38 - Yang Belum Diceritakan

5.9K 442 7
                                    

Akhir pekan ini Rubi dan Ardiono bermalas-malasan di kasur setelah mengantar kedua anak mereka ke rumah Noto dan Rukmini. Bukan pemandangan yang menyegarkan mata seperti berpelukan dan menonton TV. Tapi, mereka bergulat dengan kesibukan masing-masing. Ardiono dengan laptopnya dan Rubi dengan ponselnya.

"Mas, aku pikir kita harus bawa Ganendra ke psikolog." Rubi menatap pria di sebelahnya. "Dia dendam banget sama Sekar. Sebelum berangkat, Ganen ngamuk sampai banting barang-barang di kamarnya."

Ardiono menoleh dan mengernyitkan dahinya.

Duh napa seksi banget sih kalau lagi pakai kacamata baca begini? Oke, fokus, Bi. Kalian mau ngomongin hal serius. Masa iya elo horny? Batin Rubi.

"Separah itu?"

Rubi mengangguk lemah.

Ia kembali sedih mengingat apa yang disaksikannya kemarin sore. Hatinya nyeri. Rubi pernah melakukan hal yang sama. Ia mengamuk pada mendiang ibunya karena tidak pernah diberi tahu alasan mengapa kedua orang tuanya itu berpisah.

Hingga Rubi menginjak usia dewasa, ia memilih balas dendam pada pria yang pernah ia panggil papa tersebut.

"Rubi.." Bukannya menjawab, Ardiono malah merentangkan tangannya, isyarat agar Rubi berada di pelukannya. Tentu saja wanita itu tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.

Ia memeluk Ardiono erat. Merasakan detak jantung pria itu, kehangatannya dan sentuhan ringan tangannya pada punggung Rubi.

"Kamu juga, Bi. Kayaknya harus ke psikolog." Ardiono menyarankan sang istri. "Itu mobil dari papa belum mau kamu pakai?"

Rubi menggelengkan kepala. "Kamu ih, kan lagi ngomongin Ganen."

"Sayang, kita harus ngomongin kamu juga." Ujarnya lembut. "Aku yang dosa. Nanti dikira papa aku nggak mendidik istri dengan benar."

Rubi menarik-narik kaos suaminya. "Woo! Ada maunya aja ya pakai sayang, sayang."

Ardiono menangkap tangan Rubi agar berhenti melakukan hal kekanakan tersebut. "Gimana? Mau juga ya ke psikolog? Aku juga gitu kok setelah cerai."

Rubi menegakan duduknya agar bertemu pandang dengan sang suami. Ia tidak percaya kalau perceraian membawa Ardiono menemui ahlinya. "Serius?"

Ardiono mengiyakan. "Nggak enak dendam terus."

Mata pria itu melihat ke seisi ruangan. "Aku membangun kamar ini juga bentuk dari amarah karena nggak sudi tidur di kamar yang dulu ditempatin sama dia di rumah utama."

"Kebiasaanku, semuanya aku ubah. Aku nggak mau ada jejak dia di hidupku lagi. Makanya aku memilih di sini. Bahkan aku sempat membenci anak-anak karena mereka adalah bukti kalau aku pernah memilih orang yang salah." Ardiono tersenyum getir. "Cukup lama aku nggak mengurus Gayatri dan Ganendra. Untungnya ibu paham itu dan mengambil alih untuk merawat mereka."

"Karena terlalu lama aku marah dengan keadaan, bisa kamu lihat sendiri bagaimana Ganendra selalu mencari kamu daripada aku. Atau Gayatri lebih banyak bicara sama kamu dibanding aku. Kata psikolog, anak-anak tau kalau orang tuanya nggak nyaman di dekat mereka, mereka bisa merasakannya, Bi."

"Setelah beberapa kali konsultasi, akhirnya aku mulai bisa menerima kehadiran mereka lagi. Tapi belum terlalu suka kalau mereka ada di dekat aku. Contohnya waktu awal-awal kita nikah, aku pusing dengar suara mereka yang satu kamar sama kita."

Rubi mendengarkan cerita tersebut tanpa berkedip. Kalau Rubi adalah korban perceraian orang tuanya, maka Ardiono adalah pihak yang melakukan perceraian itu. Sama-sama menjadi korban. Sama-sama melalui hal pahit.

Bukan SebentarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang