Pelindung Kebusukan

1 0 0
                                    

Penulis: Moonichi

Langit biru tidak pernah dipandanginya, sejak memijakkan kaki di sekolah yang luas lingkungannya. Hijau dan memiliki fasilitas lengkap, seakan menuntun mereka meraup ilmu sesuka hati. Dapatlah maruk sosoknya jika saja tiada diganggu manusia, dapatlah tenang hidupnya jika tak diusik insan-insan busuk mulutnya. Kalimat hinaan yang menggantikan sapaan selamat pagi, hari-hari bagai neraka terus berganti.

Langit biru tidak pernah dipandanginya lagi.

Hanya tanah dan aspal yang kering, basah, diiringi tetesan air membasahi rambutnya. Ah, tumpahan dari lantai dua. Helena mendongak dan tanpa mendapati langit biru yang selalu digemari, hanya sekelompok orang-orang dari lantai atas yang terkikik mendapatinya basah kuyup terkena tumpahan air bau. Pastilah bekas dari cucian kain pel anak-anak piket.

Tanpa awan yang menghiasi, Helena menunduk lagi. Selain tanah dan aspal yang menghiasi, sepatu selalu menjadi aneka ragam yang bagai aksesoris mengerikan.

Karena sepatu yang bahkan ada di bawah lututnya, seringkali berada tepat di atas kepalanya.

Tepat memijak kening atau tengkuk Helena.

Sepatu yang memiliki lapisan kulit untuk melindungi kaki. Akankah melindungi dari tanah kotor dan panasnya aspal, atau menghindari jejak darah mengenai kaki yang terbalut sepatu hitam? Terus menghantam, menghantam, dan berkali-kali menghantam. Hingga dahi itu berdarah dan rapat pada tanah, dia ditendang sekali lagi dan tersisa kesadaran sependek napas yang diraup kesusahan. Ditinggalkannya Helena sendirian, di sekolah yang katanya surga untuk mereka yang bermimpi demi kesuksesannya, tanpa diketahui siapa-siapa, di dekat pembuangan sampah yang jarang dilewati insan busuk yang dibenci Helena.

Dia terlentang setelah ditinggal sendirian.

Langit biru, menertawakannya dengan gambar awan tanpa menyokong perasaan.

Kenapa penderitaan berkali lipat menyakitkan, ketika hari dihiasi cuaca terang, yang mengerikan?

NAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang