7

33 5 0
                                    

🔉🔉kata lebah kecil, kakak-kakak yang baca jangan lupa klik bintang di pojok kiri ya,komen juga biar teh almi semangat nulisnya hihi😋😋

Happy reading all,hope you enjoy 😘😘

🐝🐝🐝

Hari yang ditunggu itu tiba, kini Sinar sudah berada di depan kediaman Ayung. Matanya menyipit saat Ayung dan Harsa keluar untuk menyuruhnya masuk, tanpa banyak protes lagi gadis itu mengekor di belakang mereka. Tadi Ayung sempat mengambil alih berbagai belanjaan yang Sinar bawa untuk membuat kue nanti. Namun, Sinar sempat membeku selama 2 detik pertama begitu ia masuk ke rumah Ayung, di sana ada kedua orangtuanya. Tuhan, Sinar kira ia hanya diundang untuk membuat kue saja, ia kira keluarga Ayung akan datang saat nanti kuenya sudah selesai dan setelah ia pulang.

Untung saja, Sinar dengan cepat mampu mengendalikan dirinya. Ia kembali maju lalu mendekat pada dua orang yang tak lagi muda itu, ia menyalami mereka. Terutama ibunda Ayung, yang tak lain adalah gurunya saat kecil.

"Ibu, apakabar?" Tanya Sinar sopan.

"Baik Teteh, alhamdulillah. Teh Sinar sendiri gimana? Kata A Ayung sekarang sibuk jadi pengusaha kue ya?"

Hangat, ibunda lelaki itu sedari dulu memang selalu hangat. Bahkan setelah tahun berlalu, senyumnya masih tetap menenangkan bagi Sinar. Arumi Jelita, salah 1 sosok guru yang sangat ia hormati. Sosok panutan saat dulu Sinar masih memiliki cita-cita untuk menjadi guru, ibunda Ayung itu adalah role modelnya.

"Sinar baik Bu. Do'ain aja ya Bu, semoga yang Kang Ayung bilang bener, soalnya sekarang tuh masih ngerintis aja, toko kecil-kecilan hehe."

"Bubu Osin, ayok bikin kue." Tanpa disangka, sikecil Harsa menghampiri Sinar yang baru beberapa saat sampai. Tangan mungil itu menggenggam jari Sinar, membuat ia tak mampu menahan kurva indahnya untuk muncul.

"Harsa, Bubunya baru sampai itu. Apa tidak kasih dulu minum, sayang?" Teguran halus itu membuat tarikan pada jemari Sinar mengendur.

"Ah iya, maaf Aa lupa. Bubu, mau minum apa? Nanti Aa sampaikan ke Baba."

"Hahaha, nanti aja. Aa mau buat kuenya sekarang?"

Harsa tentu mengangguk cepat, wajahnya begitu lucu hingga tanpa sadar Sinar mengulurkan tangannga untuk membelai kepalanya pelan. "Kalau boleh," Katanya.

"Boleh dong, ayokk buat sekarang." Kini Sinar melirik pada Arumi. "Bu, Sinar mau buat kue dulu buat Harsa ya? Pinjem dapurnya sebentar."

"Pake aja, maaf ya jadi ngerepotin, Teh."

"Engga koo, kalau gitu permisi ya." Sinat bangkit, lalu mengikuti langkah Harsa dengan tangan yang masih di genggam erat oleh bocah itu.

Ayung POV

Saya tersenyum tipis saat suara bocah yang hari ini berulang tahun itu terdengar semakin dekat. Saya membiarkan keduanya memakai dapur ini, saya juga tak menegur Harsa yang langsung meminta Sinar untuk membuatkannya kue. Toh pada akhirnya saya yakin Sinar akan membela Harsa.

"Mau bikin sekarang? Bahannya tadi saya simpen di sana." Jemari saya menunjuk pada beberapa kresek di dekat kulkas. Kemudian saya mengangkat sedikit gelas berisi minuman yang baru saya buat. "Mau disimpen dimana, Osin? Kamu belum saya suguhin apapun."

"Di mana aja deh Kang, mau ikut pake dapurnya aja ya, hehe."

"Boleh, kalau perlu bantuan bilang aja, ya?"

Tanpa saya sangka, Sinar mengarahkan tangannya ke samping pelipisnya, sehingga kini ia seperti sedang hormat kepada saya. Lucunya lagi, di sebelahnya ada Harsa yang otomatis mengikuti juga.

