Halo teman-teman yang masih mengikuti cerita ini, mau donk vote komen atau follownya hehehe.
POV Aryo, dua tahun lalu
Aku tidak pernah berpikir berapa banyak kebaikan yang sudah aku lakukan, berapa banyak perbuatan buruk yang aku lakukan, dan apa ibadahku sudah cukup baik? Aku bukan orang yang religius tapi bukan juga orang yang tidak merasa bersalah jika melanggar aturan Tuhan. Aku percaya Tuhan, percaya kehidupan setelah kematian tapi tidak pernah benar-benar memikirkannya, sampai tiba di titik berada diantara hidup dan mati. Aku takut mati karena dosaku tidak sedikit, tapi juga takut menghadapi hidup yang tidak akan lagi sama.
Hari kesekian aku terbaring di kamar sebuah rumah sakit dengan banyak peralatan medis menempel pada tubuh, bukan hanya selang infus dan selang oksigen. Terpasang sejumlah peralatan dari steinless steel dengan bentuk pipa di kaki. Rasa sakit pada beberapa bagian tubuhku terasa menyengat, hingga harus menahan nafas untuk menahan sakitnya.
Obat penahan sakit tidak bekerja 24 jam penuh. Aku tidak berani bertanya kapan pengobatan ini akan berakhir, kapan pulang. Aku juga tidak berani menduga-duga akan berapa lama waktu yang akan dihabiskan di rumah sakit ini, takut membayangkan seperti apa kehidupanku setelah ini. Ya, semua tidak akan lagi sama, seperti juga fisikku yang tidak lagi sama. Apapun tentang hari esok menjadi hal menakutkan untuk dibayangkan.
Beberapa kali aku kehilangan kesabaran, rasa putus asa yang terasa mencekik hingga ingin mengakhiri semua. Hanya ingatan akan dosa yang membuatku tidak nekad mengakhiri hidup. Ketika mendengar Ibu dan Bapak berkata, betapa mereka bersyukur bahwa kecelakaan ini tidak merenggut nyawaku, aku menyesal kenapa tidak sekalian saja Tuhan mengambil nyawaku.
Masa depanku rasanya gelap seperti juga kisah asmaraku yang kandas karena kecelakaan ini. Aku mengerti jika Lita memilih pergi. Apa yang diharapkan dari lelaki cacat sepertiku. Sejujurnya, hati kecilku pernah berharap Lita tidak mundur tapi memberi semangat untuk bangkit.
"Kita akan mencari pengobatan terbaik, Yo. Mba Anti sudah mencari informasi rumah sakit di Singapore yang bisa menangani ini. Ibu yakin kamu bisa melalui ini, bisa seperti sedia kala." Ibu menggengam tanganku dengan erat dan mengembangkan senyum menenangkan. Bapak mengusap-ngusap bahuku dengan sorot mata menguatkan.
Keadaan yang membuat malu karena aku nampak seperti anak kecil yang tidak berdaya. Aku merasa asing pada diri sendiri.
Pada hari kesekian – tidak mau menghitung berapa lama berada di rumah sakit – aku dipindahkan ke sebuah rumah sakit di Singapore. Melakukan konsultasi mengenai beberapa alternatif perawatan yang bisa dipilih untuk meminimalisasi akibat kecelakaan. Dokter mengatakan, alternatif pengobatan atau operasi manapun yang aku pilih tidak akan mengembalikan fungsi kakiku hingga 100%. Hanya karena ingat, aku adalah lelaki, yang membuatku menahan diri sekuat mungkin untuk tidak menitikkan air mata. Sebagai lelaki pantang bagiku menangis. Bagiku menangis berarti kalah dan aku tidak mau kalah.
Dokter tidak membicarakan berapa biaya yang harus aku keluarkan, pasti Bapak yang melarang dokter membicarakan itu denganku. Aku tahu, Bapak dan Ibu akan mengusahkan pengobatan yang terbaik walaupun untuk itu mereka akan kehilangan harta bendanya. Ingatan itu membuat aku merasa menjadi orang yang tidak berguna, di saat seharusnya berbakti pada mereka, malah menjadi beban.
Aku menghabiskan hari-hari - yang tidak mau aku hitung – dengan rasa bosan, putus asa, dan takut. Rumah sakit menyediakan sesi konsultasi dengan psikolog agar kesehatan mentalku tidak terganggu, tapi tetap saja rasa putus asa, frustasi dan takut itu, tidak bisa lenyap dari benakku.
Aku juga merasa kesepian. Dengan berlalunya waktu, jumlah pesan yang dikirim teman-temanku yang menanyakan kabar atau sekedar menyapa, berkurang hingga akhirnya benar-benar hilang. Hanya Andre yang tetap mengirimi pesan, bahkan beberapa kali datang ke Singapore untuk menjenguk. Hubungan kami sebagai sepupu memang dekat, kami bersekolah di SMA yang sama, kuliah di universitas yang sama tapi berbeda jurusan.
