23 - Married with Benefit?

6.9K 464 3
                                    

Anggun
Eh pengantin baru! Hilangnya lama banget yaaaa. Makan siang yuk!

Rubi tersenyum membaca pesan tersebut. Di semester enam, dirinya dan Anggun banyak mengambil kelas yang berbeda. Oleh karena itu, dua sekawan itu belum ketemu lagi sejak hari pernikahan Rubi dan libur semester.

Rubi baru saja menyelesaikan kelas menyetirnya. Seminggu berlalu, tentu banyak perkembangan. Tapi, ia masih mudah panik, apalagi kalau mobil di belakang sudah memencet klakson. Ia tidak paham kenapa banyak orang yang tidak sabaran? Kalau punya janji, bersiaplah lebih awal biar tidak menimbulkan polusi suara.

Tapi, ada baiknya juga Pramono memberikannya mobil dengan tujuan mempermudah mobilitasnya. Sekarang, melihat Pak Joko yang sudah sepuh mengantarnya ke mana-mana membuat Rubi tidak enak hati. Pria tersebut sudah dianggap keluarga oleh Ardiono. Bahkan seluruh anak-anak Pak Joko disekolahkan Mbah Noto.

"Edyaaan! Sumringah banget si Ubi." Ujar Anggun ketika mereka sudah berada di Qua-Li. Rubi merindukan Kuey Teow goreng Penang dan ayam goreng khas Qua-Li.

"Di Jakarta ngapain aja lo?" Tanya Rubi sambil membaca menu.

"Kayaknya nasib gue bakal sama kayak lo, Bi." Anggun membuat muka sebal. "Bokap gue masa sudah nyiapin jodoh buat gue."

Rubi terbahak. "Habis lulus, nikah gitu?"

Anggun mengangguk. "Dia orang kepercayaan bokap di kantor. Terus seperti yang gue bilang, kakak gue itu bodoh dan nggak mampu meneruskan bisnis keluarga. Jadi si cowok ini yang bakal nerusin, tapi ya gue harus nikah sama dia."

"Banyak orang tua yang nggak sibuk cariin jodoh anaknya, Nggun." Rubi mencoba bijak. "Menurut gue sih, kenalan aja dulu."

"Ih kok jadi ngomongin gue?" Anggun memutar bola matanya. "Gue kan ke sini mau nanyain pengantin baru. Gimana sama Ardi? Gue rasa lo sudah suka sama dia?"

Rubi tersenyum. "Ini hal yang gue nggak sangka sih, Nggun. Ternyata, gue mudah menyerahkan diri hanya dengan perhatian dan sentuhan ringan dari dia."

"Hahaha, oke cerita!" Anggun berubah antusias.

Rubi dan Anggun memesan makanan terlebih dahulu. Lalu melanjutkan sesi update kehidupan.

"Sebelum nikah, lo tau sendiri gue nggak pacaran. Ngefans sama senior yang wadidaw kata satu angkatan aja, gue tetep no." Terang Rubi. "Sampai akhirnya setelah nikah, gue melihat sifat Ardiono yang hangat. Terus, persepsi gue tentang menikah pun berubah."

Rubi melanjutkan sambil mengambil nasi dan lauk di atas piring. "Menurut gue, orang-orang yang bilang gue cinta, makanya mau nikah sama dia atau kita udah pacaran lama, makanya yakin sama dia. Itu omong kosong banget sih."

"Soalnya, dengan sendirinya, gue bisa aja kasih Ardiono perhatian tanpa harus cinta terlebih dulu. Menikah itu yang penting bisa saling menghargai dan punya kepekaan."

"Sama halnya dengan gue, gue yakin Ardiono juga belum cinta. Tapi, di depan anak-anak, dia mencoba mesra; ngerangkul dan menggenggam tangan gue. Setiap malam juga seranjang kan, dia berusaha ngajak ngobrol bukannya nonton TV atau main handphone."

"Pada akhirnya, karena sering melakukan rutinitas yang terkesan sepele itu, kita menginginkan satu sama lain begitu aja."

Anggun memajukan badannya penasaran, "maksud lo.. ekhem."

"Iya, si ekhem itu pun terjadi."

"Gilaaa!" Anggun memukul meja bersemangat.

"Oke sampai situ aja yang bisa gue ceritain." Rubi mendadak malu tapi itu juga sudah menjadi prinsipnya untuk tidak membicarakan urusan ranjang dengan orang lain walaupun itu Anggun, sahabatnya.

Anggun melengos. "Tapi, berarti, lo sayang gitu sama dia?"

Rubi mengangkat bahu. "Nggak tau. Kayaknya gue married with benefit sama kayak orang-orang yang friends with benefit."

"Hahaha, wah nggak habis thinking sih." Anggun menggelengkan kepala. "Sori nih, lo cuma mau ekhemnya aja?"

"Ya enggak dooong. Seperti yang udah gue jelasin tadi lah pokoknya." Rubi mulai lelah dengan temannya ini.

"Kalau ternyata cinta itu nggak pernah tumbuh di pernikahan kalian, gimana?"

"Nggak mungkin deh." Rubi terkekeh. "Apalagi kalau fisik, sifat dan keuangan bagus, cinta mah tinggal tunggu waktu aja."

"Anjaaay. Gue kok jadi mau ya dikenalin sama si Emir pria kesayangan bokap?" Pandangan Anggun menerawang. "Ngelihat lo yang sedingin batu es aja bisa luluh, gue juga pasti bisa."

***

Suasana di meja makan lumayan tegang antara Ganendra dan Ardiono. Anak laki-lakinya itu ketahuan menyembunyikan nilai kuis yang jelek di salah satu koleksi tas sekolahnya.

"Kenapa Ganen bohong?" Tanya Ardiono

Ganendra melihat ke arah Rubi untuk meminta pertolongan. "Jawab ayah, Ganen." Saran Rubi lembut. Ia ingin anak lelakinya bersikap layaknya pria dewasa yang menjawab jujur setiap pertanyaan ketika berbuat salah.

"Takut dimarahin ayah sama bunda." Bocah itu menunduk sedih.

Ardiono menghembuskan napas kesal mendengar jawaban itu. "Memangnya ayah pernah marah kalau nilai Ganen jelek?"

Dengan polos anaknya itu mengangguk. Gayatri juga mengiyakan.

Ardiono tidak berkata apa-apa lagi sampai makan malam selesai. Ia tidak suka dibohongi, baik oleh orang dewasa maupun anak-anak. Kejujuran adalah integritas dan tolak ukur seseorang dapat dinilai baik dan bisa dipercaya.

"Menurut kamu, saya galak?" Tanya Ardiono ketika mereka sudah berada di kamar.

"Kita kan juga pernah jadi seorang anak. Anak-anak lebih suka dikasih pengertian daripada dimarahin nggak jelas." Rubi menjawab dengan diplomatis.

"Nggak jelas gimana? Maksud kamu, saya kalau marah nggak pernah ada isinya gitu?" Ardiono tersinggung dengan jawaban sang istri.

Rubi menganggukan kepala. Ia beringsut ke pelukan pria itu. "Kamu tuh meluap-luap kalau marah. Makanya saya peluk begini biar kamu nggak bete."

Ardiono mengusap rambut panjang wanitanya. "Jadi saya harus gimana?"

"Anak-anak itu, lebih senang ditanya. Misalnya, kenapa nilainya jelek? Kuisnya susah? Kita harus mendengarkan dulu alasannya, lalu kasih pengertian. Bukan marah loh ya. Kalau marah, nanti anak-anak mikirnya mereka itu bodoh." Rubi menjelaskan. "Tadi yang jelek nilai bahasa Indonesia kan? Memang saya dan Ganendra sudah sering berlatih peribahasa, tapi Ganendra lemah di situ."

Pelukan Ardiono mengerat. "Kamu lebih pengalaman ya daripada saya?"

"Ganendra pernah nanya, bunda kok nggak marahin Ganen? Saya mikirnya, pasti sering nih dimarahin ayahnya." Rubi terkekeh. "Makanya saya lebih sering mendengarkan dia aja. Kalau keterlaluan, saya hanya mengingatkan."

Rubi membetulkan posisi duduknya dan menatap sang suami. "Saya mau Ganendra percaya sama kita. Biar nggak perlu bohong dan mencari validasi di luar rumah. Pun sama untuk Mbak Yaya."

"Makasih ya, Rubi. Saya akan berusaha lebih baik lagi." Ardiono menyusuri pipi Rubi dengan buku jarinya. "Oh iya, besok saya ke Kalimantan. Kamu nyusul sore ya? Nggak ada kuliah kan sampai akhir pekan?"

"Nggak ada, tapi banyak laporan praktek."

Ardiono tertawa kecil. Ia lupa kalau istrinya masih mahasiswi dan juga memiliki kesibukan. Namun ia bersyukur, wanitanya bisa menjadi sosok ibu sambung yang diinginkan; dewasa, penyayang dan jujur. Bahkan lebih baik dari dirinya yang terlebih dahulu menjadi orang tua.

"Kabarin aja besok ya. Nanti saya belikan tiket." Ucap Ardiono kemudian.

"Anak-anak ditinggal?" Rubi mengernyitkan dahi.

"Iya, kita belum pernah jalan-jalan berdua soalnya."

***

Sebuah keajaiban update pagi-pagi buta 😆

Jangan lupa komen dan vote-nya bestie ❤️

Bukan SebentarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang