45 - Rencana Kehidupan

6.1K 394 8
                                    

"Tahun depan jadwal kamu padat ya?" Tanya Ardiono.

Pasangan suami istri itu sedang melukis di pinggir sungai. Salah satu fasilitas yang disiapkan Amanjiwo untuk para tamu di pagi hari setelah mereka sarapan.

"Iya, Mas." Rubi tidak pandai melukis sebenarnya, berbeda dengan Ardiono yang memang itu adalah keahliannya. "Sekitar Maret aku udah milih tempat untuk KKN, sekalian mau siapin judul skripsi biar selama KKN aku bisa kerjain proposal untuk semprop. Terus syukur-syukur Agustus aku sidang."

Ardiono mengernyit. "Kilat banget. Kamu yakin sanggup?"

Rubi mengangkat bahu. "Senior aku juga bilang kurang realistis kalau Agustus sidang, berarti aku bakal daftarin skripsi bulan Juli. Nggak mungkin banget sih. Paling masuk akal memang sidangnya sekitar November atau Desember."

"Nah itu baru benar. Wisudanya yang Februari."

Rubi manggut-manggut. "Mas dulu kuliah lama nggak? Mahasiswa abadi gitu?"

Ardiono terkekeh. "Enggak lah. Aku pas empat tahun. Kamu ngejar lulusan terbaik angkatan?"

"Pastinya! Udah susah payah aku berjuang." Rubi jadi teringat hari-hari di mana ia diledek oleh Pak Gangsar, penjaga perpustakaan, sebagai warga tetap. Kuliah FMIPA susah."

"Habis lulus mau kerja?"

Rubi meletakan peralatan melukisnya. Ia duduk merapat dengan Ardiono dan memeluk lengan pria itu. "Mau, di kantor kamu bisa nggak?"

"Bisa aja, mungkin di bagian business planning dan development." Ardiono menarik dagu Rubi agar mata mereka bertemu. "Tapi, kamu mau satu kantor sama suami yang sekaligus jadi atasan kamu juga?"

Rubi mengangguk tanpa ragu. "Mau lah, kayaknya beda area juga. Jadi kita nggak akan sering-sering ketemu."

Ardiono mengusap kepala Rubi lembut. "Nggak beda, Bi. Kita akan sering ketemu di kantor karena tugas kamu bakal krusial. Memastikan kelangsungan bisnis aku seperti pitch ke klien baru dan mempertahankan klien yang sudah ada."

Rubi tidak ada bayangan sama sekali dengan ucapan Ardiono. Ketika magang, ia bekerja di lembaga survey untuk kepentingan Riset Pasar.

"Menurut kamu, apa aku baiknya kerja kantoran di perusahaan konstruksi juga tapi bukan punya kamu. Terus, kalau udah ada pengalaman kurang lebih dua tahun, aku resign dan kerja di tempat kamu?"

Ardiono yang asik melukis mengalihkan pandangannya pada Rubi. "Di mana?"

"Jakarta."

Ardiono menggeleng tidak setuju. "Terus, kita LDM?"

"Hmm" Ia terdiam.

"Nggak usah khawatir, Bi. Nanti ada yang bantuin kamu kalau kerja di tempatku." Wajah Ardiono berubah serius. Pria itu terlihat tidak suka. "Di dunia kerja juga ada sistem probation-nya. Ada yang supervise kamu. Pokoknya business planning and development nggak beda jauh sama jurusan kuliah kamu yang kerjanya bakal banyak ngumpulin data."

Setelah menikah, pemikiran Rubi pun ikut berubah. Di satu sisi, karir bukan menjadi prioritas utamanya. Tapi di sisi lain, hidup akan lebih bersemangat kalau bangun di pagi hari dan ia memiliki tujuan selain mengurus anak-anak dan suaminya.

"Rubi.." Panggil Ardiono yang membuyarkan lamunannya.

"Ya?"

Mereka bertukar pandang. "Mengenai tahun depan, KKN-nya di Jogja aja ya? Aku nggak apa-apa urus anak-anak. Cuma takut kalau kamu hamil."

Rubi memanyunkan bibirnya dan memukul Ardiono. "Ish! Bisa-bisanya mikir begitu."

Ardiono terbahak. "Kamu nggak minum pil, aku juga nggak pakai pengaman. Ya mungkin aja kan?"

Bukan SebentarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang