Dua tahun silam, tanpa pernah memiliki kamera DSLR, Rubi nekat mengikuti klub fotografi. Orang pertama yang menawarkan diri untuk meminjamkan kamera dan lensanya adalah Danu.
Pertemanan mereka dimulai sejak saat itu. Berawal dari bertemu di sekret, berlanjut makan bersama dan tidak jarang juga Danu membantu Rubi dengan tugas kuliahnya.
Beberapa selentingan mengatakan kalau Danu menaruh perasaan pada Rubi, tapi ia mengabaikan kabar burung tersebut.
Baginya, Danu hanyalah senior yang berbaik hati menawarkan kamera, waktu dan tenaganya.
Hingga dua minggu lalu, untuk pertama kalinya, Danu mengajak Rubi untuk menonton dan makan siang di mall. Tanpa Rubi ketahui, itu adalah tanda perpisahan mereka karena Danu akan bertolak ke Jakarta untuk berkarir di sana.
"Bi, kalau ada apa-apa telfon aku, ya." Ujar Danu ketika mereka sudah berada di Stasiun Tugu.
"Hahah, Mas kan jauh. Nggak mungkin bisa bantu juga."
"Iya juga sih." Danu salah tingkah dan menundukkan kepalanya. "Kalau gitu, telfon Yana, nanti dia yang bantu."
Yana adalah adik perempuan Danu. Beberapa kali Rubi pernah bertemu dengannya karena diajak makan oleh pria itu di warung soto Kudus milik keluarga mereka.
"Mas, Mas.. Aneh-aneh aja kamu tuh." Rubi terkekeh. "Tapi makasih ya"
Danu mengatupkan bibirnya. Rubi tahu, pria di sampingnya ingin mengatakan sesuatu yang lebih, tapi mengurungkan niatnya. "Kamu jangan lama-lama, Bi kuliahnya. Aku lumayan menyesal sih telat setahun untuk lulus."
"Lah apalagi aku, Mas. Baru kuliah umur sembilan belas tahun, mungkin baru dua tahun lagi aku lulus."
"Aku tungguin, Bi." Ujar Danu malu-malu.
"Ng.. Gimana, Mas?" Rubi bingung.
"Aku tunggu di Jakarta maksudnya."
"Eh iya, kalau aku butuh tempat magang, apply ke Intiland aja ya?"
Ya, Danu ini memang pintar secara akademik dan non-akademik. Tak ayal ia bisa bekerja di perusahaan property developer sebesar Intiland.
Rubi masih ingat bagaimana Danu selalu rajin mengajaknya ke mading untuk mencari seminar dalam hal leadership, capacity and character building. Berbeda dengan Rubi yang mendatangi mading untuk mencari tempat untuk part-time.
Ngomong-ngomong mading, Rubi teringat sayembara Ardiono tentang pencarian istri.
Apa kabarnya pria itu? Sudah hampir tiga minggu Raden tidak menghubungi Rubi.
Ada apa? Apakah aku gagal? Terus nasib kuliah dan biaya hidupku bagaimana? Batin Rubi.
***
"Ah gila lo, Bi. Kok bisa sebagus ini sih nilainya?" Tanya Anggun ketika kelas baru saja selesai.
Rubi merapikan alat tulis dan laptopnya. "Kita kan belajar bareng, materi yang dipelajari juga sama, Nggun."
Anggun memajukan bibirnya, "gue salah ambil jurusan nggak sih, Bi?"
"Kita sudah penjurusan. Harusnya ini sudah final ya. Nggak boleh ragu lagi."
"Duh Ubi, kok gue jadi deg-degan sih kalau ngomongin masa depan gini." Anggun mencebik.
"Udah jangan panik, nge-mall aja yuk."
"Yuk!!! Pengen waffle A&W sama rootbeer!"
Rubi membuat muka jijik. "Wleeek, kenapa lo suka banget minuman balsem itu sih, Nggun?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sebentar
RomansaArdiono Bameswara memerintahkan orang kepercayaannya untuk memasang pamflet dengan judul "Dicari Calon Istri dengan IPK Cumlaude." Rubi Albarsya terkejut ketika mengetahui beasiswa yang selama ini ia dapatkan setiap bulan tiba-tiba saja diputus. Ard...