39 - Poligami

6K 390 6
                                    

Seperti yang pernah dikatakan Raden, Ardiono memang jarang menghabiskan waktu dengan Rubi dan kedua anaknya. Oleh karena itu, setelah mengambil rapot sekolah, ia berinisiatif untuk mengajak istri dan anak-anak ke museum Ullen Sentalu. Walaupun ia tidak suka sejarah, tapi Rubi, Gayatri dan Ganendra berminat dengan topik yang satu itu.

"Nilai Ganen nggak bisa lebih bagus lagi?" Tanya Ardiono ketika mereka sedang berada di ruang tunggu.

Ullen Sentalu adalah jenis museum yang memakai sistem kuota, difasilitasi seorang tour guide dan ada batas maksimal durasi kunjungan.

"Kayaknya enggak." Bocah SD itu menggelengkan kepala membuat rambut yang sudah sedikit panjang berhambur ke depan.

Ardiono merapikan rambut lembut tersebut. "Ganen mau jadi apa kalau udah besar?"

Nilai rapot Ganendra memang lebih baik dari semester lalu, tapi Ardiono masih kecewa. Sebagai orang tua, mungkin harapannya saja yang terlalu tinggi.

Walaupun pria itu sudah tidak terlalu kolot dan memaksakan anak laki-laki yang harus meneruskan bisnis konstruksinya, tapi paling tidak Ganendra peduli dengan pendidikannya.

"Belum tahu, Yah."

Beberapa waktu lalu, mereka berempat mengunjungi psikolog anak berkaitan dengan tantrum Ganendra ketika bertemu dengan Sekar. Secara mengejutkan, banyak hal menarik yang ia dan Rubi pelajari sebagai orang tua ketika sudah bertemu sang ahli. Salah satunya adalah tahap perkembangan anak usia delapan tahun.

Pada umumnya mereka masih suka bermain. Bukan bermain yang buang-buang waktu dan uang. Melainkan permainan dalam bentuk tim yang lebih menstimulasi kecerdasan, kekuatan fisik dan rasa empati kepada sesama.

Tidak bisa dipungkiri, saran Rubi memang benar. Mengajak kedua anak mereka ke ahlinya membuat Ardiono belajar agar tidak terlalu memaksakan kehendak. Mereka memiliki kebebasan untuk memilih, namun harus tetap dalam pengawasan orang tua.

Fakta tersebut membuat Ardiono tidak sabar. Ia ingin anak-anaknya cepat dewasa agar bisa mandiri dan menentukan nasibnya sendiri.

Ternyata, Ardiono yang dulu masih sama saja. Masih sulit menerima kehadiran Gayatri dan Ganendra. Ia berharap, perasaan itu akan segera pergi dari benaknya. Ia tidak mau menjadi ayah yang buruk untuk putra dan putrinya.

"Bun, poligami apaan?" Pertanyaan tersebut tiba-tiba terlontar dari mulut Gayatri setelah mereka selesai mengikuti tur Adiluhung Mataram di Ullen Sentalu.

Tour guide memang sempat menjelaskan tentang Gusti Nurul yang menolak cinta mantan presiden Soekarno lantaran tidak ingin dipoligami.

"Poligami itu laki-laki yang mempunyai lebih dari satu istri." Jelas Rubi ketika mereka sedang duduk-duduk di bawah pohon rindang. Cuaca hari ini tidak terlalu terik.

"Oh, kayak ayah ya?" Tanya putri sulungnya dengan polos yang disambut tawa oleh Ardiono.

"Ayah nggak poligami, Mbak." Ardiono membela diri. "Ayah udah cerai sama ibunya Mbak Yaya sebelum menikahi bunda."

"Nanti kalau Mbak Yaya sudah dewasa, kita obrolin ini lagi." Rubi menyela obrolan yang belum pantas dibahas oleh anak seusia Gayatri.

"Berarti, Bun, laki-laki boleh istrinya lebih dari satu? Gitu?" Gayatri masih belum puas dengan diskusi tersebut.

"Boleh, tapi ada beberapa syarat juga kalau dalam Islam." Balas Rubi singkat.

Gayatri manggut-manggut paham. "Ayah, jangan poligami ya." Mata anak gadis itu terlihat memberikan peringatan. "Bunda juga harus nolak kalau ayah ingkar janji."

Bukan SebentarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang