari sana, hahaha."

Masa SMA yang aku dapatkan cukup berwarna, aku mendapat banyak kawan yang baik dan siap membantuku. Aku juga aktif berorganisasi, dan saat itu aku yang memang menjadi PMR mengikuti camping terakhirku di SMA. Aku hadir sebagai alumni karena saat itu aku sudah lengser dari masa jabatanku. Saat itu, aku ingat Bapak mengomel tidak jelas saat menjemputku. Posisiku yang tengah lelah jelas membuatku sedikit melawan, perdebatan sempat singgah diantara kami. Sialnya lagi, saat aku ke rumah tante untuk mengambil baju, ia menghampiri ku, berbicara bahwa kedua anaknya sudah ingin memiliki kamar masing-masing. Yang berarti aku harus mengalah dan pergi dari rumah itu, karena tak mungkin tante meminta Oma yang pergi bukan?

"Osin, jadi gini. Barudak teh katanya udah pada pengen punya kamar sendiri ey, enaknya gimana ya?"

Hanya 1 kalimat, tetapi aku dapat ingat sampai sekarang. Bayangkan aku yang sedang lelah, lalu berdebat dengan Bapak dan saat sampai rumah di hadiahi oleh kalimat itu. Aku ingin menangis, tapi tenagaku sudah tidak ada.

BUNGSULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang