CC: 34

3.2K 451 316
                                    

Setelah kejadian di mana Rain datang ke kafetaria dan menghentikan perundungan kepada Liona. Besoknya, selama pembelajaran di kelas di CC 12, terjadinya keheningan yang begitu kentara. Si ceria Rain yang mengisi suasana lebih berwarna di kelas, memilih diam dan tidak mau berbicara dengan siapa pun kecuali kepada Bulan.

"Pelajarannya sampai di sini, ingat bulan depan di minggu pertama, kalian ada evaluasi bulanan. Jadi, persiapkan diri. Ada peringkat-peringkatnya juga!" ujar Savita—Wali kelas CC 12.

"Iya, Bu!"

Savita membereskan barang-barangnya. Namun, dia memperlambat pergerakannya, matanya menatap sekeliling kelas. Walaupun kelasnya cukup membosankan, tapi para murid-muridnya tetap membuat kelas terasa lebih menyenangkan. Galvin yang sudah satu minggu ada di Bandung, karena menjadi salah satu anggota inti tim baske—muridnya yang satu itu sering membuatnya pusing. Lalu, Rain yang selalu memiliki jawaban aneh di setiap pertanyaan Savita padanya. Kini, Rain yang dia lihat tengah fokus dengan catatannya.

"Kalian...." Semua muridnya menatapnya. Membuat Savita menggeleng—mengurungkan niatnya bertanya. "Bukan apa-apa, selamat istirahat!"

Bel berbunyi. Rain segera membereskan barang-barangnya.

"Rain, mau ke kantin bareng?" tanya Aluna dengan hati-hati.

"Nggak, lo duluan aja!" jawab Rain dengan suara yang terkesan dingin.

Rain segera ke luar dari kelas, dan Aluna menghela napas panjang.

"Kayaknya, dia marah banget!" lirih Aluna.

Samuel mengusap pundak Aluna. "Kasih dia waktu, ya!"

*

Setelah satu minggu Liona tidak bisa menikmati makan siang dengan baik. Hari ini, dia bisa melewatinya dengan baik, tentu saja dengan ada Rain di dekatnya. Memang, Liona akui, jika Rain sudah sangat marah, hantu saja tidak berani mengganggunya.

"Lo marah sama teman-teman sekelas lo?" tanya Liona.

"Menurut lo aja!"

Liona terkekeh. "Kalau lo marah sama mereka. Nanti kembaran lo makin marah, lho, Rain!"

Rain mengunyah makanan itu, dia melirik sekilas ke arah lantai dua. Tampaknya yang dimaksud Liona—Sunny dan teman-temannya terlihat baik-baik saja.

"Salah satu dari mereka lah yang ngebuat lo diganggu murid lain."

Liona menanggapinya dengan santai. "Lo tahu dari mana?"

"Nggak penting tahu dari mana dan sekarang gue kesal sama mereka. Oke, gue bisa paham sama Sunny. Tapi yang lain? Cuma Bulan doang yang bisa bantuin lo."

"Rain, mereka kan temannya—"

"Udahlah, nggak usah bahas ini! Badmood tahu nggak!" kesal Rain.

Liona mengangguk-angguk kecil dan mengerti.

Rain sudah tidak memiliki nafsu makan, sesekali dia menyadari ada murid-murid lainnya yang memperhatikan Rain dan Liona. Rain tahu, pasti banyak pertanyaan di pikiran mereka, mengapa Rain bisa dekat dengan Liona. Namun, Rain tidak peduli tentang itu. Hingga, saat matanya beralih ke Liona. Dia menangkap suatu yang janggal.

Rain menyingkap blazer seragam Liona, sedikit. Matanya membulat melihat tanda kebiruan di pergelangan tangan Liona. Liona yang menyadari itu, langsung menutupi lagi pergelangan tangannya.

Rain menatap Liona dengan tatapan yang tegas, menuntut penjelasan. Liona tertegun, dia menghela napas pelan.

"Papa gue kemarin ke Jakarta, gue ketemu sama dia. Dia marah, waktu tahu gue di sini!"

CHAMPION CLASS and the WINNERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang