_mengapa harus perpisahan yang terjadi disaat ego menguasai sebuah permasalahan?_
*
Bel pulang sekolah telah berbunyi nyaring. Membuat kelas IX IPA III bersorak gembira dan berbondong-bondong keluar dari kelas sesudah wali kelas menyudahi pelajaran hari ini.
"Lo nggak pulang?" tanya Erly pada Raza yang tidak bergerak sama sekali dari tempat duduknya.
Raza menggeleng. "Gue tunggu Alka," jawabnya seraya menatap bangku Alka yang masih terdapat tas lelaki tersebut.
Erly menghela napas. "Gue duluan." pamitnya yang disusul oleh Meyra dan Salsa.
Beberapa menit kemudian setelah kelas sepi, Alka pun datang dengan wajah datarnya. Saat memasuki kelas, matanya sempat bertatapan dengan mata Raza, namun ia segera mengalihkan pandangannya.
"Al," panggil Raza yang kini sudah berada di hadapan Alka.
Alka tidak menghiraukan Raza. Ia tetap fokus memasukkan bukunya ke dalam tas.
"Al, jangan kaya gini," Raza mencekal lengan Alka yang hendak melenggang pergi.
Alka menatap Raza datar. "Lo kelewatan, Za."
"Dia yang buat gue bertindak keras!" bantah Raza tidak ingin disalahkan.
Alka terkekeh mendengar ucapan Raza. "Tapi nggak segitunya juga."
"Al, masalah kita belum selesai," tahan Raza lagi.
"Minta maaf sama Meta, masalah kita selesai," cetus Alka lalu melepaskan cekalan tangan Raza dan melangkah pergi.
"Gampang banget lo bilang selesai setelah bunuh Zian," sindir Raza yang kini kembali ke bangkunya untuk mengambil tasnya.
Perkataan itu seketika menghentikan langkah Alka. Ia membalikkan tubuhnya dan melangkah mendekati Raza. "Bukan gue yang bunuh Zian!" bantah Alka penuh penekanan di setiap katanya.
Raza mendengus geli mendengarnya. "Maling mana mau ngaku."
"Gue emang buat dia babak belur, tapi bukan gue yang buat dia mati!" Alka berucap dengan napas yang memburu. Emosinya mulai memuncak jika dirinya dicap sebagai pembunuh. Padahal kenyataannya bukan dirinya yang membunuh Zian.
"Gue percaya gitu?" tanya Raza dengan nada meremehkan.
"Suatu saat gue akan buktiin kalo gue bukan pembunuh Zian!" balas Alka penuh dengan keyakinan lalu membalikkan tubuhnya.
"Putus!"
Satu kata yang berhasil membuat Alka mematung beberapa detik. Tangan Alka mengepal, dadanya bergemuruh menahan emosi yang bergejolak. Ia kembali membalikkan tubuhnya menghadap Raza. Tatapan keduanya sama-sama tajam.
Alka mendekat. "Bilang sekali lagi!"
"Gue mau kita putus!" Raza memperjelas perkataannya dengan penuh tekanan.
Detik itu juga emosi Alka benar-benar tidak bisa ditahan. Tanpa dirinya sadari, ia telah mendorong tubuh Raza hingga terbentur dinding. Kini Alka telah mengukung Raza.
Raza meringis kala merasakan sakit pada punggungnya yang menghantam dinding. Ia membalas tatapan nyalang Alka. "Kurang jelas? GUE MAU KITA PUTUS! Lo udah tau semuanya, kan? Gue cuma bales dendam!"
Alka meninju tembok tepat di samping kepala Raza membuat mata wanita itu terpejam sesaat. "Cara lo terlalu sampah!" lirihnya penuh penekanan tepat di telinga Raza.
Alka memundurkan langkahnya sedikit menjauh dari Raza. Ia tertawa sumbang menatap langit-langit kelas. Ia menertawakan betapa bodohnya dirinya. Mencintai wanita yang manipulatif.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALZA
Teen Fiction"Nyokap Alka mati gara-gara cowok gue... " "Dan cowok gue mati gara-gara Alka!"