Bab 45

354 53 15
                                    


Bacanya part ini sambil dengerin lagu Yogyakarta KLA Project, biar makin kangen Yogya hehehe.


Kata Ibu, Pak Hardjo sudah dimakamkan hari Jumat sore. Aku sampai di Yogya hari Sabtu siang, setelah melepas lelah di rumah, sorenya dengan dibonceng Muti, menjenguk si mbah dan budeku, yang jaraknya  5 km dari rumahku, ngobrol melepas kangen hingga jam 8 malam.

Pagi sekitar jam 9, dengan menumpang taksi online aku menuju Klaten ke rumah Bu Hardjo. Sebelum ashar aku harus sudah sampai rumah karena  naik kereta jam 6 sore untuk kembali ke Jakarta.

Semalam aku mengirimkan pesan pada Mas Aryo jika aku sedang di Yogya dan akan melayat ke rumahnya tapi sampai saat ini, pesan yang kukirim masih centang 1, mungkin ponselnya mati atau dimatikan karena dalam suasana duka. Tapi pesan ucapan dukaku kemarinpun tidak dibalasnya, padahal centang biru dua, artinya pesan itu dibaca. Padahal aku berharap dia membalasnya, membagikan sedikit dukanya. Ya, aku ingin jadi orang yang dibutuhkannya.

Antusiasme untuk bertemu dengan Mas Aryo memudar dengan sendirinya. Tidak ada bayangan romantis bagaimana nanti jika kami bertemu seperti khayalanku sebelumnya. Sepertinya aku sudah sampai di titik pasrah jika hubungan kami  hanya sebagai teman. Benar kata Riana, cinta bertepuk sebelah tangan dapatnya hanya capek.

Mungkin aku harus menseriusi ide Maya, mulai membuka diri, tidak mengabaikan perhatian lawan jenis. Aku suka bekerja, selain karena aku butuh pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi tidak bercita-cita menjadi independent women jadi menemukan jodoh ada dalam agenda hidupku. Beberapa bulan lagi, usiaku 26, usia yang menurut ukuran di kampungku, sudah dikatagorikan perawan tua. Tak heran hal pertama yang ditanyakan tetangga, sanak saudara setiap aku pulang adalah,"Kapan manten?" Prestasiku bekerja di Jakarta di sebuah perusahaan bonafid tidak ada artinya. Tapi tentu keinginanku menikah bukan karena desakan usia tapi memang aku ingin menikah, suatu saat.

Sepanjang jalan yang aku lewati menerbitkan banyak kenangan. Dan tanpa bisa kucegah, kenangan bersamanya melintas. Hubungan baik kami diawali saat aku diminta menjadi supirnya ke Klaten dan mampir makan siang di resto dekat Candi Prambanan. Pertama kalinya aku  melihat dia tersenyum dengan mata berbinar, bukan senyum tipis basa-basi, pertama kalinya kami mengobrol dengan saling melempar senyum, pertama kalinya aku duduk dihadapannya tanpa rasa takut, pertama kalinya....move on, Yu. Move on. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Kuputuskan membuka ponsel dan berselancar di media sosial untuk mengalihkan pikiran.

"Mba sesuai titik map ya."

"Iya Pak." Mataku masih fokus menatap ponsel menonton video reels traveling.

"Ini sudah sampai."

"Oh," Aku mengangkat kepala menatap ke luar. Benar saja ini sudah di depan rumah Bu Hardjo.

"Maaf ya Pak." Bergegas aku turun.

Nampak satu kendaraan terparkir di halaman rumah Bu Harjo, mungkin kendaraan milik salah satu anak perempuan Bu Hardjo. Suasana nampak lenggang tapi pintu rumah sedikit terbuka.

Aku mengetuk pintu. Tak lama Mba Lilik, art Bu Hardjo keluar. Aku pernah bertemu Mba Lilik ketika mengantar Bu Hardjo ke sini.

"Eh Mba Ayu. Apa kabar?" Mba Lilik menyalamiku sambil mengguncang-guncang tangan dengan senyum sumringah."Manglingan Mba, makin ayu."

"Mba Lilik bisa aja. Ibu lagi istirahat ya?"

"Nggak. Masuk dulu mba, saya panggilkan Ibu."

Sayup-sayup terdengar orang bercakap-cakap dari arah belakang. Sepertinya tamu-tamu dari kerabat Bu Hardjo.

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang