Bab 38

612 69 9
                                    

Makasih yang masih setia menunggu kelanjutan cerita ini. 

Part Aryo yang bikin kesel karena menggalau melulu, nggak punya nyali...

POV Aryo 

Ingatan tentangnya belum benar-benar hilang dari benakku tapi aku yakin seiring waktu akan hilang, terlebih aku menghindari mengingat-ngingatnya dengan cara menenggelamkan diri dalam kesibukan. Tapi dugaan Andre jika aku patah hati karena kepergiannya, sangat menganggu. Tidak bisa dipungkiri kehadirannya mengubah banyak hal, berada di dekatnya, aku menjadi mudah tersenyum, merasa lega, nyaman dan tidak memikirkan kekuranganku.

Aku tidak tahu kapan rasa suka itu mulai muncul, yang pasti puncak kekesalanku padanya terjadi saat dia bersedia menggantikan Pak Rahman untuk mengantar terapi atas permintaan Ibu. Jadi saat dia datang dengan senyum ramah dan ceria sambil mengucapkan selamat pagi, kekesalanku rasanya berlipat ganda. Kok bisa dia datang tanpa raut wajah keberatan dengan permintaan Ibu?

Dia mengabaikan sikap ketusku. Sampai rumah sakit perlakuannya tidak berubah, tidak nampak canggung atau malu membersamaiku, malah menawarkan diri menemani. Padahal aku mengharapkan dia menunjukkan rasa tidak suka dengan begitu aku punya alasan untuk melampiaskan kekesalan padanya.

Di hari pertama bekerja dia menatapku dengan penuh rasa ingin tahu yang membuatku risih, selanjutnya dia selalu menatapku dengan tatapan penuh pengertian walaupun aku menampakkan sikap ketus. Setelah menguping percakapannya dengan Andini aku jadi tahu alasannya, dia kasian dan takut aku stres. Aku dikasihani karyawanku sendiri? Menjengkelkan walaupun terdengar lucu.

"Yo, nyobain nih, alpukat mentega." Ibu tiba-tiba sudah duduk disampingku, menyodorkan piring berisi alpukat yang sudah terbelah dua, dagingnya kuning dan tebal. Aku menurunkan tablet dan meletakkannya di meja, menghentikan aktivitas membaca berita ekonomi, yang sebenarnya tidak bisa fokus aku baca. Ini hari Sabtu, di mana aku menghabiskan waktu di teras belakang rumah dengan santai. Sudah beberapa hari Ibu dan Bapak berada di sini – Rumah Yogya, tepatnya sejak Bapak kontrol ke rumah sakit dua hari lalu. Ibu dan Bapak lebih sering di rumah Klaten setelah Bapak stroke.

"Dulu almarhum Pak Eko suka ngirim, tiap pohonnya berbuah, alpukat kesukaan Bapak ini." Ibu meletakkan sendok kecil di piringku.

"Almarhum Pak Eko siapa?" Aku menyuap alpukat itu, rasanya legit dan gurih.

"Bapaknya Ayu. Kemarin Mbok Anah pulang, ketemu Ibunya Ayu, dititipin ini buat Ibu." Ya, aku tahu Bapaknya dulu salah satu karyawan kepercayaan Ibu tapi aku sendiri tidak tahu yang mana karena  dulu tidak menaruh perhatian pada usaha Ibu.

"Nah, kapan katanya si Ayu manten?" Ibu menoleh, melewati daun pintu, ke arah Mbok Anah yang tengah menyiapkan sesuatu di meja makan, mungkin makan siang.

Pertanyaan Ibu seketika membuat jantungku seperti berhenti berdetak untuk sesaat.

"Belum tahu Bu, belum ada calonnya."

Aku menghembuskan nafas lega.

"Lho, bukannya pacarnya itu teman kuliahnya yang kerja di Jakarta."

"Sudah lama putus Bu, sebelum Ayu kerja di Jakarta. Namanya hubungan jauhan Bu, banyak godaan. Ayu nungguin di sini bertahun-tahun dari masih kuliah, eh pacarnya punya pacar lagi di Jakarta."

Aku mendengarkan percakapan itu dengan seksama.

"Kalau begitu ngapain Ayu jauh-jauh kerja di Jakarta."

"Cari pengalaman mungkin Bu, sekalian cari jodoh."

"Cari pengalaman sama cari jodoh kok jauh-jauh," ujar Ibu dengan nada menggerutu. Ibu sepertinya masih menyimpan kekesalan pada Ayu. Pengajuan resign Rahayu memang membuat Ibu kesal dan kecewa. Ibu sangat berharap Ayu bisa seperti Bapaknya, seseorang yang bisa dipercaya bekerja di perusahaannya sampai pensiun. Ibu lupa dengan kenyataan Ayu memiliki jenjang pendidikan tinggi yang membuatnya memiliki pilihan untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik, pekerjaan yang ada jenjang karirnya. Aku berkata pada Ibu, mungkin saja salah satu alasan dia resign karena kerap diminta tolong di luar pekerjaan kantor. Dengan enteng dan tanpa rasa bersalah Ibu menjawab,"Tapi kan Ibu minta tolong, lagipula tidak  tiap hari."

"Tapi pekerjaan Mba Ayu di Jakarta sekarang enak Bu, kemarin aja kata Ibunya, Mba Ayu tugas ke Singapore buat training."

"Syukurlah kalau pekerjaannya bagus." Ibu kembali fokus pada alpukat di piring sebelum dering telepon mengalihkan perhatiannya. "Waalaikumsalam. Iya, Jeng. Nggak apa-apa. Iya. Ditunggu ya." Lalu Ibu menutup telepon dengan wajah sumringah.

"Pakde Rudi sebentar lagi sampai, Ibu siapin Bapak dulu." Ibu beranjak dari kursi dan berlalu.

Mungkin kerabat atau teman yang mau menjenguk Bapak.

"Nyicipin nih Mas, kuenya." Mbok Anah meletakkan piring kecil ke meja berisi dua potong keik coklat.

"Bikin Mbok?" Aku mencomot kue itu dan menggigitnya.

"Nggaklah mana bisa si Mbok bikin ginian, Ibu pesan ke Bu Mia, untuk suguhan tamu."

"Pakde Rudi teman Bapak?"

"Masih kerabat Bapak kalau nggak salah tapi jauh. Memangnya Ibu nggak cerita?"

"Cerita apa?"

"Kalau anak gadis Pakde Rudi mau..." Mbok Anah menggantungkan kalimatnya, dia menoleh ke dalam sekilas sebelum melanjutkan dengan suara lebih pelan,"Dikenalin sama Mas Aryo." Aku tahu maksud dikenalkan yang dikatakan Mbok Anah.

Aku menelan potongan keik dengan susah payah. "Tidak ada yang salah dengan perjodohan bukan?" ucapku pada Andre beberapa waktu lalu, tapi kini rasanya serba salah, setelah mendengar percakapan Mbok Anah tentang Rahayu.

Mbok Anah berlalu dari hadapanku. Hari yang tadinya kupikir akan menenangkan jadi terasa mumet. Aku memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengosongkan pikiran. Semilir angin mengusap lembut mengantarkan rasa kantuk. Aku menguap, tubuhku terasa lemas...

"Yo, ketemu dulu sama Pakde Rudi sebentar." Suara Ibu memaksaku membuka mata dan menoleh, Ibu sudah berdiri di ambang pintu.

"Memang penting ya, Bu?"

"Ya penting ketemu saudara, menjalin silaturahmi. Sebentar aja kok."

Dengan enggan aku mengikuti langkah Ibu menuju ruang depan.

Sepasang suami istri yang kutaksir seusia Ibu dan Bapak, lelaki muda usia anak sekolah, dan perempuan muda berjilbab pink, kalau kulihat dari wajahnya, kutaksir dia seusia Andini, salah satu karyawanku.

Aku mengulas senyum, menyalami semua lalu duduk.

"Kita ketemu Pakde Rudi kalau lebaran di rumah si Mbah. Kalau nggak salah anak sulungnya Pakde Rudi satu SMA sama kamu."

"Iya Raditya," ujar istri Pakde Rudi dengan senyum ramah.

Aku hanya mengangguk tak berusaha mengingat-ngingat, sedikit sekali teman SMA yang kuingat.

"Ini Nisa anak kedua dan ini Radika, anak paling kecil Pakde Rudi." Ibu menunjuk dua anak Pakde Rudi.

Gadis itu menatapku dengan terkejut lalu sorot matanya berubah jadi menyiratkan rasa takut.

Apa aku terlihat menakutkan?

"Nisa ini baru lulus kuliah Yo, jurusan administrasi." Terang Ibu bersemangat. "Ibu bilang kalau mau, bisa bekerja di kantor kita, hitung-hitung cari pengalaman."

Aku tidak menanggapi perkataan Ibu. Jika saja Mbok Anah tidak memberitahukan pertemuan ini adalah taktik Ibu untuk menjodohkan aku, mungkin aku akan menerima ide Ibu, hitung-hitung membantu kerabat. Aku memperhatikan gadis itu, yang masih menatapku dengan takut-takut.

Mungkin aku di luar ekspektasi gadis itu, jadi dia shock mendapati lelaki yang jadi pilihan orang tuanya ternyata berjalan menggunakan tongkat dan berusia awal 30 an, tentu usia tua untuk gadis seusianya. Bukan pangeran tampan muda, dengan tubuh tinggi tegap sempurna, berkulit putih, seperti aktor Korea, sosok yang digandrungi banyak gadis seusianya saat ini.

Ya, tidak ada yang salah dengan perjodohan tapi jika situasinya seperti ini, aku jadi merasa seperti lelaki tua yang tidak tahu diri karena menginginkan gadis muda. Padahal aku belum tua, tahun ini usiaku 31 tahun. 


Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang