Bab 36

351 43 7
                                    

Nggak kerasa sebentar lagi cerita ini selesai, bagaimana endingnya? Ikuti aja ya tinggal 4 atau 5 bab lagi, abis itu ada ekstra part...

Boleh mampir ke cerita saya yang sudah selesai di Run to You atau yang lagi on going Hidden Evidence, cerita dengan genre kriminal roman


Secara teori perjalanan dari tempat kosku ke kantor hanya 30 menit, 20 menit di kereta, 10 menit jarak dari stasiun ke kantor ditempuh dengan ojek online, tapi kenyataannya bisa satu jam. Menunggu kereta, antrian keluar stasiun, menunggu ojek online, dan kepadatan jalan yang membuat jarak dari stasiun ke kantor yang harusnya 10 menit bisa jadi 15 sampai 20 menit. Aku juga harus prepare waktu untuk sarapan di pantry, jadi walaupun jam kerjaku mulai jam 8.30, aku berangkat dari kost an pukul 6.30. Jarak kost anku ke stasiun bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Jakarta memang keras untuk pekerja kelas menengah seperti kami, nggak heran demi kenyamanan para pekerja kelas atas, para bos-bos, memilih menggunakan kendaraan pribadi walaupun harus bermacet-macetan. Ya macet, tapi kan duduk nyaman, adem karena AC, bisa sambil ngemil, itu yang kurasakan waktu nebeng pulang mobil bosku Bu Amel, waktu dia pulang ke BSD ke rumah orang tuanya.

Setelah berjibaku dengan di KRL dan kemacetan, aku sampai di lantai 12, di mana kantorku berada, dan langsung menuju pantry. Apalagi kalau bukan untuk sarapan. Sebagai anak kos, aku biasanya membeli sarapan di perjalanan, di stasiun atau kantin yang tidak jauh dari kantor. Atas rekomendasi Pak Arlan, aku mencoba ketupat sayur padang yang dijual tidak jauh dari gedung kantor. Aromanya menguar, begitu bungkusnya aku buka dan dipindahkan ke mangkuk.

"Beli di mana Yu, kayaknya enak," ujar Riana dengan hidung mengendus-endus. Dia tengah mengaduk-ngaduk kopi.

"Di deket kantor yang pernah dibilang Pak Arlan, mau nyoba mba," tawarku. Riana terlihat bimbang, sepertinya ingin nyoba tapi malu. Aku ambilkan mangkuk di kabinet dan mengisinya dengan lontong sayurku.

"Jangan banyak-banyak Yu, aku pengen nyoba aja, penasaran, kalau enak, nanti titip," katanya lalu menerima mangkuk. Kami duduk berhadapan di meja makan pantry. Karena masih terbilang pagi, pantry masih sepi.

"Ehm, beneran enak, rasa MSG nya nggak terlalu tajam," komentar Riana setelah menyuap ketupat sayur. Aku menggaguk, mengiyakan pendapatnya.

"Pulang jam berapa kamu kemarin?" tanya Riana setelah beberapa saat kami saling diam menikmati ketupat sayur padang yang rasanya memang enak.

"Jam 8."

"Malam juga ya. Memang QA ngerelease produknya jam berapa?"

"Jam 7, katanya ada trouble di QC." Produk harus di release sesuai planning, kalaupun ada masalah selama bisa diselesaikan hari itu, ya harus hari itu. Begitulah cara kerja pabrik, mengejar target produksi, agar penjualan dan keuntungan sesuai target. Dan ini perpengaruh pada bonus tahunan kami. Keuntungan besar, bonus karyawan juga besar.

Jujur, di bulan-bulan pertama bekerja di sini, aku terseok-seok dengan ritme kerjanya, harus sat-set tapi compliance – sesuai SOP, stres dengan teguran leader, jantungan lihat Pak Bram marah saat meeting. Di luar itu aku mengalami culture shock dengan gaya hidup beberapa teman kantor, ada yang tinggal bareng seunit apartemen dengan pacar, malam mingguan ke kelab malam sampai pagi, aku menelan ludah mengetahui harga tas-tas yang dipakai teman kantor. Fenomena pergaulan modern ini tidak hanya terjadi di Jakarta, juga kota lain, tapi baru di Jakarta aku berinteraksi langsung dengan pergaulan semacam ini, rasanya sik sak sok. Mungkin karena aku anak daerah – anak kampung, yang terbiasa serba biasa, seadanya, manut pada aturan norma sosial, mencari ketenangan dan ketentraman dalam keheningan.

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang