39. Balas dendam Meta

54 3 1
                                    

Brak!

"Si anjing! Lo apa-apaan, sih?! Ngagetin, bego!" maki Bagas pada Ariel yang tiba-tiba memukul meja dengan kerasnya.

Ariel hanya menyengir kuda seakan tidak mempunyai dosa. "Gue reflek."

"Hayo ngapain?" tanya Abim mengejek setelah berhasil merebut ponsel milik Ariel.

Ariel pun sontak berdiri untuk mengambil kembali ponselnya. "Balikin, setan!"

"Eits, bentar, bentar. Ini maksutnya gimana?" ujar Abim saat menatap layar ponsel Ariel. Raut wajahnya tampak serius. Kelimanya pun terdiam menatap Abim, termasuk Ariel yang tampak bingung harus berbuat apa.

"Apaan, sih?!" geram Bagas lalu segera mengambil alih ponsel Ariel dari genggaman Abim. Setelah melihatnya, Bagas menatap Ariel tak percaya.

"Riel?" beo Bagas dengan nada tidak menyangka.

Alen dan Zulva tetap diam menunggu apa yang akan diucapkan oleh Bagas.

"Gue bacain, ya?" Bagas berdeham membuat Ariel meneguk salivanya.

Ariel: Gimana?
Erly: apanya?
Ariel: nanti malam jadi, kan?
Erly: tapi, gue gk bisa dandan.
Ariel: lo cantik apa adanya.
Erly: basi!
Ariel: gue serius, lo tetap cantik di mata gue.
Erly: iya deh buaya.
Ariel: cuma lo doang yang bilang gue buaya.
Erly: hahaha.
Ariel: jam 7 gue jemput.
Erly: emang mau kemana, sih?"
Ariel: kemana aja asalkan sama lo.
Erly: gajelas!

"Kirain apaan," ujar Zulva malas lalu kembali merebahkan tubuhnya di sofa. Begitupun dengan Alen, ia mendengus sebal, merasa tidak guna meladeni tiga temannya yang super gila.

Bagas tertawa dan bertepuk tangan. "Gercep juga lo, Riel."

Abim pun ikut tertawa. "Pantesan dari tadi fokus sama ponsel."

"Sekarang lo balik, siapin mental," kata Bagas seraya mendorong tubuh Ariel.

"Bismillah calon sepupu ipar!" sahut Abim lantang membuat Ariel menaikka jari tengahnya sebelum keluar dari markas.

*****

Pada malam yang penuh bintang ini, gadis bersurai panjang yang mengenakan celana di atas lutut dan hoodie berwarna putih itu memilih untuk membaca novel dengan secangkir teh hangat di balkon kamarnya.

Namun, terkadang pikirannya melayang, ia tidak bisa fokus untuk membaca. Pikirannya terus menerus memikirkan Alka. Apakah keputusan yang ia buat sudah tepat?

Raza mengikat rambutnya asal, namun malah senakin menonjolkan aura kecantikannya. Dirinya menarik napas panjang, lalu berusaha memfokuskan matanya pada novel yang ia baca.

"Non."

Raza menengokkan kepalanya pada sumber suara yang memanggilnya. "Gimana, bik?" tanyanya pada pembantunya yang datang menghampirinya.

"Ini tadi ada yang ngirim ini," ucap pembantu itu sambil memberi sebuah amplop berwarna putih.

Raza menautkan alisnya lalu menerima amplop yang diberi oleh pembantunya. Ia membolak-balikan amplop itu, mencari siapa pengirimnya, namun tidak ada. "Ini dari siapa, bik?" tanya Raza penasaran.

"Nggak tau, non. Tadi kurirnya cuma bilang buat non Raza."

Raza manggut-manggut. "Ya udah, bik. Makasih."

"Kalo gitu saya ke bawah dulu, ya, non," pamit pembantu itu yang dibalas anggukkan oleh Raza.

Segera saja Raza membuka isi amplop tersebut, hanya secarik kertas yang ditulis menggunakan pena berwarna hitam.

ALZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang