Ketika Rubi menandatangani surat perjanjian yang diajukan Ardiono, pria itu tidak menulis apapun yang berkaitan dengan 'urusan ranjang.'
Rubi juga kurang paham, apakah pada umumnya mereka yang berpacaran akan membicarakan masalah 'hak' tersebut sebelum menikah atau tidak?
Karena sejujurnya, ia belum siap. Perasaannya pada Ardiono masih biasa saja.
Di malam pertama mereka, Ardiono tidak menuntut hak tersebut. Atau karena.. semalam mereka tidur bertiga? Lebih tepatnya, Ardiono di sofa ruang TV dan Rubi di kasur dengan Gayatri dan Ganendra. Sekarang, Ardiono masih saja memukul punggungnya pelan pertanda pegal karena tersiksa semalaman.
Berapa tinggi pria itu? Seratus tujuh puluh tujuh? Seratus delapan puluh? Entahlah. Dengan heels tujuh senti, Rubi masih setinggi pundak suaminya.
Baru kali ini ia mengamati Ardiono dengan jelas. Pria itu tidak berotot, tidak juga terlalu kurus, tapi terlihat pas. Rubi yakin, tinggi tubuh suaminya ia dapatkan dari Noto yang sampai sekarang saja masih terlihat gagah.
Rambutnya lurus, tebal dan sebatas kerah kemeja. Kalau selesai wudhu, rambut itu akan meneteskan air dan Ardiono nampak lebih segar.
Jambang. Rubi lemah melihat jambang Ardiono di pagi hari. Atau kalau pria itu sedang malas bercukur.
Ok, udah, udah, Ubi. Ngapain jadi menilai si Ardiono? Ok, suami maksudnya. Batin Rubi.
"Bunda, bunda jam berapa biasanya sholat subuh?" Tanya Ganendra yang sekarang membantunya membereskan sajadah.
Rubi malu menjawabnya karena jelas ia bangun kalah pagi dari anak delapan tahun di depannya. "Setengah enam."
Ganendra menggelengkan kepala. "Kata Pak Ustadz, kalau bisa sebelum adzan sudah siap-siap, Bund."
Salah satu kebiasaan mereka bertiga, oke sekarang berempat termasuk Rubi, ialah sholat berjamaah. Ardiono menjadi imam, Rubi dan anak-anak menjadi makmum.
Perempuan itu pikir hanya terjadi ketika dzuhur, ashar, maghrib dan isya. Tapi subuh juga. Malah, Ganendra yang tadi membangunkannya.
"Namanya Ustadz Salman." Ardiono memberi isyarat agar mengikutinya duduk di sofa. Tentu Ganendra tidak ingin ketinggalan. Sedangkan Gayatri sudah kembali ke alam mimpi. "Setiap Kamis dan Sabtu selepas maghrib kami kedatangan beliau untuk isi kajian di rumah ibu. Dilanjutkan sholat isya berjamaah. Biasanya yang hadir selain keluarga kita, ada beberapa pegawai juga."
"Oke." Rubi mengangguk paham. "Terus yang masak ibu?"
"Iya, tapi kalau kamu sibuk sama kuliah atau anak-anak, nggak bantu juga nggak masalah." Pria itu mengeluarkan dua kartu dari dompetnya. "Ini kartu yang biru untuk kebutuhan rumah tangga seperti bahan-bahan dapur dan uang jajan anak-anak. Mereka beli baju cuma tahun baru sama lebaran aja. Untuk ART, tarik tunai dari situ juga. Mereka maunya cash. Nah ini yang gold, untuk kebutuhan premier dan sekunder kamu. Termasuk biaya kuliah."
"Papa, Pramono maksud saya, sudah transfer uang ke rekening kamu. Bisa kamu cek" Lanjut Ardiono. "Beliau bilang akan transfer setiap bulan, bahkan sampai beliau sudah nggak ada di dunia ini."
Cih. Nggak tau diri. Batin Rubi.
"Hmm oke, aku terima kartunya." Rubi memindahkan kedua kartu itu ke dalam genggamannya.
"Dan ingat." Ardiono belum selesai. "Tujuan kamu adalah meningkatkan prestasi Gayatri dan Ganendra. Jadi, kalau mau ajak mereka jalan-jalan, pastikan mereka sudah belajar dan mengerjakan PR. Nanti saya masukkan kamu ke grup WA wali kelas dan orang tua murid. Biasanya ada pengumuman di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sebentar
RomanceArdiono Bameswara memerintahkan orang kepercayaannya untuk memasang pamflet dengan judul "Dicari Calon Istri dengan IPK Cumlaude." Rubi Albarsya terkejut ketika mengetahui beasiswa yang selama ini ia dapatkan setiap bulan tiba-tiba saja diputus. Ard...