"Ayo, aku ingetin kamu nih sekarang. Katanya mau ngomongin tentang pernikahan kita." Ucapan Rubi membuat Ardiono menoleh. Istrinya sedang berjalan keluar dari kamar mandi seraya mengeringkan rambut dengan handuk dan duduk bersandar di kasur.
"Kayaknya udah semua deh?" Aroma segar khas sabun mandi menyeruak dari tubuh Rubi.
Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Kamu bilang mau ngomongin tentang perasaan kamu."
Ardiono terkekeh. Pria itu menggeser duduknya agar semakin dekat dengan Rubi dan meraih tangan wanita itu untuk duduk saling berhadapan.
"Aku sayang kamu, Rubi." Ia menggenggam tangan Rubi, mengangkatnya ke bibir dan menciumnya di sana. "Itu jawaban dari pertanyaan kamu waktu kita di Tanjung Puting."
Ardiono merasa konyol menyebutkan kalimat tersebut. Butuh waktu berminggu-minggu sampai ia berani mengatakannya. Sudah lama sejak terakhir kali ia menyatakan perasaannya pada seorang wanita.
"Setelah melewati lebih dari dua provinsi, lautan yang luas, pemandangan yang indah, kamu baru jawab pertanyaanku sekarang?" Rubi memanyunkan bibirnya.
Ardiono tahu istrinya tidak bermaksud kecut, wanita itu hanya sedang berdrama ria. "Iya maafin aku."
"Hmm.." Rubi menatap Ardioni dengan pandangan menyelidik. "Kamu nggak yakin sama perasaan kamu?"
Ardiono mengangguk tanpa ragu. "Maafin aku, Bi. Mencintai seseorang setelah pernah dikhianati itu susah-susah gampang. Aku nggak mau membenarkan sikapku ini, tapi aku mau kamu mengerti situasi pernikahan kita."
"Aku paham." Rubi mengangkat kedua jempolnya. "Nggak usah khawatir. Terus?"
"Aku pasti sudah menyakiti perasaan kamu." Ardiono kembali mencium tangan itu. Mengelus cincin yang melingkari jari manis sang istri. "Kamu nggak salah. Justru sebaliknya, aku berterima kasih dengan semua ketulusan, keceriaan dan keikhlasan yang kamu berikan ke aku dan anak-anak."
Rubi mengusap pipi suaminya. "Nggak ada yang salah. Menurut aku karena kita berdua paham maksud dari pernikahan ini. Terus ya udah, menjalani kewajiban masing-masing. Cuma bedanya sekarang aku punya kamu dan anak-anak. Kamu juga yang tanggung jawabnya nambah, yaitu aku."
"Kamu masih anggap pernikahan ini transaksional?
"Hehehe, enggak sih setelah kamu bilang aku sayang kamu, Rubi."
Ardiono menyunggingkan sanyumnya.
"Anyway, mulai kapan sih kamu suka sama aku?" Rubi memajukan tubuhnya dan membuat mata genit.
Ardiono ingin menjahili istrinya. "Kalau itu, kita omongin lagi di lain waktu."
"Ihhh, jahat!" Rubi menjerit dan memukul lengan Ardiono kuat-kuat.
Pria itu menghindar sambil cengengesan. "Awww! Jangan maruk, Rubi. One step at a time. Satu-satu nanti kita bicarakan lagi di lain waktu." Ujar Ardiono sambil merebahkan tubuhnya dan bersiap untuk tidur. "Saklar sentralnya di dekat kamu ya. Tolong matiin lampu."
"Nggak mau! Jawab dulu!" Rubi masih tetap pada posisinya. Malah, ia menggoyangkan paha Ardiono berkali-kali.
Membuat sang suami menatap Rubi dan menahan senyumnya. "Jangan pegang-pegang paha aku."
"Emang kenapa?"
Ardiono menyingkirkan tangan Rubi dari tubuhnya. Pria itu menopang kepalanya dengan satu tangan sambil menatap sang istri lekat-lekat. "Kita tau sama tau kalau kamu nggak bisa bercinta malam ini karena lagi mens. Jadi, jangan sentuh aku."
"Ya ampuuuun, mesum banget. Bye." Rubi mematikan lampu, membanting tubuhnya untuk memunggungi Ardiono lalu menenggelamkan tubuh seluruh tubuhnya di balik selimut bak anak usia lima tahun yang sedang ngambek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sebentar
RomanceArdiono Bameswara memerintahkan orang kepercayaannya untuk memasang pamflet dengan judul "Dicari Calon Istri dengan IPK Cumlaude." Rubi Albarsya terkejut ketika mengetahui beasiswa yang selama ini ia dapatkan setiap bulan tiba-tiba saja diputus. Ard...