Semalam, Ardiono berniat menceritakan masa lalunya ketika masih menikah dengan Sekar pada Rubi. Namun dari suaranya, wanita itu berusaha tegar dan mengalihkan pembicaraan mereka.
Sebenarnya, ia juga tidak tahu apakah tindakan tersebut bisa dikatakan etis?
Tidak, tidak ada yang Ardiono rahasiakan dari istrinya itu. Tapi, ia tidak ingin ada keributan di masa yang akan datang. Lebih baik, Rubi mengetahui semuanya dari sekarang, yaitu dari mulut suaminya.
Untuk sekarang, menjaga dan memvalidasi perasaan Rubi lebih penting. Bahwa Ardiono mencintai Rubi Albarsya. Wanita itu yang sekarang memenuhi isi hati dan kepalanya.
Meskipun begitu, ia yakin, tidak mudah bagi Rubi untuk ikhlas dan menerima keadaan di mana, Ardiono masih harus bertemu dengan mantan istri.
"Den, tolong reservasi tempat makan untuk pertemuan anak-anak dan Sekar." Raden sudah berada di ruang kerja Ardiono.
"Oh udah jadwalnya, Di?"
Ardiono mengangguk sambil membaca surat-surat yang harus ia tanda tangani. "Enaknya di mana?"
"Anak-anakmu lagi suka dimsum di Taigersprung Pakuningratan, Rubi sering ajak mereka ke sana."
"Kok saya nggak tau?" Ardiono mendadak kesal mendengar sang asisten lebih tau kesukaan istri dan kedua anaknya.
"Kalau ketemu Pak Joko ya aku tanya, tadi ke mana aja sama ibu dan anak-anak." Jelas Raden. "Emangnya kamu, masih aja sibuk sendiri walaupun udah nikah."
Ardiono mengangkat kepala menatap Raden yang mulai sok tahu. "Ya ini kan untuk mereka juga. Makanya kamu yang cepetan nikah, biar nggak gagal paham."
Di satu sisi, Ardiono tahu banget kalau waktunya sangat terbatas untuk pergi keluar rumah berempat bak keluarga cemara. Tapi di sisi lain, Rubi, Gayatri dan Ganendra tidak mengeluhkannya, ia tidak sadar kalau telah melewatkan banyak hal. Lebih tepatnya Ardiono tidak pernah peka.
"Apa di Eastern Kopi TM Godean aja? Dekat dari rumah?" Ardiono teringat restoran satu itu juga menyediakan dimsum.
Raden tertawa. "Ardi, Ardi. Kamu yang punya acara. Ngapain minta persetujuan aku?"
Benar juga. Otaknya lagi payah. Ia terus menerus memikirkan Rubi sejak percakapan mereka semalam. Ia takut Rubi sedih dan memilih diam walaupun wanita itu terlihat baik-baik saja pagi ini; masih dandan rapih seperti biasa, menyiapkan sarapan, mengantar anak-anak ke sekolah dan mengajak Ardiono mengobrol.
"Menurut kamu, lancang nggak kalau saya ajak Rubi juga ke pertemuan itu?" Ardiono sudah buntu, pendapat Raden sangat ia butuhkan saat ini. "Jawab yang serius."
"Aku tuh menunggu kamu melakukan itu, Di. Gimanapun juga Sekar harus tahu dengan siapa Gayatri dan Ganendra sekarang dirawat. Walaupun dulu dia jahat ke kamu dan anak-anak, aku yakin dia ada perasaan khawatir karena berjauhan dari kedua anaknya. Jadi, keputusan kamu udah tepat kalau mau memperkenalkan Rubi ke Sekar."
Ardiono mengangkat sebelah alisnya. "Tanpa harus mikirin perasaan Rubi?"
Raden mengangguk mantap. "Kedengarannya sadis, tapi Rubi lah pihak yang akan banyak mengalah karena kamu memiliki seorang mantan yang masih hidup dan anak-anak di bawah umur yang butuh perhatian. Lain ceritanya kalau kamu cerai mati, nggak usah repot-repot kayak sekarang ini."
***
"Huaaa, nggak mauuu!" Bruk!
"Ganen, kenapa nak?" Rubi memasuki kamar Ganendra, ia melihat banyak barang-barang di lantai.
"Nggak mau pergi, Bu." Lapor Bu Atin pada Rubi. "Katanya nggak mau ketemu Bu Sekar."
Kamar tersebut sudah berubah seperti kapal pecah karena bocah itu mengamuk.
Rubi menghela napas kasar. Ia juga kaget ketika Ardiono mengabari kalau pria itu akan memperkenalkannya pada ibu dari Gayatri dan Ganendra.
Ia tidak punya pilihan selain mengiyakan ajakan tersebut.
"Bunda ikut juga kok." Rubi sudah duduk di depan Ganendra. Ia menyuruh Bu Atin keluar untuk membantu Gayatri bersiap-siap.
"Benar, Bun?" Ganendra menghapus air matanya. "Bunda ikut Ganen kan?"
Rubi mengusap rambut Ganendra yang berkeringat karena anak tersebut dipenuhi amarah. "Iya, sayang. Kita berempat ya. Ada ayah juga."
Air muka Ganendra masih sedih, membuat Rubi bertanya. "Kenapa?"
"Ganen benci ibu. Ibu pergi ninggalin Ganen, Mbak Yaya dan Ayah."
"Terus? Sekarang masih benci?"
Ganendra mengangguk.
Pengakuannya membuat Rubi prihatin. Apakah dari sisi psikologis anaknya masih normal? Atau sebaliknya, Ganendra harus segera diperiksa ke spesialis karena menyimpan dendam dan terluka?
"Sayang, kenapa susah buat Ganen memaafkan Ibu?" Rubi membawa Ganendra ke dalam pelukannya.
Oke, pertanyaan itu juga cocok untuk Rubi karena sampai sekarang ia masih kesumat dengan Pramono yang sudah meninggalkan dirinya dan mendiang Laras demi wanita lain.
"Ganen panggil ibu, bu jangan pergi, di sini aja sama ayah. Tapi ibu tetap pergi."
Mendengarkan pengakuan Ganendra membuat perutnya mulas. Rubi mengeratkan pelukannya, ia tidak sanggup menatap mata bulat yang masih terdapat sisa-sisa tangisan.
"Bunda nggak bakal pergi kan? Tetap di sini sama kita?"
"Nggak, bunda tetap di sini sama Ganen, Mbak Yaya dan juga ayah."
"Huaaa... hiks.."
Rubi panik mendengar tangisan itu lagi. Ia melepaskan pelukannya dan menangkup pipi yang sudah kemerahan. "Eh kok malah nangis?"
Ganendra menghapus air matanya dengan buku jari, "terharu, bunda."
Rubi tidak bisa menahan tawa mendengar pernyataan Ganendra yang bak orang tua tersebut. "Ganendra mudah terharu ya?"
Bocah itu menganggukan kepalanya. "Udah jangan nangis lagi" Ucap Rubi seraya merapikan bagian depan baju anaknya.
Tok.. Tok.. Tok..
"Masuk." Jawab Rubi.
Gayatri dan Bu Atin masuk ke kamar Ganendra. "Bapak udah di bawah, Bu." Ucap Bu Atin.
Rubi menggandeng tangan kedua anaknya dan membimbing mereka menuruni tangga. Ia semakin sering merapalkan do'a, berharap pernikahannya akan tetap baik-baik saja setelah ini.
***
Jangan lupa vote-nya yaa :D
Kalau nggak mager, nanti malem up lagi. In syaa Allah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sebentar
Storie d'amoreArdiono Bameswara memerintahkan orang kepercayaannya untuk memasang pamflet dengan judul "Dicari Calon Istri dengan IPK Cumlaude." Rubi Albarsya terkejut ketika mengetahui beasiswa yang selama ini ia dapatkan setiap bulan tiba-tiba saja diputus. Ard...