"Bantuin dong, Baba. Masa Baba ga bantuin sih?"

Saya menggeleng kecil, sementara Sinar yang tengah menata bahan-bahan tak lagi mampu untuk tidak terkekeh. Tak ingin sikecil rewel, saya memilih mengalah. Berdiam didapur barangkali Sinar butuh bantuan.

"Saya diem di sini ya? Kalau ga nyaman bilang aja, ya."

"Iya, santai aja."

Setelah itu, tak lagi ada percakapan diantara kami. Yang ada hanyalah obrolan tak jelas yang terjadi antara Sinar dan Harsa. Seperti Harsa yang bertanya tentang lebih dulu ayam atau telur, atau saat Harsa bertanya kenapa dirinya tidak bisa menaikan sebelah alisnya seperti Sinar.

Wajahnya terlihat amat bahagia. Harsa yang mengangguk paham, Harsa yang mengerutkan kening karena bingung, wajah Harsa yang terlihat sedang berhati-hati atau Harsa yang tersenyum cerah, tak luput dari pandangan saya. Ntah apa alasan pastinya, tetapi anak itu terlihat amat bahagia saat berbincang dengan Sinar.

Padahal beberapa kali saya membawa Harsa di acara saya dengan kolega perempuan saya, anak itu hanya tersenyum kaku dan lebih menjaga sikap. Tapi, dengan Sinar berbeda. Mereka seperti sudah lama saling mengenal, bahkan dengan terang-terangan Harsa meminta izin untuk memanggilnya dengan sebutan 'Bubu'. Saat itu juga saya sadar, mungkin diam-diam Harsa butuh sosok Ibu. Mau sebaik apapun saya, Harsa kecil mungkin iri dengan teman-temannya yang mampu memamerkan Ibunda mereka.

Lantas otak saya tak mampu berhenti membayangkan bagaimana jika Sinar benar-benar menjadi mendamping saya. Bagaimana dapur ini akan mampu ia jelajahi dengan leluasa, bagaimana anak saya nanti akan mendapat sosok Ibu yang nyata. Melihat Harsa yang nyaman, Bunda yang langsung mengajaknya mengobrol sejak ia datang membuat saya merasa hadirnya Sinar amat diterima ditengah keluarga ini. Namun, ia cukup abu-abu. Saya tidak mampu membacanya karena ia terlihat baik pada semua orang, ada sedikit rasa takut akan penolakan darinya.

Maka, demi mengenyahkan segala pemikiran itu saya memilih bangkit dan menghampiri Bunda.

"Cerah banget mukanya."

Tak menanggapi ucapan Bunda, saya hanya tersenyum tipis. Kepala saya menunjuk pada 2 orang yang ada di dapur. "Cucu Bunda tuh, liat."

"Iya, sama calon Bubunya kan? Akrab banget, A."

"Kenapa ga bilang sama Bunda kalau kamu deket sama Teh Sinar coba? Dia kan dulu murid Bunda." Memang betul, Sinar adalah murid pintar andalan Bunda saat dulu.

"Engga deket Bunda, cuma.., gitu deh."

"Kejar kalau kamu mau dia, cari lagi bahagia kamu. Maafin Bunda yang udah jahat dulu sama kamu."

Ah, hal itu lagi. Masa lalu yang sejujurnya jika dikorek kembali masih sangat menyakitkan. Bagaimana Bunda memisahkan saya dengan gadis yang sempat ada dihati saya dengan cara yang teramat kejam bagi saya.

"Udah, ga usah dibahas terus, udah lewat Bun. Aa juga udah ga ada rasa lagi, udah lama kejadiannya."

"Bunda masih merasa bersalah, tiap hari Bunda berdo'a supaya kamu bahagia, supaya kamu nemu pelengkap hidup kamu dan Harsa. Karena kehadiran sosok ibu dirumah itu cukup berpengaruh, A."

"Baru 2 bulan ini kita ketemu lagi, Bun. Apa ga kecepetan?"

"Rasamu gimana? Ko tanya Bunda? Bunda sama Ayahmu aja sebulan kenal langsung pacaran sampe nikah."

Setelah itu, kami sama-sama terdiam. Sebelum saya bangkit untuk kedapur karena Harsa memanggil saya untuk membantunya menghias kue.

🐝🐝🐝

Feedback untukku, disini yaa💜😍🐝

BUNGSULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang