46

3 0 0
                                    

🔉🔉kata lebah kecil, kakak-kakak yang baca jangan lupa klik bintang di pojok kiri ya,komen juga biar teh almi semangat nulisnya hihi😋😋

Happy reading all,hope you enjoy 😘😘

🐝🐝🐝

Ayung memperhatikan Nila yang perlahan mendekat kearahnya. Kini ia tengah berada di kediaman orang tuanya, mereka berencana untuk makan malam bersama.

"Kemarin Mba ketemu Osin tau." Nila membuka percakapan saat ia sudah duduk tepat di sebelah Ayung.

"Ketemu di mana?" Ayung menyimpan ponselnya dan memberikan seluruh atensinya untuk Nila.

"Di deket pusat jajanan, deketdeket kantornya Huba." Ntah kenapa Nila tersenyum. "Dia nemenin Mba jajan makanan di sana. Terus ngasih tau mana yang enak atau engga."

"Kok gak ada ngabarin gue?"

"Dih, mau banget dikabarin?" Tanya Nila menggoda.

"Jangan diajarin yang sesat cewe guenya." Dengan wajah datar andalannya, Ayung mengingatkan.

Nila tadinya ingin protes, namun mengingat seberapa baiknya Sinar jadi urung. "Ngga lah, gue juga gak senakal itu ya kampret."

"Tadinya Mba mau ajak dia buat ngajar tau, cuman gak jadi. Dia kemarin cerita soalnya terima tawaran buat naikin novelnya jadi film. Belum lagi tokonya juga katanya makin rame ya?"

"Iya, jangan. Kerjaan dia dua aja udah nyita waktu, jangan ditambah lagi. Waktu buat guenya gak ada nanti." Jawabam yang terdengar serius itu mengundang decihan dari Nila.

"Heleh, malu noh sama buntut, masih mau manja-manjaan."
. .

"Suka-suka gue lah? Orang ntar Sinar jadi istri gue ini." Dasar Ayung, jika sudah begini amat tidak mau kalah.

"Setahun ya? Lo ngejar dia?" Tanya Nila lagi yang langsung dibalas oleh anggukan Ayung.

"Setahun lebih ngejarnya. Merhatiinnya setahunan juga." Terang Ayung menjelaskan.

"Gak apa-apa, asal jangan jarak dari lamaran ke nikahan setahun aja. Kejauhan." Ayung terkekeh mendengar ucapan Nala barusan, tapi meski begitu, ia tetap mengangguk.

"Paling lama 6 bulan lagi deh. Osin juga mau gue banyak kenalan dulu sama keluarganya. Dia takut banget gue kena culture shock, padahal gue bisa terima."

"Ya namanya manusia sebaik Osin, apa-apa pake hati, apa-apa takut bikin orang sakit hati. Wajar. Gue baru sekali aja paham." Kicauan dari mulut Nala kali ini tak mendapat respon seperti tadi.

"Ya lo sekolah psikolog ya, kerjanya nganalisis orang," dengusnya kesal.

"Tapi gak gampang buat nilai Osin tuh, dia rada gak kebaca." Ayung mengangguk, setuju dengan ucapan Nila kali ini.

Seketika ia teringat bagaimana dulu Sinar begitu tertutup padanya. Ia ingat bagaimana pertama kalinya Sinar menangis karena tokonya diacak-acak oleh orang lain karena dirinya.

Ia yakin, jika ia menceritakan semuanya pada sang ayah, ia akan habis dimarahi.

"Gue dulu pernah hampir-hampiran buat Sinar pergi tau." Ayung takut, tapi pada akhirnya ia memilih bercerita pada sang Kakak.

"Kenapa tuh? Ceritain dong, Ayah juga mau tau." Tanpa disangka, Ayah muncul dari belakang. Membuat Ayung tanpa sadar meneguk ludahnya sendiri.

Sial, padahal niatnya hanya bercerita pada Nila saja. Tapi kenapa orang tuanya malah ikut duduk disofa bersama mereka.

"Ini gak jadi acara makannya?" Tanya Ayung mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Masih lama cuy."

"Ceritain dulu dong, Bunda udah kepalang penasaran ini." Ucapan itu mau tak mau membuat Ayung menghela nafas.

"Pas 5 bulan pertama deket, toko Sinar sempet diacak-acak orang. Dan itu gara-gara Ayung." Ayung memulai cerita saat itu. Tak ada satupun yang bersuara, seolah memberi Ayung waktu untuk bercerita seluruhnya.

"Pas waktu itu, Osin nyempetin dateng buat jadi wali Harsa pas hari ibu. Pas hari itu, Ayung dapet kabar katanya Harsa dikasih tau sama Osin kalau dia bukan anak kandung Ayung. Ayung marah banget waktu itu, Ayung chat dia dan bilang kecewa. Yaah pokonya Ayung marahin dia, tapi ternyata pas Ayung samperin Harsa dia bilang yang kasih tau itu gurunya bukan Osin. Jadi guru yang ngasih tau itu, fitnah Osin juga."

"Yah, makannya jangan sumbu pendek." Itu Nila, ia tak mampu menahan rasa gemasnya.

"Belum sempet Ayung nyerna itu, Abada bilang kalo sebelum pergi ke sekolah Harsa, Osin keserempet sama dia. Pantes aja pas itu Harsa juga bilang Bubunya jalannya agak aneh. Ayung pas itu langsung mecat gurunya, terus pas mau nyamperim Osin, Ayung liat tokonya masih terang, jadi Ayung turun dulu. Dan disana banyak barang yang rusak, tembok toko dia juga banyak dicorat-coret. Isinya ujaran kebencian karena dia dikira mau manfaatin Ayung. Padahal boro-boro manfaatin, tau sekolah itu punya kita aja engga dia."

"Pas hari dimana Ayung maafan sama Bunda, dia kan balik duluan bareng Taka, itu ternyta sebelum Ayung dateng, pacarnya Helena sempet mau nyelakain Osin, untung aja ada Taka." Ayung menghela nafas. "Gak kehitung berapa kali Osin dapet masalah karena Ayung, gak tau berapa kali juga Ayung lost kontrol ke Osin. Tapi anaknya masih stay aja, bahkan sekarang udah nerima pinangan Ayung."


"Bunda gak pernah penasaran kenapa kamu sejatuh itu sama Sinar, karena Bunda tau dia anak baik. Sangat baik. Tapi setelah denger ini, Bunda harap kamu gak lagi ngulangin itu semua ya, Nak. Tidak semua perempuan sabarnya seluas itu."


"Bener, jangan lagi kamu kasih luka. Pilihan dia buat melangkah sama kamu setelah semua kejadian itu, udah cukup buat bukti gimana dia tulus sama kamu. Jangan kamu sia-siain."

Ayung mengangguk mendengar petuah kedua orang tuanya itu. "Iya, Ayung juga mau minta tolong sama Ayah, Bunda, Mba buat sayang ke Sinar kaya kalian sayang ke Ayung."

"Siap, dengan senang hati gue bakal pendekatan sama calon ipar gue, yuhuu."

"Ngga jadi deh Mba, pendekatan waktu gue bawa dia ke sini aja." Ralatnya langsung.

"Pelit banget dih?!"

Bunda dan ayah terkekeh melihat anak mereka kembali meledek seperti ini. 6 tahun asing, bukan waktu yang sebentar. Dan saat ini, rasanya sangat hangat.

"Tapi, kemarin Linda ada nelpon Ayung."

Setelahnya, semua serempak membola.


🐝🐝🐝

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BUNGSULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang