40

10 4 0
                                    

🔉🔉kata lebah kecil, kakak-kakak yang baca jangan lupa klik bintang di pojok kiri ya,komen juga biar teh almi semangat nulisnya hihi😋😋

Happy reading all,hope you enjoy 😘😘

🐝🐝🐝

Kang Ayung terdiam untuk beberapa saat, mungkin sedikit terkejut karena tadi aku berkata seperti itu.

"Saya kaget, karena kamu sehebat itu meranin karakter kamu. Saya gak tau berapa banyak topeng yang kamu pake, segimana tebelnya topeng itu, sampai kamu berhasil nipu banyak orang? Bahkan kamu selalu nolong dan jadi rumah buat orang lain, tapi kamu sendiri gak tau kemana kamu bakal pulang."

Gantian, kali ini aku yang membeku. Kata-katanya barusan begitu telak menamparku. Tidak ada kata yang berhasil aku keluarkan saat itu.

"Kalau di throwback lagi, lucu sih. Gue selfharm kelas 12, padahal kalau dipikirin lagi gue gila harusnya kelas 7 atau 8, pas masa adaptasi, pas gak punya siapa-siapa. Tapi nyatanya gue ngelakuin itu kelas 12, ntah otak gue yang nolak paham tentang sakit gue pas saat itu, yang jelas seinget gue, gue baik-baik aja. I mean, gue udah lebih kuat, jauh lebih kuat."

Bahkan aku ingat di awal aku melukai diriku sendiri, aku tengah melakukan panggilan grup saat itu. Panggilan grup dengan teman-temanku, membahas kejadian lucu dan tidak penting. Aku masih ikut berkomentar dan sering kali terbahak saat menangkap jokes dari mereka. Tanpa ada yang tau, tanganku tengan melukis indah di paha kananku, yang berakhir mengeluarkan cairan merah yang saat itu seingatku tak terlalu banyak. 'Die' adalah kata yang aku tulis di sana. Ntah apa alasannya akupun tak tahu, ntah apa yang mendorongku melakukan itu, yang jelas kata pertama dari selfharmku terpatri jelas hingga kini. Sejak saat itu, harus aku akui aku menikmati kegiatan ini. Aku biasa menyebutnya sebagai melukis. Setiap duniaku menggelap, aku akan meraung sambil kembali menggores luka pada kata die di sana.

Lucunya, di umur 20 aku selalu menyimpan 1 silet di balik ponselku. Jaga-jaga jika aku stress aku tinggal melukis lagi di sana. Kegiatan yang semula hanya berfokus pada kaya die, lama-lama berubah menjadi goresan asal. Itu lebih menyenangkan, pikirku saat itu. Hingga berakhirlah paha kananku penuh dengan luka goresan dan tulisan yang menjadi saksi bagaimana aku bertahan hidup. Setidaknya saat ini aku sudah sembuh, setidaknya luka itu mengingatkan aku bahwa aku dulu pernah menyimpang, dan jangan sampai aku kembali terjerumus ke sana. Dan luka itu, biarlah sebagai tanda, bagaimana aku berusaha sangat kuat untuk hidup, bukan hanya sekedar bernafas.

"Lagian ya, SMA gue banyak temen, banyak banget. Dan gue jujur gak ngerti kenapa gue lakuin itu, bahkan gue lakuin itu pas lagi telponan di grup sama temen. Gue tetep ketawa denger candaan mereka, gue tetep komen pas mereka ngecapruk. Gue beneran baik-baik aja seinget gue. Tapi, gak tau ya, mungkin diri gue sendiri yang ngeblock hati buat rasain sedih." Kalimatku melirih di akhir, ntah kenapa aku mulai manjadi emosional saat ini.

"Gue nulis kata die waktu itu, gue biasa nyebutnya ngelukis hehe. Awalnya tiap ngerasa gak baik-baik aja, gue bakal ngelukis cuma di kata die doang, tapi lama kelamaan, gue jadi buat coretan-coretan asal gitu. Jadi paha gue, penuh luka kalau yang kanan. Terus, gue dulu selalu simpen silet di belakang HP. Di sini, yang ketutup case." Aku mengangkat ponselku sambil mengetuk bagian belakangnya.

