"Rubi." Panggil Ardiono ketika mereka sedang sarapan di Hotel Kempinski.
Rubi mendongak sambil memotong pancake dengan topping strawberry dan cream. "Apa?"
Ardiono tertawa kecil membuat sang istri mengerutkan dahi. "Kayaknya kamu harus ganti cara menjawab panggilan saya deh."
"Maksudnya?"
"Ya jangan apa doang, tapi apa, Mas? Gitu." Ardiono memberi contoh.
Rubi menutup mulut karena kini wanita itu tertawa dengan puasnya. Bener-bener deh suami gue. Kemarin lagi nyebrang jalan malah nanya mau anak berapa. Sekarang, soal sapaan, harus banget lagi sarapan nanyanya? Kan enaknya di kamar ya, bun sambil pelukan. Pikirnya.
"Emang kenapa sih? Nggak enak didengar ya?"
"Memangnya kamu mau hubungan kita gini-gini aja?" Tanya Ardiono. "Kamu ngerasa nggak sih kalau kita tuh dingin banget?"
Rubi juga merasakan apa yang Ardiono rasakan. Mereka tidak pernah pegangan tangan. Mungkin Ardiono tipe yang lebih suka merangkul pinggang? Karena itu yang kerap pria itu lakukan. Pelukan sebelum tidur pun Rubi yang memulainya duluan. Untungnya, Ardiono tidak menolak dan membalas pelukan tersebut.
Kalau bukan karena kesibukannya menjadi mahasiswi sekaligus seorang ibu, pasti ia akan kepikiran. Kenapa suami gue nggak genggam tangan gue kalau lagi di mall? Atau, kenapa suami gue nggak ada romantis-romantisnya?
Tapi Rubi mengabaikan semua pikiran negative tersebut karena ia yakin, Ardiono akan membicarakannya suatu saat nanti. Dan hari itu datang di pagi ini.
"Saya juga ngerasain hal yang sama."
Ardiono mengelap sudut bibirnya dengan tisu. "Kamu mau nggak kalau kita mengubah beberapa hal di pernikahan ini?
Rubi mengangguk. "Apa saja?"
"Jangan pakai panggilan saya lagi. Biasakan dengan aku."
"Ada lagi, Mas?" Rubi mulai mempraktikannya dan membuat Ardiono malu. Gemes banget sih. Erang Rubi dalam hati.
"Seperti yang saya pernah bilang.." Ardiono kembali menahan senyumnya. "Seperti yang pernah aku bilang..."
Belum selesai Ardiono berbicara, Rubi tertawa karena kesalahan sang suami. "Tuh kan susah tau aku-kamuan." Ia menatap jenaka Ardiono. Lalu menutup mulut dengan satu tangan. "Maaf, lanjut."
"Seperti yang aku pernah bilang, kamu itu ngomong Mas kalau ada maunya atau memang lagi meledek aku. Begitu pun kalau manggil ayah, hanya di depan anak-anak saja." Jelasnya. "Jadi, aku mau, pelan-pelan kita punya panggilan untuk satu sama lain."
"Oke. aku ke kamu, Mas. Kamu ke aku apa?"
"Bunda." Jawabnya cepat.
"Nggak mau." Tolak Rubi. "Itu kan kalau ada anak-anak."
"Ya samain aja, biar nggak ganti-ganti." Ardiono menggampangkan.
"Enak aja! Nggak bisa!"
***
"Ya udah. Kamu mau dipanggil apa? Teteh?" Ardiono memberikan pilihan.
Rubi memukul meja. "Ish! Aku bukan orang sunda."
"Dek?"
"Kamu bukan pria berseragam!" Rubi terbahak selepas mengatakan kalimat yang Ardiono tidak pahami itu.
"Maksudnya? Aku nggak ngerti."
"Itu loh, ada lelucon di zaman sekarang kalau pria-pria berseragam, katakanlah anak akpol atau akmil, kalau ngajak kenalan pasti kalimat sapaannya halo dek."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sebentar
RomanceArdiono Bameswara memerintahkan orang kepercayaannya untuk memasang pamflet dengan judul "Dicari Calon Istri dengan IPK Cumlaude." Rubi Albarsya terkejut ketika mengetahui beasiswa yang selama ini ia dapatkan setiap bulan tiba-tiba saja diputus. Ard...