Bab 37

362 43 15
                                    

Terima kasih buat yang masih mengikuti cerita ini, yang bikin semangat nulis sampai selesai...


POV Aryo

"Belum ada yang gantiin posisi Ayu, Yo?" Andre membuka percakapan ketika kami berkutat di depan laptop masing-masing. Andre sedang merevisi desain sesuai permintaan klien. Aku menyusun planning pengerjaan.

"Masih bisa di handle Andini." Aku menoleh sekilas, menapakkan diri tidak terlalu menaruh perhatian pada topik yang ditanyakan Andre.

"Bukannya masa magangnya sudah selesai?"

"Kemarin aku tawarin kerja tapi sifatnya masih freelance karena dia masih bolak balik ke kampus. Minggu depan ada adik tingkatnya yang akan mulai magang di sini."

"Waktu Ayu resign, kamu nggak nyoba nahan ya? Nego naikin gaji 10% kek atau apa gitu, Yo, biar tetap stay di sini."

Aku menggeleng. Saat dia datang untuk mengajukan resign, aku dilanda rasa panik. Jawaban dari pertanyaanku mengenai alasannya resign tidak membuat aku puas. Aku ingin menanyakan apa penyebabnya resign karena aku dan Ibu sering meminta pertolongannya di luar urusan pekerjaan kantor? Tapi yang keluar dari bibirku hanya kalimat sok bijaksana yang biasa dikatakan para atasan jika stafnya resign, semoga sukses di tempat kerja baru dan ya, sederet kalimat semacam itu. Sebelum aku benar-benar bisa berpikir tenang, dia mengucapkan terima kasih dan meninggalkan ruangan dengan surat resign yang diletakkan di meja. Aku tidak memiliki keberanian untuk menahannya. Jika dia di sini, rasa sukaku padanya akan terus bertambah tapi aku tidak punya nyali untuk mengutarakannya. Dia begitu ceria, hidup dan bersemangat, dia layak mendapatkan yang lebih baik.

"Kata Ibuku dia kerja di Jakarta diminta pacarnya." Itulah yang kemudian kudengar dari Ibu

"Dia sudah putus sama pacarnya, waktu itu aku melihatnya nangis di pantry."

Aku mengangkat bahu, berlagak tak peduli."Sepertinya mereka balikan." Kenyataannya aku peduli dan ingin tahu kebenaran itu.

Keputusan dia untuk resign, di luar dugaanku. Bagaimana tidak, dia terlihat menikmati bekerja di sini setelah melewati bulan-bulan pertama di mana dia selalu menjadi sasaran kekesalanku. Dia selalu nampak bersemangat dan terlihat ceria. Dan yang aku suka, semangat belajarnya cukup tinggi. Aku benar-benar tidak menyangka akhirnya dia bisa menguasai statistik excel, padahal aku sengaja membebaninya pekerjaan itu untuk membuatnya tidak nyaman bekerja di sini. Tindakan yang kemudian aku sesali karena kemudian sadar, betapa picik dan kekanak-kanakannya sikapku.

Aku tidak akan pernah lupa ekspresinya saat dia berkata; "Saya tahu Bapak tidak menyukai saya sejak pertama kali saya bekerja. Saya bekerja sebaik mungkin bukan untuk membuat Bapak menyukai saya. Tapi saya belajar bekerja secara profesional. Kenapa saya tidak menolak permintaan Ibu untuk mengantar Bapak? Karena saya menghargai Ibu. Saya takut kehilangan pekerjaan jika menolak permintaan Ibu? Iya karena saya membutuhkan pekerjaan bukan simpati Bapak. Terima kasih."

Setelah kejadian itu aku kehilangan senyumnya. Setiap menghadapku bibirnya merenggut yang membuatku menahan diri untuk tidak tertawa setiap kali berhadapan dengannya. Sejak itu aku suka memperhatikannya diam-diam.

"Sayang ya, padahal dia pontensial di sini. Apalagi bu Mita sama Pak Hendri sebentar lagi pensiun."

"Ehm."

"Kamu nggak patah hati kan, Yo?"

"Apa?" Aku menghentikan kegiatan mengetikku, menatap Andre dengan ekspresi yang kubuat seolah-olah tidak paham dengan pertanyaannya. Apa aku nampak seperti orang patah hati?

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang