14

722 67 10
                                    

Hari senin ini Juan masuk sekolah seperti biasa. Setelah minggu libur maka senin masuk. Kelasnya belum banyak orang. Dia duduk di bangkunya. Kemudian melamun.

Kenapa melamun? Dia sedang bertanya dengan pikirannya Peixin menghindarinya. Juan tebak karena ciuman yang mendadak minggu lalu. Juan akui jika dia mencium anak itu dadakan. Setelah itu dia melihat gurat kecewa di mata Peixin. Jadi menyesal melakukannya.

Ini karena otaknya yang tiba-tiba terus berfokus pada bibir Peixin. Setiap melihat bibir ceri itu dia ingin menyentuhnya. Melumatnya hingga bengkak.

"Sialan." Umpat Juan kesal. Lebih baik dia tidur di kelas sebelum pelajaran di mulai.

♥️♥️

Istirahat pun tiba, Juan sengaja berjalan di lorong siapa tahu bertemu Peixin. Kakinya terus mengelili lantai dua itu berharap matanya menangkap batang hidung remaja berbibibir ceri.

Tuhan pun baik mempertemukannya dengan Peixin di taman belakang sekolah. Namun sepertinya Juan melihat Peixin yang berdiri di depan Yuan bersama teman-temannya. Nampak gelisah dan panik.

Secepat kilat dia berlari ke taman belakang berharap Peixin baik-baik saja. Setelah tiba disana dia hanya melihat Peixin yang tertunduk.

"Qi Peixin! Hei. Ada apa?"

Saat mendengar namanya dipanggil, Peixin mendongak. Memperlihatkan bagaimana hancurnya wajah manisnya. Bibir berdarah dan lebam di pipi juga pelipis.

"J-juan."

"Kau kenapa?!"

Bruk

Juan panik melihat Peixin pingsan. Dengan tergopoh-gopoh dia masuk ke uks. Disana dia melihat ada guru yang piket. Dia meletakkan Peixin di bankar.

"Dia kenapa?"

"Aku tidak tahu. Aku menemukannya sudah begini." Juan.

Guru wanita itu memeriksa keadaan Peixin. Kemudian memberitahu jika Peixin tidak apa-apa sebentar lagi akan sadar. Juan akhirnya bisa bernafas lega.

"Terima kasih."

"Kau kembalilah ke kelas."

Juan merengut, "Tidak bisakah aku disini?"

"Baiklah. Jika dia sadar minta dia minum air ini." Guru itu meletakkan minuman di nakas. Juan pun mengangguk. Kemudian dokter itu pergi karena urusan. Iya agar tidak mengganggu.

Lama Juan menunggu sampai remaja itu terbangun. Mengerjapkan matanya beberapa kali. Dengan hati-hati Juan membantunya duduk dan mengambilkan air minum.

"Minumlah."

Peixin menatap sekilas Juan lalu menerima airnya. Dia meminum hingga tandas. Setelahnya tidak ada percakapan. Hanya ruangan sunyi yang menemani. Sejak tadi Juan memerhatikan wajah lebam dan bibir manis itu yang pecah. Rasa iba pun menyeruak di hatinya.

"Yuan yang melakulannya?" Tanya Juan yang melihat Peixin menunduk. Juan juga mau mengintipnya.

"Ya." Peixin bersuara serak ingin menangis.

"Anak itu harus diberi pukulan." Juan pun meradang. Bukannya dia takut dikeroyok selama ini. Dia hanya tidak mau menambah beban pikiran Xiao Zhan tapi jika sudah seperti ini entah kenapa dia mau mencari masalah dengan Yuan.

"Juan, tidak usah." Peixin menarik tangan Juan.

"Kau tidak lihat dengan perundungan yang dia lakukan? Ha? Kau tidak paham selama ini dijadikan dia alat? Sadarlah Peixin!" Teriak Juan membuat Peixin mengalihkan pandangannya.

Peixin enggan menatap Juan yang marah padanya. Sudah cukup setiap malam ayahnya datang ke kamar dan memarahinya. Tanpa sadar tetesan air matanya turun membanjiri pipinya.

[END] Little Whoreson S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang