Rubi Albarsya bangkit dari duduknya dan memekik. "HAAAAH?? Kok Bisaaa??"
"Sssstt... Sssstt" Suara di belakangnya mengingatkan.
Perempuan itu menutup mulutnya malu. "Eh.. Maaf, maaf." Rubi menganggukkan kepalanya sopan ke kanan, kiri dan belakang. Ia lupa kalau sedang berada di dalam perpustakaan.
"Lo kenapa, Bi?" Tanya Anggun dengan suara berbisik.
"Gue keluar, ya." Izin Rubi pada temannya. Ia memasukkan laptop, buku dan barang-baranya ke dalam tas.
"Gue ikut lo, Bi." Anggun menutup laptopnya.
Nafas Rubi menderu, tangannya bergetar menahan amarah dan kepalanya penuh dengan berbagai skenario dan kemungkinan terburuk.
Suara sepatunya menggema ketika ia dan Anggun berjalan keluar ruangan menuju kursi yang berada di lorong luar perpustakaan.
"Beasiswa gue dicabut! Argh! Sialan Ciptahadi!" Rubi memaki.
"Ciptahadi Foundation yang selama ini bayarin kuliah lo, Bi?" Tanya Anggun sambil memiringkan kepalanya.
"Iya." Rubi berubah lemas. "Gue harus gimana?"
"Gaji asdos lo bisa bayar makan doang ya?" Anggun mencoba mencarikan solusi. "Kalau freelance yang lain?"
"Ngepas banget. Gue nggak ada tabungan dong buat jaga-jaga?"
"Mending lo telpon deh Ciptahadi, tanya kenapa dicabut? Biar jelas." Saran Anggun. "Nilai lo kan selalu sempurna."
"Iya benar juga lo, Nggun." Rubi menghela nafas panjang. Kepalanya disandarkan di dinding. Mana mungkin gue nelfon Ciptahadi? Males banget berhubungan sama dia lagi. Batin Rubi.
"Bi, gue bisa bantu, kayak biasa." Tawar Anggun.
Rubi menggelengkan kepala. "Enggak perlu, makasih, Nggun lo sering gue repotin."
"Apa lo mau ngajuin surat miskin atau apa gitu? Gue nggak paham, Bi. Sori."
"Gue belum bisa mikir sekarang."
"Lo nggak kenapa-napa kan kalau gue tinggal ke perpus lagi?" Tanya Anggun. "Lo mah pinter, Bi nggak belajar juga bagus nilainya. Gue nih, harus belajar lagi."
Rubi mencoba tersenyum. "Ya udah, gue balik ke kampus deh. Cari-cari lowongan kerja di mading."
"Nanti makan siang di Sederhana yuuuk. Lo kangen ayam pop kan?" Goda Anggun. "Gue traktir deeeh."
"Kangen bangettt." Rubi memeluk Anggun. "Makasih ya, Nggun."
***
Setelah berbicara dengan sahabatnya, langkah Rubi gontai dan air mata sudah menggenang. Baginya, jalan terbaik keluar dari kemiskinan adalah dengan menempuh pendidikan setinggi mungkin, menjadi lulusan terbaik dan kerja di perusahaan ternama supaya hidup terjamin.
Target Rubi adalah menjadi seorang Sarjana, syukur-syukur ia bisa melanjutkannya sampai S2 bahkan S3. Tapi sekarang?
Wanita yang hidup dengan sponsor seperti dirinya harus lebih giat, lebih pintar dan lebih segala-galanya. Ia sudah terbiasa seperti itu. Tidak ada waktu untuk rebahan demi menenangkan pikirannya. Atau tertidur di balik selimut demi meredakan amarahnya.
"Huaaa." Tangis Rubi akhirnya pecah tatkala kakinya berada di tangga teratas lobi kampus. Ia terduduk di sana dengan tangan terlipat di atas paha dan kepala yang ditundukkan.
Oke, ia berhak menangis seperti layaknya orang kaya yang kehabisan tiket konser Coldplay dan rela melakukan apa saja demi mendapatkannya. Ia berhak marah pada kehidupan yang dirasanya tidak pernah adil. Ia berhak putus asa karena orang-orang sepertinya selalu disingkirkan dan dikucilkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sebentar
RomanceArdiono Bameswara memerintahkan orang kepercayaannya untuk memasang pamflet dengan judul "Dicari Calon Istri dengan IPK Cumlaude." Rubi Albarsya terkejut ketika mengetahui beasiswa yang selama ini ia dapatkan setiap bulan tiba-tiba saja diputus. Ard...