48 - Empat Bulanan

5.1K 362 1
                                    

Tiga Bulan Kemudian

Di awal kehamilan, Rubi bersyukur tidak mengalami morning sickness seperti pengalaman wanita lain yang ia baca pada sebuah online blog. Jadinya, ia bisa lebih produktif seperti, mempersiapkan penutupan KKN, seminar proposal dan penyelesaian skripsi tahap akhir sesuai jadwal.

Beruntungnya Ardiono juga pintar science, jadi kalau ia mumet, sang suami yang membantu mengetik dan berpikir.

Nggak penting banget bahas benda keramat satu itu.

Rubi sedang bahagia. Ia bangun lebih pagi di hari Sabtu ini karena mengadakan acara empat bulanan. Memanjatkan doa-doa dan makan bersama keluarga terdekat.

Vendor yang dipesan Rukmini memang tidak pernah salah. Dari dekor, meja dessert dan ibu-ibu pengajian, semuanya profesional. Khusus katering makanan, tentu saja by one and only Ru's Catering alias Kateringnya Rukmini.

Mertuanya juga membelikan dress berpayet warna biru dongker. Tidak ketinggalan untuk Ardiono dan anak-anak pakaian dengan warna senada agar terlihat serasi.

Memakai sarimbit seperti itu merupakan hal wajib di keluarga Ardiono. Biar bagus kalau di foto, begitulah ucapan Rukmini.

Rubi jadi teringat dengan lebaran pertama yang dirayakan setelah menjadi seorang istri. Karena sebelumnya, ia membenci acara keluarga. Ia selalu merasa sebatang kara. Terbuang. Tidak diinginkan.

Namun, bersama keluarga Bameswara, Rubi tidak pernah merasa sendiri lagi. Semua orang mengingatnya. Semua orang mengajaknya. Ia merasa penting. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa diinginkan kehadirannya.

"Bundaa, Ganen nggak boleh makan lagi kata Yang Ti." Ganendra cemberut mendatangi Rubi yang sedang duduk dengan Ardiono menikmati rujak buah.

"Kan udah mau jadi Mas Ganen, jangan manja dong." Rubi menyugar poni Ganendra yang sudah panjang. "Ganen kan faktanya memang makan terus. Iya apa nggak?"

"Tapi Ganen laper terus, Bunda. Kenapa ya?" Bocah itu berpikir keras seraya bertopang dagu.

Rubi tertawa melihatnya.

"Kan yang hamil bunda. Masa yang lapar terus Ganen." Ardiono nyeletuk.

"Nggak tahu ah, bingung." Jawabnya sambil menyomot buah pepaya di piring.

"Nanti sore Mas Ganen boleh makan."

"Kalau sore sudah habis, Bunda." Masih saja merajuk.

Ardiono memang menyuruh Rubi dan yang menyiapkan makanan di rumah mereka untuk bisa mengontrol asupan makan Ganendra. Karena ketika melakukan medical check up, anak laki-lakinya itu disarankan untuk mengurangi makanan manis.

"Enak, Bi es campurnya." Ujar Pramono.

Hal yang Rubi malaskan ketika kumpul keluarga hanya satu, kehadiran ayah kandungnya, Pramono Ciptahadi. Pria itu menceritakan segalanya termasuk istri kedua yang sudah lama meninggal.

Anak perempuannya masih SD dan dititipkan pada sang nenek karena pria itu tidak bisa menjadi single father. Tak ayal Pramono datang ke pernikahan Rubi seorang diri, pun ketika lebaran.

Rubi rasa, semua yang Pramono alami adalah balasan dari Yang Maha Kuasa. Ia ditinggalkan oleh beliau ketika berusia sepuluh tahun. Sekarang, anak pria itu merasakan hal yang sama. Walaupun Rubi tidak percaya karma, tapi ia percaya hukum tabur tuai.

Sadisnya, Rubi tidak merasa kasihan sama sekali mendengar kisah hidup dan permohonan maafnya. Namun, Ardiono sering mengingatkan Rubi untuk melembutkan hatinya.

Bukan SebentarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang