46 - Dilema

4.2K 400 12
                                    

Delapan Bulan Kemudian

"Bi, itu om lo?"

Pertanyaan tersebut diajukan oleh teman angkatannya, Ikhsan, lima bulan yang lalu.

Rubi tentu saja tersedak mendengarnya. Tapi ia berjanji pada diri sendiri untuk mulai mengatakan yang sebenarnya. Pernikahan. Anak-anak. Tidak ada yang Rubi kurang-kurangi.

Awal mula kejadian tersebut karena Ardiono yang semakin protektif sekembalinya mereka dari honeymoon. Mulai dari mengantar, menjemput bahkan sampai menemaninya kerja kelompok di sebuah cafe, walaupun duduk di meja yang berbeda, tapi tetap saja mengundang rasa penasaran teman-temannya. Dan di situ lah, pertanyaan horor tersebut akhirnya diajukan.

Setelah peristiwa itu, berita kalau Rubi sudah menikah tersebar. Banyak yang bertanya-tanya alasan mengapa ia tidak bisa menundanya sampai lulus kuliah.

Bahkan, dugaan kalau dirinya MBA (Married by Accident) pun sempat santer menjadi topik panas yang diperbincangkan kampusnya.

Rubi sebisa mungkin tidak marah dengan isu miring tersebut karena ada lagi yang lebih meresahkan. Senior-senior yang belum pernah mengetahui wajah Ardiono mulai mengulik data diri suaminya itu.

Hingga, seorang kakak tingkat mengaku pernah juga mendaftar jadi istrinya karena membaca sayembara di mading fakultas! Mereka mulai menginterogasi Rubi bagaimana akhirnya ia yang dipilih. Sejujurnya, Rubi juga tidak tahu. ia tidak pernah narsis dengan bertanya pada Ardiono perihal itu.

Karena overthinking, langsung deh Rubi bertanya pada Ardiono tentang perkiraan berapa jumlah perempuan yang mendaftar, yang ditolak sampai alasan pemilihan dan penolakan mereka. Terlebih lagi, seniornya ini super cantik, walaupun Rubi yang tercantik dan sudah aman menjadi pilihan Ardiono, tapi dirinyaa tetap menuntut jawaban dari sang suami.

"Kalau udah cocok ya memang gitu, Bi. Nggak butuh alasan yang gimana-gimana. Nggak semua hal butuh alasan juga."

Ya benar juga sih. Toh selama ini mereka baik-baik aja.

Seiring berjalannya waktu, masa-masa genting rumah tangganya dan gosip di kampus berhasil mereda. Tapi, bukan Rubi namanya kalau hidup tanpa ujian, bukan?

Sekarang, KKN sudah berlangsung selama dua bulan. Sesuai rencana dan diskusi dengan Ardiono, Rubi memilih penempatan di daerah Wijilan, Jogja sehingga ia tetap bisa berkunjung ke rumah ketika tidak menjalankan program, walaupun tidak sebebas yang ia pikirkan, paling tidak tanggung jawabnya untuk suami dan anak masih bisa dijalankan.

Tapi, sudah beberapa hari terakhir nyeri di tubuhnya semakin menjadi. Mencium aroma bawang pun ia mual. Bu Retno, wanita paruh baya yang rumahnya ditempati mahasiswa KKN, pun inisiatif membelikannya test pack pagi ini.

Tanpa diduga, hasilnya membuat Rubi gemetar. Ia berulang kali membaca petunjuk di balik kemasan untuk lebih memastikan. Bagaimanapun juga ini pengalaman pertamanya.

Rubi memejamkan mata. Mencoba menarik napas dan menghembuskannya pelan. Ia meremas ujung kaos yang dipakai.

Secepat ini? Gumamnya tidak percaya.

Oke kalau mau dihitung, hampir setahun Rubi menikah. Jadi tidak cepat-cepat sekali. Tapi tetap saja...

"Gimana, Bi hasilnya?" Tanya Bu Retno dari luar pintu yang sedang menunggu dengan beberapa teman perempuan lainnya.

Rubi menengadahkan kepala, melihat langit-langit kamar mandi seraya berucap dalam hati, mau bagaimana lagi? Memang pada akhirnya begini kan?

"Bi? Kamu nggak kenapa-kenapa kan?"

Bukan SebentarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang