09 - Ardiono Mengamuk

7K 489 3
                                    

"Namanya Andanu, umur 23 tahun, akan di wisuda tahun ini dan benar dia anggota klub photography Fakultas MIPA." Jelas Raden. "Dari info yang aku dapat, mereka memang berteman. Cuma ada beberapa sumber bilang, kayaknya Andanu yang suka Rubi tapi Rubi menanggapinya hanya sebatas sopan santun terhadap senior saja."

"Tadi info dari klub, sekarang beralih ke teman seangkatan Rubi." Raden masih fokus membaca melalui layar iPad-nya. "Rubi nggak pernah punya pacar. Teman belajar kelompoknya anak-anak dengan IPK cumlaude, di antaranya Raza, Eka, Taufan, Anggun dan Sasa. Sahabat Rubi cuma Anggun dan IPK-nya dia doang yang nggak cumlaude."

"Banyak senior di FMIPA yang ngejar-ngejar Rubi. Tapi dua senior yang masih gigih ngejar sampai sekarang namanya Satriyo dan Bima."

Seperti biasa, Raden selalu bisa diandalkan. Awalnya Ardiono hanya ingin tahu tentang Danu, tapi sekarang malah dapat dua nama baru.

Ardiono menundukkan kepala ketika mendengar penjelasan Raden. Jari telunjuknya ia letakkan di pelipis kiri. Kaki kanannya dihentakkan ke lantai berkali-kali tanda kekesalannya telah memuncak.

Tidak pernah terlintas di pikirannya kalau mungkin saja Rubi memiliki kekasih atau laki-laki yang sedang berharap padanya.

Ternyata, pernah dikhianati sekali, tidak lantas membuat Ardiono lebih pintar. Ia lagi-lagi hampir kecolongan.

"Jadi gimana? Aku ikutin mereka?" Tanya Raden setelah selesai dengan laporannya.

Ardiono mengangguk. "Saya akan ajak Nissa dan Candra untuk meeting sama Pak Husen."

"Aku boleh menyuarakan aspirasi, Di?" Raden tertawa kecil dengan ucapannya sendiri. "Hahaha, aspirasi banget nggak tuh."

"Ya. Apaan?" Ardiono memasukkan laptop ke dalam tas.

"Menurut aku lah sebagai seorang laki-laki, Rubi bukan perempuan yang kegenitan." Wajah Raden menunjukan rasa sungkan. "Kalau aku boleh memuji calon isterimu, dia memang cantik, tapi dia nggak memanfaatkan kecantikannya untuk menarik perhatian laki-laki. Aku cuma takut kamu berpikir yang negatif."

"Bukannya dulu kamu bilang, kalau saya nggak cocok sama Rubi tinggal pilih kandidat yang lain?" Ardiono mengingatkan Raden atas pernyataannya dua minggu yang lalu.

"Dari segi karakter, Rubi cocok menghadapi kamu." Raden berubah serius. "Rubi itu kayak bunglon. Dia tau kapan harus tegas dan berlemah lembut. Lagi-lagi aku pakai instinct karena sudah terbiasa bertemu klien."

Mendengar itu, tangan Ardiono terkepal. Ingatan tentang Sekar melintas di benaknya. Mantan istrinya juga tidak pernah berusaha menarik perhatian dirinya maupun pria lain. Ia begitu bersahaja. Ia tahu apa yang boleh dilakukan dan mana yang tidak.

Banyak doa-doa baik diucapkan kepada Ardiono dan Sekar ketika mereka baru berumah tangga. Tapi setelah menikah, siapa yang menyangka? Setan jadi lebih rajin menggoda.

Mereka diuji dengan kecelakaan yang menimpa Ardiono. Pria itu terpuruk. Lebih sering mengurung diri. Sibuk menyalahkan takdir Tuhan.

Orang-orang terdekat gagal untuk membesarkan hatinya.

Puncaknya, sang istri tidak lagi mendapatkan perhatian yang sepantasnya ia terima. Sekar mulai mencari kenyamanan di pelukan pria lain.

Anak-anak merasa asing berada di dekat kedua orang tuanya yang tidak pernah benar-benar hadir.

Hingga, pernikahan itu pun perlahan runtuh. Berantakan. Tidak menyisakan apapun kecuali kenangan.

Ardiono tidak menyesalinya. Dengan begitu, ia sadar siapa yang masih berada di sisinya ketika badai memporak porandakan semuanya dan siapa yang pergi tanpa bersusah payah memperbaiki keadaan.

Bukan SebentarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang