Penulis: Moonichi
Tertikam oleh belati tak berbentuk, tajamnya rasa dingin menggigit kulit Abisma dengan kejam. Ketidakberdayaannya di dalam balutan kain tipis sebagai pakaian hanya menghantarkan rasa hampa dan tidak merdeka. Bertanya-tanya, sudah berapakah hari berlalu sejak ia mengarungi hari dengan banyak tragedi? Matanya sekejap seperti menangkap semua cahaya menjadi warna matang, kuning yang pekat. Diusapnya telinga dan mata seraya berkedip beberapa kali, kemudian cahaya itu kembali ke warna normalnya lagi.
Abisma memegang erat tali ranselnya seakan waspada, terutama di larut malam ketika rawan terjadi pencurian. Kakinya, yang berbalut sepatu koyak di bagian telapak, seperti mengeras karena memijak dasar bumi dengan jarak tempuh berkilo-kilo. Beberapa kali disadarinya ada beberapa gelandangan memberi tatapan gusar, agaknya mengira Abisma akan bergabung dengan mereka lantaran pakaiannya tak selayak orang-orang berada. Insan yang menggelandang tak jauh berbeda dengan pejabat yang bergelimang uang, sama-sama menghirup udara kotor Jakarta yang penuh asap kendaraan bermandikan bahan bakar dari fosil. Abisma mencapai kontrakan, dengan berat hati dengan isi kepala dihantui tagihan yang belum dilunasi. Sudah berbulan-bulan dan Abisma yakin, minggu depan, dia akan terusir karena tidak mampu membayar.
Pukul berapa saat ini, tidak Abisma ketahui. Jam di dinding sudah tidak berputar sesuai porosnya, karena habis energi dari baterai yang Abisma akan berpikir lebih dari dua kali untuk mengganti. Tepat saat ia mengunci kembali pintu, perutnya keroncongan. Lalu dengan isi kepala yang terus-terus menikam, dia menjatuhkan diri di atas karpet, menimpa bantal cokelat bernoda kotor yang lama tak dijemur.
Mengelabui diri, tapi Abisma hanya dapat berdiam diri. Kantuknya tergantung, akibat nasib yang terpikirkan tanpa penyelesaian. Apa yang harus ia lakukan?
Tas dengan resleting rusak itu tergeletak, terbuka telak. Menampakkan isi sebongkah buku dan kertas-kertas yang terpampang sebagian besar isi tulisan. Tagihan kuliah, juga nota pembelian untuk biaya pengobatan, hanya mengingatkannya akan suatu kenyataan yang pahit dikecap takdir; sosoknya menggelandang yang begitu mengemis kehadiran seonggok kertas, uang.
Abisma tidak terpikir solusi apa pun. Tidak ada pekerjaan yang bertahan, kehidupannya berantakan, keluarganya ditimpa kemalangan, kemudian semuanya di ambang kehancuran.
Tapi Abisma ialah si sulung yang harusnya menjadi seorang penopang. Bapak sedang menjalani perawatan, ibu diam-diam menjadi tukang pencuci pakaian, lalu adiknya selalu menolak uang jajan yang diberikan.
Lalu apa yang Abisma harus lakukan?
Dia mengerutkan bibir, menahan diri tidak mengeluarkan erangan putus asa. Matanya terpejam dan pikirannya kalut, uang, uang, dan uang. Terus-terus membayang. Apa yang harus ia lakukan agar dapat membebaskan keluarga, juga dirinya, dari belenggu kemiskinan?
Perut Abisma lagi-lagi bergemuruh penuh murka, seperti singa yang mengerang penuh kuasa, hanya melemahkan mangsa yang merupakan dirinya. Tangan kurus itu memeluk diri dalam posisi berbaring, meletakkan satu tangannya ke atas perut yang terus bergetar penuh dendam. Kemudian, pikirannya sesaat, bungkam.
Abisma sudah menjual laptopnya, sudah menghabiskan banyak pakaian untuk mengirimkan uang ke desa, agar dapat makan orang tua dan adiknya. Tapi telah habis materi yang dapat dipandang oleh mata. Maka satu pilihan yang terbaik, mengundang senyum cukup lebar seperti pemulung yang berhasil meraih sekarung botol kosong bersih.
Kenapa dia tidak sejak dahulu menjual organnya sendiri?

KAMU SEDANG MEMBACA
NAGA
AléatoireNAGA atau Narasi Gambar adalah kegiatan mingguan Country of Literacy yang dilaksanakan setiap hari Selasa. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan imajinasi dan kreativitas para member Country of Literacy. Dan kegiatan ini juga membantu...