Tanpa disangka, Kang Ayung mengambil ponselku lalu membuka casenya dengan cepat. Aku melihat ia bernafas lega saat tak menemukan apapun di sana. Lucu, padahal kini aku sudah sembuh. Setidaknya, aku tak lagi melakukan hal bodoh itu.

"Hahahaha, engga ada lah kalau sekarang, gue udah sembuh. Gue udah gak lakuin hal bodoh itu lagi, Kang Ayung."

"Saya cuma mau mastiin aja, saya gak mau kecolongan, saya gak mau gagal jagain kamu. Saya mau kamu tau, kalau saya bisa kamu jadikan rumah, Ocin."

Seharusnya aku bahagia bukan mendengar hal itu? Harusnya aku bangga saat mengatahui Jingga Lembayung menaruh perhatian lebih kepadaku. Namun, kenapa kini aku malah merasa nyeri? Aku takut untuk melangkah, aku takut akan menyakiti Kang Ayung, aku tidak ingin menyeretnya ke dalam cerita abal-abalku yang penuh liku ini. Kang Ayung sudah cukup lelah menghadapi harinya, jangan sampai aku memberinya beban lagi.

"Selain masa SMP, kayanya pas lulus SMA jadi tahun paling kelabu buat gue. Pas itu, gue sering banget ngelukis, jadi lukanya mungkin cukup dalem karena gue timpa lagi timpa lagi. Dulu, gue ngebet banget buat masuk SMK, sadar diri gak akan bisa kuliah. Gue pikir ya kalau SMK gue bisa langsung cari kerja, karena di sana ada PKL, dan gue gak akan kaget. Tapi, lagi-lagi Bapak ngatur gue, katanya SMA aja karena gue bakal kuliah. Lucunya di awal SMA gue dengan lantang bilang ogah kuliah. Tapi seiring berjalannya waktu, gue keikut arus, ngurus nilai dan yang lain-lain bikin harapan gue buat bisa kuliah tumbuh. Sayang aja, pas lulus Allah berkehendak lain. Bapak angkat tangan karena gak bisa biayain dan Ibu yang pas itu selalu maksa gue buat terus-terusan cari kerja."

Jika ditanya, apakah hingga detik ini aku ingin berkuliah? Jelas aku ingin. Apakah aku bisa? Ya, aku bisa. Namun, aku sadar otakku yang sudah lama tak menyentuh buku jelas akan sulit kembali untuk beradaptasi, dan lagi aku merasa sudah bukan waktuku mengejar harapan yang sudah terkesan basi. Fokusku sekarang adalah menghasilkan banyak uang agar adik-adikku mampu merasakan bagaimana menjadi seorang mahasiswa/mahasiswi. Cukup aku yang tersenyum getir melihat teman seangkatanku mendapat gelar, cukup aku yang menelan bulat-bulat pahitnya kenyataan yang menampar bahwa aku berbeda degan teman-temanku yang terlahir sebagai golden spoon.

Aku yang saat itu baru lulus, harus menghadapi kenyataan bahwa harapanku terputus begitu saja. Aku yang terpuruk, nyatanya masih harus mampu kuat untuk mendengarkan ocehan dari teman-temanku yang tak sedikit itu. Tentang bagaimana mereka lelah menjadi mahasiswi, tentang bagaimana MOS mereka yang menguras emosi. Atau temanku yang juga gagal mendapat bangku di Universitas yang mereka inginkan.

Saat itu, aku paham seluruh dari kami memiliki kerikil di jalannya masing-masing. Apapun jalannya, ujian itu tetap ada. Lantas, mengapa aku harus bercerita tentang berapa terpuruknya aku pada mereka, saat mereka juga tengah berjuang demi mampu terus melangkah di jalan yang mereka pilih?

BUNGSULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang