"Bener kata lo, Bi. Ardiono pasti nawarin syarat dan perjanjian sebelum menikah." Anggun membaca isi perjanjian tersebut.
Rubi mengaduk es teh manisnya dengan lesu. Mereka sedang duduk di kantin fakultas setelah selesai kelas. "Dulu gue pernah ngeluh 'mau nikah aja' saking banyaknya tugas kuliah. Eh, ternyata mau nikah doang harus seribet itu?"
"Hmm.. Gimana ya, Bi?" Anggun berpikir. Ia sedang memilih kalimat yang tepat agar Rubi tidak salah paham. "Kakak perempuan gue santai banget waktu pacaran sama cowoknya. Tapi obrolannya mulai serius pas membicarakan pernikahan. Mereka saling diskusi tentang aturan setelah menikah. Misalnya kakak gue nggak boleh lagi jalan berdua sama teman laki-lakinya. Jadi, si Ardiono ini nggak salah-salah banget."
Rubi mengangguk paham. "Iya sih, dia juga bilangnya karena gue belum pernah nikah, pasti belum tau. Makanya dia tulis semua itu biar gue paham."
Mata Anggun masih fokus membaca kertas yang berada di tangannya. "Menurut gue nggak ada yang ngerugiin elo di sini, Bi. Malah hidup lo bakal enak dan terjamin walaupun harus urus anak, belajar dan ke kampus ya. Tinggal lo atur aja jadwalnya dan nikmatin alurnya."
"Kenapa hidup gue nggak pernah mudah ya, Nggun?" Rubi kembali mengeluh.
"Hussh! Pamali. Jangan ngomong sembarangan." Anggun mengibaskan kertas ke depan muka Rubi. "Kalau kata nyokap gue, hal-hal kayak gini namanya ujian perasaan, Bi. Ujian perasaan gue adalah dapet nilai B- syukur-syukur dapat A. Terus juga harus puas dengan IPK 3.1 doang. Nah untuk lo, ujian perasaannya ya ini."
"Tetep aja ujian lo lebih dikit." Rubi memutar kedua matanya.
"Aduuuh Rubiii, mood lo jelek banget ya habis ketemu Ardiono. Orangnya asik nggak sih?"
"Menurut looo??" Rubi ngegas.
Anggun terkekeh, "menurut gue, tanda tangan aja, Bi."
Zzzt.. Zzzt..
"Wa'alaikumsalam, kenapa Mas?" Jawab Rubi ketika Raden menelfonnya. "Belum mas."
Dahi Rubi mengernyit dan bertanya, "malam ini? Hmm.. Ya, boleh deh. Oke sampai jumpa. Wa'alaikumsalam."
"Kenapa?" Muka Anggun penasaran.
"Benar saja, dia nanya tentang kertas sialan ini."
"Hushhh Ubi. Sudah, jangan marah-marah. Ini bukan Rubi yang gue kenal." Anggun menenangkan. "Lo tanda tanganin aja dulu, Bi."
"Masalahnya, Nggun. Gue belum tau kenapa dia menduda." Jawab Rubi sambil menggigit bibir bawahnya.
Anggun memukul meja kantin lumayan kencang. "Damn! Sial! Iya juga, Bi. Gue nggak kepikiran."
Rubi menarik napas dan membuangnya dengan kasar. "Oke lah. Gue tanya dia dulu nanti."
"Dia ngajak ketemu?"
"Yup. Makanya Mas Raden nelfon gue tadi."
Yang dikatakan Anggun memang benar. Rubi jarang sekali berkata kasar. Sesulit apapun kehidupannya, ia berusaha mencari jalan keluarnya.
Kemarin, sekembalinya ke kosan setelah bertemu Ardiono, ia menangisi nasibnya. Ia tidak pernah mendapatkan bimbingan kehidupan setelah ibunya meninggal. Semuanya serba ia putuskan seorang diri. Untungnya, segala sesuatu berjalan sesuai dengan keinginannya.
Hingga Ciptahadi Foundation memberhentikan beasiswanya tanpa alasan yang jelas. Walaupun lagi-lagi ia beruntung, karena di hari yang sama, Ardiono Bameswara sedang mencari seorang istri. Tapi, tetap saja Rubi takut.
Apakah Ardiono orang yang baik? Apa penyebab ia menduda? Apakah pria itu bisa mencintai dan melindungi Rubi? Apakah anak-anak dan orang tua Ardiono bisa menerima kehadirannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sebentar
RomanceArdiono Bameswara memerintahkan orang kepercayaannya untuk memasang pamflet dengan judul "Dicari Calon Istri dengan IPK Cumlaude." Rubi Albarsya terkejut ketika mengetahui beasiswa yang selama ini ia dapatkan setiap bulan tiba-tiba saja diputus. Ard...