Setelah lulus kuliah, kami sama-sama bekerja di Jakarta, tapi Andre hanya dua tahun bekerja di Jakarta, setelahnya dia diminta keluarganya pulang ke Yogya, meneruskan usaha Omnya. Usaha Omnya bergerak di bidang desain arsitektur dan menjadi rekanan usaha Bapak yang bergerak di bidang kontraktor. Andre selalu datang dengan guyonan-guyonan garingnya tapi tetap membuat aku tertawa.
Setelah menjalani serangkaian pengobatan yang panjang dan melelahkan, akhirnya aku pulang ke kampung halaman, rumah di mana aku lahir dan dibesarkan, Yogyakarta. Tidak ada tempat lagi untukku di Jakarta. Selesai sudah karirku di sebuah perusaahan besar milik asing yang selama ini aku banggakan.
Ibu dan Bapak tidak pernah bicara bagaimana aku ke depannya selain memastikan mengikuti jadwal terapi ini itu dan kontrol ke sebuah rumah sakit di Yogyakarta. Mungkin mereka khawatir aku tersinggung atau mereka mencari saat yang tepat, entahlah, akupun enggan memikirkan atau mulai membicarakannya.
Selain terapi, kegiatan sehari-hariku hanya membaca buku dan menonton. Jangan tanya seberapa jenuh dan bosannya. Aku yang terbiasa aktif bekerja, setiap weekend touring atau hiking, kini harus duduk di kursi roda sepanjang hari. Kadang merasa heran, bagaimana kondisi ini membuat aku tetap waras.
"Yo, ngopi yuk akh, ada café di dekat candi Prambanan, katanya kopinya enak. Tempatnya juga enak buat ngadem." Andre mampir ke rumah dan ini ajakan ngopi yang dilontarkan Andre kesekian kalinya dan belum pernah aku iyakan. Aku nyaris tidak pernah keluar rumah selain ke rumah sakit. Kecelakaan yang membuat aku duduk dikursi roda ini meluruhkan rasa percaya diri hampir tanpa sisa. Aku tidak siap menghadapi tatapan rasa iba dan atau aneh, tidak siap bertemu orang yang kukenal dan bertanya, kenapa?
"Kalau hari biasa gini, jalanan nggak macet. Sekalian cari angin. Bosan di rumah terus." Andre melanjutkan dengan nada mendesak.
Aku membayangkan sebuah café dengan pengunjung yang tengah asik menikmati kopi atau makanannya sambil mengobrol dengan intim, lalu perhatian mereka akan teralihkan saat aku datang. Pikiran mereka akan menduga-duga, kenapa aku seperti ini.
"Maaf, Yo, bukan aku lancang mengajari, tapi nggak mungkin kan kamu seperti ini terus? Mengurung diri. Ibu dan Bapak menua, kita tidak mungkin menggantungkan diri pada mereka."
Dari sekian banyak kunjungan Andre, di rumah sakit maupun di rumah, baru kali ini dia berkomentar seperti itu, biasanya obrolan kami hanya basa-basi dan guyonan. Andre berusaha menjaga suasana hatiku. Padahal sebelum kecelakaan ini, obrolan kami lepas – topik apa saja kami bicarakan – bahkan berbagi rahasia kecil, saling menasehati dan mengejek bisa terjadi secara bersamaan. Kami sama-sama tidak pernah tersinggung.
Walaupun ucapan Andre tadi membuat sedikit kesal di sisi lain aku mengakui, apa yang dia ucapkan benar. Ya sampai kapan aku seperti ini? Menggantungkan diri pada orangtua. Bersikap hidup segan mati tak mau. Tapi memang itulah yang kurasakan, merasa tidak siap menghadapi hidup tapi tidak siap juga mati.
"Aku bukan tidak paham kondisimu tapi keadaan tidak akan berubah hanya dengan menyesali nasib."
"Ya," ujarku pelan diiringi helaan nafas.
"Kamu inget, Yo, waktu nasehatin aku, tentang meruntuhkan mental blok? Akhirnya aku berhasil meruntuhkan mental blok dan bisa seperti sekarang."
Dulu, Andre memiliki masalah dengan kepercayaan diri karena bicaranya agak gagap. Aku selalu mendorongnya untuk berlatih bicara di depan cermin, aku meyakinkannya bahwa bicara gagap bisa sembuh, caranya berlatih dan yakin. Mungkin tidak 100% bisa normal tapi sangat bisa mengurangi kegagapan hingga 90%. Andre berhasil mengatasi kegagapannya, kini hanya ketika panik saja kegagapannya muncul.
Aku memang suka memotivasi orang, terlebih jika terlihat orang itu memiliki potensi tapi terjebak dalam prasangka dan ketakutan ini itu – atau mental blok. Kini mengingat itu, aku merasa bodoh karena kenyataannya aku tidak bisa memotivasi diriku sendiri.
Akhirnya dengan berat hati, aku menerima tawaran ngopi Andre. Sepanjang perjalanan aku berkeringat dingin, membayangkan cara orang menatapku.
![](https://img.wattpad.com/cover/367696423-288-k716217.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Complicated Boss
ChickLitCerita dengan genre chicklit, komedi romantis. Romantika working girls, bukan drama cinta ala CEO. Waktu selalu punya cara membuat kejutan tak terduga, terutama dalam hal melibatkan perasaan..... Saat jatuh cinta dalam diam dan diam-diam. Sayangnya...