47 - Beda Perspektif

4.4K 347 6
                                    

"Bundaa, kata ayah bunda hamil?" Tanya Ganendra sambil memakan sandwich-nya. Bocah berumur sembilan tahun itu lagi menyukai sarapan yang ke barat-baratan, entah sosis, salad sampai mashed potato.

Tidak langsung menjawab, Rubi yang baru selesai mandi dan masuk ke ruang makan malah melirik Ardiono dengan mata yang bisa saja membunuh pria itu.

Sadar dengan tatapan mematikan tersebut, Ardiono berdeham. "Kalau lagi makan jangan ngomong, Ganen."

Ganendra mencebik. Tapi, kini giliran Gayatri yang bersuara. "Mbak mau lihat dedek bayi di perut bunda dong, Yah. Kayak dulu lihat Ganen."

Karena merasa diomongin, Ganendra memasang wajah bingung. "Lihat Ganen? Mbak bisa lihat Ganen waktu di perut Ibu?"

Gayatri mengangguk masih sambil mengunyah. "Bisa, dulu Ganen sebesar biji kacang ijo."

"Hah? Kacang ijo mah kecil!" Ganendra tidak suka. Ia merasa dicemooh Gayatri. "Orang Ganen lahirnya gede, kok. Ada fotonya di kamar."

Memperhatikan saut-sautan kedua anaknya dan Rubi yang masih saja diam, Ardiono menengahi. "Ganen, Mbak Yaya, makan yang bener, nanti telat ke sekolah."

Ardiono tahu, Rubi masih kaget dengan situasinya. Oleh karena itu, ia memilih cuti dan membawa pekerjaannya ke rumah.

Setelah anak-anak berangkat ke sekolah, Ardiono mengajak Rubi piknik di halaman belakang sambil menikmati buah potong.

"Mau ke mana hari ini? Aku libur." Ardiono menyuapkan kiwi ke mulut Rubi dan wanita itu menerimanya.

"Amplaz." Balasnya singkat.

Ardiono tidak bisa mengulum senyumnya. Beneran masih ngambek nggak sih? Ia juga lupa apakah ibu hamil moody sama seperti wanita yang sedang menstruasi?

"Mau beli apa di sana? Atau ke Jakarta aja yang lebih lengkap?"

Rubi yang daritadi menunduk mengerjakan bahan seminar proposalnya, kini mendongak. "Kamu beneran izinin aku kerja di Jakarta terus ikutan pindah?"

Oh masih kepikiran yang semalam? Dengan mantap Ardiono mengangguk. "Iya."

"Bukan cuma buat nenangin aku doang?" Rubi kembali bertanya dengan nada mengintimidasi.

"Beneran, aku ijinin." Ardiono meraih Rubi kedalam pelukannya. Wanita itu bersembunyi di dadanya. "Kenapa nggak percaya sih?"

"Soalnya ribet."

Ardiono tertawa kecil. "Kan kamu yang mau?"

Rubi mencubit perut Ardiono kesal. "Jadi menurut kamu bagusnya gimana sih? Aku ke Jakarta apa enggak?"

Ardiono bisa mendengar nada putus asa sang istri. Tanpa melihat wajahnya pun, ia yakin Rubi sudah menangis frustasi.

Jakarta sentris, dua kata yang cocok untuk mendefinisikan Rubi dan juga beberapa orang di luar sana. Mereka berasumsi, bisa mendapatkan rezeki lebih banyak jika merantau ke ibu kota.

Dibesarkan oleh Noto, seorang pebisnis dan menjadi sosok yang disegani di Jogja, membuat Ardiono ingin seperti beliau. Bukan bagian diseganinya. Tapi, mematahkan narasi yang mengatakan nasib bisa diubah jika merantau ke Jakarta.

Walaupun hubungan Ardiono dan Noto tidak baik-baik saja, ia mengagumi watak beliau yang berpendirian kuat dan berkemauan besar. Tidak hanya memiliki cita-cita, namun Noto selalu belajar demi merealisasikan mimpi-mimpinya.

Bukan SebentarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang