CC: 40

4.1K 512 171
                                    

Rain berlari di lorong yang sama ketika dia juga ketakutan, mengenai nasib Liona saat itu. Kali ini bukan Liona, melainkan Sunny. Semua orang di lorong menatapnya, dengan tatapan penuh penghakiman.

"Dia nggak sih yang ngebunuh pacarnya sendiri?"

"Ambis sih boleh, tapi nggak sampai bunuh orang juga kali."

"Pembunuh!"

Rain mengabaikan bisikan-bisikan ditujukan kepadanya. Tepat di depan pintu gudang, Rain membuka pintu itu dengan tangannya yang bergemetar. Saat pintu telah terbuka. Matanya membulat, ketika melihat Sunny tergeletak di lantai dengan darah yang mengalir entah dari mananya.

Rain terduduk, dengan kakinya yang terasa lemas. Tidak lama, seseorang mucul dari dalam gudang. Napa Rain tercekat, seseorang yang dia kenal, menatapnya dengan datar.

Membawa sebuah pistol.

"Jangan, Zuha!" Rain menggeleng, seolah memohon.

Zuha, dia mengarahkan tepat ujung pistol semi otomatis itu ke arah kepala Sunny.

"Lo harus ngerasain, gimana rasanya kehilangan!"

"Jangan!"

Jari itu siap menarik pelatuk itu. Zuha tersenyum, senyumannya seakan menandakan kemenangan untuk dirinya.

"Mati!"

Rain menggeleng.

"Semua ini salah lo, Rain!" ucap Zuha.

Jari itu, siap untuk membuat amunisi tepat mengenai kepala Sunny.

Dor!

"Sunny!"

Air mata Rain keluar, beserta napasnya yang terengah-engah. Namun, tidak ada darah, Sunny, ataupun Zuha di sini. Hanya ada Rain dan kamarnya.

Kini, terdengar suara pintu diketuk berulang kali.

"Mimpi, lagi," gumam Rain.

Rain bangun dan berjalan membuka pintu kamarnya. Seharusnya dia berada di asrama. Namun, dia memilih untuk pulang dan izin tidak tinggal di asrama beberapa hari ke depan. Ketika membuka pintu, seorang perempuan dengan pakaian formal wanita kantoran ada di depannya.

"Selamat pagi, Nona Rain! Anda baik-baik saja?" tanya Kinan—Asisten Fernanadoz.

Karena Kinan melihat keringat yang mengalir dari pelipis Rain dan wajah Rain terlihat pucat.

"Saya baik! Ada apa?"

Kinan tersenyum ramah. "Nona, Anda ditunggu Bapak Fernandoz di ruangannya!"

Kernyitan halus terlihat di dahi Rain. Ini masih pukul lima pagi, dan lebih mengejutkan lagi, kedua orangtuanya ada di rumah.

"Bapak Fernandoz dan Bu Delia sudah balik, sekitar pukul dua dini hari tadi."

Rain mengangguk. "Saya siap-siap dulu!"

*

Oh, Rain tahu ini akan menjadi pagi yang buruk baginya. Berlembar-lembar kertas ada di hadapannya. Tatapan Fernandoz jelas sedang tidak bersahabat saat ini.

"Libur sekolah hampir dua minggu, tidak berada di asrama, mengundurkan diri dari semua perlombaan sampai akhir semester ini. Dan Papi mendapatkan laporan dari papanya Misyella, kamu melukai tangan putrinya. Jelaskan semua ini!" Nada suara Fernandoz terkesan dingin, tenang, dan tatapannya mengintimidasi.

Rain duduk di depannya dan tentunya juga berusaha bersikap biasa saja. Terlihat tidak terusik dengan nada suara Fernandoz.

"Misyella yang memulainya duluan!"

CHAMPION CLASS and the WINNERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang