Bab 48

374 50 26
                                    

Bingung mau ngasih judul apa bab ini

Terima kasih untuk pembaca semua, tinggal dua bab lagi tamat.

Terima kasih vote dan komennya, you make my day. Love sekebon pokoknya hehehe


Ibu terkejut melihat kedatanganku yang diantar Mas Aryo. Muti cengar-cengir dengan muka jahil. Setelah menyilahkan duduk, Ibu membuka percakapan dengan menanyakan kabar Bu Hardjo dan Mbok Anah. Dengan ekspresi yang dibuat lugu Muti duduk di samping Ibu. Tingkah yang membuat aku gemas.

"Mut, tolong bikinkan air minum," pintaku.

Dia menurut. Tak lama dia datang dengan membawa tiga cangkir teh, lalu duduk kembali menyimak percakapan, aku memberi isyarat agar dia pergi. Muti menurut dengan bibir cemberut. Ya, ngapain coba Muti ikut duduk mendengarkan percakapan Ibu, Mas Aryo dan aku.

Sementara Ibu masih mengobrol dengan Mas Aryo, aku minta ijin untuk mengemasi barang yang akan dibawa pulang ke Jakarta. Tak banyak barang yang kubawa hanya dua stel pakaian. Langkahku untuk kembali ke Jakarta kini terasa berat. Aku tidak mengira Mas Aryo akan mengejar dan memintaku untuk kembali ke Yogya. 'Aku ingin kamu kembali ke Yogya', permintaan yang seketika membuat hatiku menghangat, menghapus keresahan yang selama ini bergumal. Berkali-kali dia mengucapkan jika membutuhkanku di sisinya. Betapa saat itu aku ingin memeluknya dan berbisik,"Ya." Mataku makin perih dan air mata itupun tidak bisa lagi aku tahan. Jemarinya terulur, menghapus air mataku seraya berkata dengan setengah berbisik,"Aku sayang kamu. Terima kasih."

Lalu dia bercerita tentang kecelakaan itu dan pertengkaran dengan Bapaknya. Nada suaranya sedikit bergetar, aku bisa melihat luka dan ketakutan di matanya. Sosok yang selama ini kulihat tegar, dan luar biasa karena bisa bangkit dari keterperukan, ternyata menyimpan luka dan rasa takut yang cukup dalam. Aku lega ketika akhirnya melihat dia tertawa dengan mata berbinar.

Ada debar aneh setiap mengingat pertanyaannya,"Can I kiss you?" Aku menahan nafas ketika dia mengusap bibirku dan jarak kami begitu dekat, udara tiba-tiba terasa begitu panas, jantungku berdebar cepat dan kencang, ada getar yang merambati tubuh, aku menginginkannya tapi juga takut. Dulu pernah menyesal menolak ciuman Mas Angga tapi kemudian aku syukuri begitu kami putus. Tidak ada jaminan kepastian sebelum dia menghalalkanku, bukan?

Setelah membereskan barang, aku mandi dan berganti pakaian. Saat tengah mematut diri di depan cermin, Ibu masuk kamar. "Kamu kok nggak bilang dianter Mas Aryo, jadi Ibu nggak siapin apa-apa," ujar Ibu setengah berbisik.

Ibu tipe orang yang merasa tidak enak jika menyunguhi tamu hanya dengan teh manis.

"Harusnya kamu pas di jalan telepon, jadi Ibu bisa siapin pisang goreng atau apa."

"Nggak apa-apa Bu, cuma sebentar, setengah jam lagi Ayu pulang, Mas Aryo mau antar sampai bandara." Selesai berdandan, aku mengecek kembali isi tas, memastikan tidak ada barang yang ketinggalan.

"Nggak jadi naik kereta?"

"Nggak, naik pesawat lebih cepat, jadi sampai Jakarta nggak terlalu malam." Sebenarnya ini ide Mas Aryo, padahal aku sudah membeli tiket kereta.

"Ayu mau kembali ke Yogya Bu."

"Sudah dapat kerja baru di sini?"

"Ibu masa nggak ngerti, Mba Ayu sudah jadi pacar Mas Aryo, makanya diantar ke sini dan ke bandara," celetuk Muti yang tiba-tiba sudah duduk di tepi ranjang. Yang dikatakan Muti benar tapi aku sebal dia mengatakannya. "Jangan keras-keras Mut, ngomongnya." Pelototku gemas, kan malu kalau didengar Mas Aryo.

"Benar Yu?" tanya Ibu

Aku mengangguk,"Nggak apa-apa kan, Bu?"

"Ya nggak apa-apa Mba, Mas Aryo orang baik dari keluarga baik-baik. Tapi Mba, memangnya Bu Hardjo setuju, Mas Aryo sama Mba?" Dengan sok tahu Muti menjawab mendahului Ibu. Aku menjewer telinganya sambil melotot.

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang