Terima kasih yang sudah mengikuti cerita ini, akan di up seminggu dua kali, biar cepat selesai. Ternyata ceritanya lebih panjang dari perkiraan, mau dicepetin takut ada yang miss ceritanya jadi kurang logis.
Yang nungguin kapan Rahayu ketemu Aryo, tungguin minggu depan ya heheheh
Rara memenuhi janjinya, ke Jakarta, sekalian dia minta diantar jalan-jalan ke Kota Tua. Selama hampir setahun di Jakarta, aku juga belum pernah ke Kota Tua, karena jarak dari tempat kos-an lumayan jauh dan tidak punya teman jalan. Aku sudah bisa menduga pilihan Rara ke Kota Tua yaitu mencari objek gedung tua untuk di foto.
"Wih, kamera baru Ra. " Aku tidak menutupi ketakjubanku melihat kamera baru Rara, kamera mirrorless dari merk terkenal. Dulu saat ke Bandung, Rara masih memotret memakai ponsel.
"Aku sekarang ikut klub fotografi, Yu, jadi ada kegiatan kalau libur. Semenjak kamu ke Jakarta, nggak ada teman ngopi sama ngobrol, setelah gabung di kelas fotografi aku dapat teman baru."
"Teman apa temen?"
Rara tersenyum malu-malu."Kita baru pedekate Yu, jadi belum bisa cerita banyak."
"Wah semoga lanjut ya Ra."
"Makasih Yu."
Aku membuntuti Rara memotret kesana – kemari sambil mengobrol, mengomentari apa yang kami lihat. Rara cerita jika dulu di tempat ini terjadi peperangan sengit antara serdadu VOC dan prajurit dari kerajaan Mataram, pertempuran terjadi sekitar tahun 1628. Rara memang suka mencari tahu cerita di balik gedung tua atau tempat bersejarah sebelum memotretnya. Katanya perlu mencari tahu cerita dibalik sebuah objek sejarah yang akan dipotret agar saat memotret menemukan feelnya. Ehm, jujur teori ini kurang aku pahami. Lalu kami menonton atraksi seni, masuk ke museum, tak lupa memotret diri sendiri. Aku melihat-lihat hasil jepretan Rara, lebih bagus dari dugaanku.
"Keren kamu, Ra," komentarku sambil mengamati fotoku yang diambil Rara, terlihat lebih cantik. Bolehkan aku memuji diri sendiri? Entah memang aku secantik ini atau efek kamera, yang pasti melihat foto itu rasa percaya diriku bertambah sedikit. Setelah kaki terasa pegal karena berkeliling, kami duduk ngopi di sebuah kedai kopi.
"Gimana kabar Pak Aryo, Yu?"
Pertanyaan yang membuat aku mengerutkan kening sebelum tertawa sambil mengangkat bahu,"Mana kutahu."
"Memang tidak pernah berhubungan lagi, maksudku kirim-kirim pesan wa gitu."
"Nggak. Kami putus komunikasi sejak aku pindah ke sini. Masa iya aku harus basa-basi kirim wa nanya kabar, sementara Pak Aryo mungkin sudah bertunangan. Ntar aku dikira macam-macam."
"Pak Aryo juga nggak pernah kirim pesan, nanya kabarmu di Jakarta?"
Aku menggeleng. "Nggak ada urusannya kali Ra. Untung juga sih dia nggak kirim pesan basa-basi atau apa, jadi aku nggak baper." Menyedihkan ya, jadi benar perasaanku hanya bertepuk sebelah tangan. Berarti keputusanku untuk pindah kerja adalah tepat.
"Aku sudah move on, Ra. Mau fokus kerja." Sebenarnya aku belum bener-benar move on. Jika Ibu menelpon menanyakan kabar atau menelpon untuk mengabarkan hal-hal yang terjadi di kampung halaman, misal Mbok Sum, tukang jamu meninggal, Sarti teman SD ku menikah, anak budeku sudah melahirkan dan sebagainya, aku berharap Ibu membawa serta kabar Pak Aryo atau Bu Hardjo. Misal, Bu Hardjo memberitahu rencana pernikahan Pak Aryo saat ke rumah untuk menjahit pakaian atau kabar yang dibawa Mbok Anah, jika dia pulang. Kampung Mbok Anah dan kampung tempat aku tinggal, berdekatan. Kabar yang akan membuatku sedih tapi itu rasanya lebih baik daripada dihantui rasa penasaran dengan menduga-duga kabar Pak Aryo. Apa dia sudah bertunangan? Apa tanggal pernikahannya sudah ditetapkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Complicated Boss
Chick-LitCerita dengan genre chicklit, komedi romantis. Romantika working girls, bukan drama cinta ala CEO. Waktu selalu punya cara membuat kejutan tak terduga, terutama dalam hal melibatkan perasaan..... Saat jatuh cinta dalam diam dan diam-diam. Sayangnya...