Rubi akhirnya paham, Matahari yang dimaksud Ardiono adalah swalayan seperti Mirota Kampus yang terdiri dari tiga lantai; supermarket di lantai pertama, alat tulis di lantai kedua dan pakaian di lantai ketiga.
Ketika mereka sampai, secara bersamaan; satpam, kasir dan SPG menyapa sambil merapatkan kedua telapak tangan mereka di depan dada sebagai tanda kesopanan. "Selamat sore, Mbak Yaya. Sore Pak Ardi."
Rubi yang melihat hal itu langsung menunduk dan berbisik pada Gayatri, "Mbak Yaya sering jajan ya? Kok pada ramah semua?"
Gayatri tidak menjawab, ia hanya tertawa kecil.
Rubi yang masih dilanda kebingungan hanya berjalan mengikuti Gayatri. "Mbak mau beli cemilan?"
"Tempat Softex biasanya di mana ya, Tan?" Gayatri mendongak pada Rubi.
Ah iya! Tujuannya ke sini kan membeli Softex. Pikir Rubi yang mendadak bodoh.
"Kayaknya dekat tisu atau nggak popok bayi deh, Mbak."
Setelah menyusuri beberapa lorong, akhirnya mereka menemukan yang dicari. Rubi lagi-lagi menjelaskan tulisan yang tertera di kemasan pembalut tersebut sampai Gayatri benar-benar paham.
Ia masih ingat ketika pertama kali menstruasi. Mendiang ibunya menenangkan dan menjelaskan persis seperti yang sekarang Rubi jelaskan pada Gayatri.
"Dah, yuk. Ada yang Mbak mau beli lagi?" Rubi berjalan seraya mengingat barang apa saja yang sudah habis di kamar kosnya.
"Kamu mau beli sesuatu?" Suara berat itu mengagetkan mereka berdua.
"Ayah!" Sapa Gayatri.
Rubi hanya membalikan badannya sebentar, lalu berjalan lagi. Ia masih malas dengan sikap Ardiono yang Hot and Cold bak lagu Katy Perry.
"Rubi, kamu mau beli apa?" Pria itu masih mengikutinya di belakang.
"Kapas sama micellar water saya habis." Ujar Rubi singkat.
"Ayah beliin Mbak Yaya cemilan?"
"Enggak, buat Tante Rubi semuanya."
Seketika langkah Rubi terhenti. Ia memutar tubuh menghadap Ardiono. Perhatiannya tertuju pada keranjang yang dibawa pria itu; roti, makanan ringan dan minuman dingin. "Buat apa, Pak sebanyak ini?"
"Ya buat dimakan. Masa dibakar?" Jawabnya asal.
Ya ampuuun, tanda-tanda penuaan nggak sih? Makin berumur, makin ngeselin. Maki Rubi dalam hati.
"Oh, makasih, Pak." Rubi mengangguk sopan.
"Buat Mbak Yaya mana?" Gayatri iri melihat perhatian ayahnya kepada Rubi.
"Besok ya, Mbak, Ayah beliin." Ardiono meraih tangan Gayatri dan mengajak anaknya berjalan menuju kasir.
Untuk ukuran seorang pria, Ardiono terlihat sudah biasa belanja di supermarket. Dia mengeluarkan kantong yang dibawa dari rumah dan memberikannya pada kasir agar barang belanjaannya segera dimasukan.
Rubi hanya memperhatikan dalam diam seraya meletakan kedua tangannya pada pundak Gayatri.
Namun tiba-tiba, satu hal mencuri perhatiannya. Kening Rubi mengernyit ketika, Ardiono tanda tangan doang? Nggak ngeluarin uang ataupun kartu?
"Makasih, Pak Ardi. Makasih, Mbak Yaya." Ucap kasir ramah. "Salam buat Mbah Noto."
Lagi-lagi, semua pegawai menghentikan pekerjaannya dan mengangguk sopan pada duo Bameswara sebelum mereka meninggalkan Matahari.
Rubi duduk di kursi samping kemudi, membuka tutup botol Pulpy Orange. "Kok tadi di kasir Pak Ardi tanda tangan doang?" Keingin tahuannya sudah tidak bisa dibendung lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sebentar
RomanceArdiono Bameswara memerintahkan orang kepercayaannya untuk memasang pamflet dengan judul "Dicari Calon Istri dengan IPK Cumlaude." Rubi Albarsya terkejut ketika mengetahui beasiswa yang selama ini ia dapatkan setiap bulan tiba-tiba saja diputus. Ard...